Dalam
sejarah perkembangan hukum islam, perbedaan pendapat mengenai penetapan hukum
telah terjadi di kalangan para sahabat Nabi SAW ketika beliau masih hidup.
Tetapi berbedaan itu segera dapat diselesaikan dengan mengembalikannya kepada
Rasululloh SAW. Setelah beliau wafat, maka sering timbul di kalangan sahabat
perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum. Salah satu kenyataan dalam fiqh
adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Meskipun demikian kebijaksanaan
fiqh menetapkan bahwa keluar dari perbedaan pendapat itu disenangi, dan
mendahulukan apa yang telah disepakati daripada hal-hal lain dimana terdapat
perbedaan pendapat di kalangan para ulama[1].
Kita yakin bahwa para ulama tidak mugkin
meyakini suatu hukum syari’at atau memberikan fatwa kecuali yang sesuai dengan
tuntutan Al-Quran dan Sunnah, namun sebagai manusia biasa mungkin saja
seseorang keliru dalam memahami kandungan yang terdapat dalam Al-Quran dan
As-Sunah. Dalam makalah ini akan dijelaskan sebab-sebab para ulama’ berbeda
pendapat dalam menetapkan suatu hukum
1.
Sebab-Sebab
Perbedaan Pendapat Para Ulama
Dalam
menghadapi segala permasalahan, para ulama terlebih dahulu memeriksa masalah
tersebut dalam Al-Quran atau Hadis yang mereka hafal. Tetapi kadang-kadang
masalah yang mereka hadapi itu tidak ditemukan nash nya dalam Al-Quran ataupun
Hadis. Ketika itu mereka saling bertanya, mungkin yang lain mengetahui hadisnya
sedangkan yang menghadapi peristiwa itu sendiri tidak mengetahuinya. Apabila di
antara mereka ada yang mengetahui hadis mengenai peristiwa tersebut mereka menetapkan
hukum peristiwa itu menurut nash yang jelas. Dalam hal seperti ini mereka
berijtihad untuk mencari hukum dengan membandingkan dan meneliti ayat-ayat dan
hadis yang umum, serta mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan peristiwa yang
terjadi, diqiaskan dengan hukum yang sudah ada, yang berdekatan dengan
peristiwa yang baru terjadi itu[2].
Dalam
menetapkan hukum tersebut para ulama berbeda pendapat antara satu dengan yang
lainnya. Adapun sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama adalah:
1.1
Pemahaman
Al-Quran dan As-Sunnah
Karena
berbeda dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah baik dalam
Al-Quran maupun Hadis. Seperti lafal musytarak (mempunyai arti lebih dari
satu), makna haqiqat (sesungguhnya), atau majaz (kiasan).
Ayat-ayat
Al-Quran dan teks-teks hadis menggunakan media bahasa arab untuk menyampaikan
pesan-pesannya. Karena itu, untuk memahami pesan-pesan Al-Quran dan Hadis
dengan benar haruslah berpedoman pada aturan-aturan bahasa arab yang ada[3]. Selain
itu dalam ungkapannya terdapat kata am (umum) tetapi yang dimaksudkan adalah
khusus.
1.2
Sebab-Sebab
Khusus Mengenai Sunnah Rasulullah SAW
Karena
berbeda tanggapannya terhadap Hadis. Ada Hadis yang sampai kepada sebagian
ulama, tetapi tidak sampai kepada ulama yang lain. Ada kalanya sebagian ulama
memandang periwayatan suatu hadis shahih.
Kalau Hadis tersebut diketahui oleh semua ulama. Sedang yang lain menganggap dha’if, karena
tidak memenuhi semua persyaratan yang telah mereka tentukan. Penilaian ini
meliputi segi sanad maupun matannya.
1.3
Perbedaan
Mengenai Qawa’id Ushuliyyah dan Qawa’id Fiqhiyyah
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang
berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul di antaranya adalah[4]
mengenai istisna yaitu apakah istisna tersebut sudah beberapa jumlah yang di
athafkan satu sama lainnya kembali kepada semua ataukah kepada jumlah
terakhirnya saja. Jumhur ulama berpendapat bahwa istisna (pengecualian) itu
kembali kepada keseluruhannya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, istisna itu hanya
kembali kepada jumlah terakhirnya saja.
Adapun sebab-sebab perbedaan
pendapat (ikhtilaf) yang berkaitan dengan kaidah-kaidah fiqhiyyah contohnya
adalah kaidah mazhab Syafi’i yaitu “hukum yang terkuat dari segala sesuatu
adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya”. Sedangkan menurut
kaidah mazhab Hanafi adalah “hukum yang terkuat dari segala sesuatu adalah
haram, sehingga ada dalil yang menunjukkan kebolehannya”.
Jadi menurut mazhab Syafi’i asal
hukum sesuatu adalah di bolehkan mengerjakannya, sehingga ada dalil yang
mengharamkannya atas dasar firman Allah dalam QS. Al-Baqarah:29 yang artinya
“Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. Dan sabda
nabi SAW yang berarti “apa yang telah dihalalkan oleh Allah adalah halal, dan
apa yang telah diharamkan oleh Allah adalah haram, serta apa yang didiamkan
oleh Allah adalah dimaafkan maka terimalah kemaafan dari Allah itu, sesungguhnya
Allah tidak akan lupa pada sesuatu”. Sedangkan mazhab Hanafi berpendapat bahwa
asal hukum sesuatu adalah haram, sehingga ada dalil yang membolehkannya.
Kebalikan dari mazhab Syafi’i bahwa asal sesuatu adalah boleh, sehingga ada
dalil yang mengharamkannya. Hal seperti ini dapat menimbulkan perbedaan dalam
menetapkan hukum.
1.4
Perbedaan
Penggunaan Dalil di luar Al-Quran
Berbeda pendapat dalam menetapkan
dalil yang sifatnya ijtihadi[5].
Ulama sepakat bahwa Al-Quran dan Al-Sunnah al-Shalihah adalah sumber hukum.
Tetapi berbeda pendapatnya tentang
istihsan, al-maslahah al-mursalah, pendapat sahabat yang digunakan dalam era
berijtihad. Sering pula terjadi, disepakati tentang dalilnya tetapi
penerapannya berbeda-beda. Sehingga mengakibatkan hukumnya berbeda pula.
Misalnya tentang Qiyas, jumhur ulama berpendapat bahwa Qiyas adalah dalil yang
biasa digunakan. Tetapi dalam menetapkan illat hukum sering berbeda. Karena
adanya perbedaan dalam menentukan illat hukumnya, maka berbeda pula dalam
hukumnya.
2.
Menyikapi
Perbedaan Pendapat Dalam Islam
Sebagai
hamba yang beriman kita diperintahkan untuk bisa menerima bahwa adanya berbagai
macam perbedaan pendapat dan paham itu sudah merupakan ketetapan Allah dan
sudah seharusnya juga kita menyikapi hal ini secara wajar. Dalam arti tetap
menjalin interaksi dan toleransi terhadap berbagai macam golongan dengan tetap
mempertahankan nilai-nilai islam.
Banyak
sekali ayat Al-Quran dan Hadis Nabi yang melarang perpecahan dan perselisihan,
namun apabila kita mencermati akan tampak oleh kita bahwa yang dimaksud adalah
berbeda pendapat dalam masalah-masalah prinsip atau Ushul yang berdampak kepada
perpecahan. Adapun berbeda pendapat dalam masalah-masalah cabang agama atau
Furu’, maka hal ini tidaklah tercela dan tidak boleh sampai berdampak atau
berujung pada perpecahan, karena para sahabat juga berbeda pendapat akan tetapi
mereka tetap bersaudara dan saling menghormati satu dengan yang lain tanpa
saling menghujat atau melecehkan dan menjatuhkan[6].
Yang
menarik dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama islam terutama
yang diakui secara luas keilmuannya mampu menunjukkan kedewasaan sikap,
toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat
mereka dibawah Al-Quran dan Hadis, tidak memaksakan pendapat dan selalu siap
menerima kebenaran dari siapapun datangnya. Dapat dikatakan bahwa mereka telah
menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia sebab, kebenaran mutlaq hanya
milik Allah. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang
paling abash sehingga wajib untuk diikuti dan menolak pendapat lain sehingga
mengganggapnya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan agama. “Pendapatku
benar, tetapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain
salah, tetapi memiliki kemungkinan untuk benar”. Demikian pendapat imam
Syafi’i.
Dalam kerangka yang sama, imam Hambali pernah
berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara dikeraskan bila
memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhab Hambali
sendiri yang menyatakan bahwa dianjurkan bagi orang yang shalat adalah
mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan imam Hambali
demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah waktu itu yang memandang
sebaliknya. Sebab menurut ulama-ulama Madinah itu orang yang shalat lebih utama
bila ia mengeraskan bacaan basmalahnya. Di sini kita bisa mengetahui betapa
imam Ahmad lebih mengutamakan sebuah esensi dari nilai ukhuwah. Ada ungkapan
yang cukup indah dari Muhammad Rasyid Ridha, “Marilah kita tolong-menolong pada
perkara yang kita sepakati, dan mari kita saling menghargai pada perkara yang
kita perselisihkan”. Jadi kalau malaikat dan para nabi saja bisa berbeda
pendapat, mengapa kita harus berpecah dan bermusuhan karena perbedaan?
3.
Hikmah
Perbedaan Pendapat Para Ulama
Ikhtilaf
yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika didasarkan
pada beberapa hal berikut ini[7]:
a. Niatnya
jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah satu
dalil dari sekian banyak model dalil.
b. Ikhtilaf
itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala berpikir.
c. Memberikan
kesempatan berbicara kepada lawan bicara atau pihak lain
yang berbeda pendapat dan bermuamalah
dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar mereka.
Perbedaan pendapat tidak akan
mengakibatkan pengaruh yang negatif. Bahkan perbedaan pendapat bisa memberikan
hikmah yang besar. Dengan berpikir kritis dan bersikap terbuka terhadap
perbedaan pendapat para ulama, maka perbedaan pendapat itu akan memberikan
hikmah yang besar, berikut ini akan dikemukakan beberapa hikmah yang dapat
ditarik dari perbedaan pendapat tersebut.
Kita memiliki sejumlah besar hasil
ijtihad yang memungkinkan untuk memilih mana alternatif yang terbaik di antara
pendapat para ulama yang bisa diterapkan untuk masa sekarang ini. Cara inilah
yang sedang ditempuh para ahli hokum islam. Sekarang seperti terbukti dalam
perkembangan hukum islam terakhir.
Di samping itu, dengan adanya
perbedaan pendapat para ulama, kita akan tahu alasan masing-masing ulama
tentang pendapatnya tersebut, sehingga memungkinkan kita untuk mentarjih atau
cenderung kepada pendapat yang mempunyai alas an yang lebih kuat. Dengan
demikian dari perbedaan pendapat ulama yag ada, dengan melihat dari cara
beristinbat, akan tampak mana pendapat-pendapat yang lebih banyak meraih
nilai-nilai Al-Quran dan Sunnah.
Kita melihat bahwa bagaimanapun
juga selama diperkenankan ijtihad, maka berarti diperkenankan adanya perbedaan
pendapat. Sebab ijtihad mengakibatkan adanya perbedaan pendapat para ulama. Ini
berarti dituntut sikap toleranterhadap kenyataan adanya perbedaan pendapat[8].
Mengetahui sebab-sebab terjadinya
perbedaan para imam Mazhab dan para ulama fiqh, sangat penting untuk membantu
kita, agar keluar dari taqlid buta karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang
mereka pergunakan serta jalan pemikiran mereka dalam menetapkan hukum suatu
masalah. Sehingga dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam
studi tentang hal yang diperselisihkan, meliputi system dan cara yang lebih
baik serta tepat dalam mengistinbatkan hukum. Juga dapat mengembangkan
kemampuan dalam kemampuan dalam hukum fiqh, bahkan akan terbuka kemungkinan
untuk menjadi mujtahid[9].
Faedah dan manfaat dari ikhtilaf dapat
diperoleh bila dalam berikhtilaf itu berpijak pada ketentuan-ketentuan dan adab
yang terkandung didalamnya. Namun jika ketentuan dan batasan itu dilanggar,
maka sudah pasti akan menimbulkan perpecahan. Hal ini akan melahirkan kesulitan
dan kejahatan sehingga dapat mengganggu kehidupan umat. Jika begitu keadaannya
maka ikhtilaf akan berubah menjadi ajang kehancuran.
1.
Kesimpulan
1.1 Perbedaan ulama
mengenai sumber hukum yang utama (al-Quran) adalah dari segi pemahaman
semata-mata terhadap nash-nash yang dzanni (tidak pasti) dalalahnya. Perbedaan
ulama mengenai sumber hokum yang kedua yakni sunnah Rasul, yakni dari segi
wurud (penilaian terhadap sanad dan sebagian matan hadis) di samping segi
dalalahnya. Serta perbedaan mengenai kedudukan sunah rasul sesudah dikaitkan
dengan syakhshiyyah rasul (sebagai rasul atau insaniyyahnya).
1.2 Semua mempunyai
argumen masing-masing. Mengedepankan fikrah dan manhaj masing-masing. Pedoman
hidup kita sama (al-Quran dan Hadis). Tujuanpun sama hanya saja, kita berada
pada perahu yang berbeda. Nahkoda kapal mempunyai strategi masing-masing untuk
melakukan navigasi dan mengarahkan awak kapal untuk berlayar pada tujuan yang
sama.
1.3 Umat
islam pada umumnya yang tidak mampu berijtihad akan mengikuti salah satu pendapat
ulama, baik dengan cara ittiba’ maupun taqlid. Ini bisa dipahami karena umat
islam yang awam mempunyai I’tikad baik untuk bersikap dan bertingkah laku
sesuai dengan ajaran agama.
Catatan Kaki
[1] As-Suyuti.Jallaluddin Abdurrahman, Al-Asyubah wa An-Nadhoir fi Qowa’idi wa Furu’I Fiqhi Asy-Syafe’I
(tanpa tahun, Isa Al-Babi Al-Halabi), hal.151
[2] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam
(Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2010), hal.5
[3] Abd. Rahman Dahlan, Ushul
Fiqh (Jakarta, Amzah, 2010), hal.244
[4] H.A Djazuli, Ilmu Fiqh
(Jakarta, Predana Media Goup, 2005), hal.118
[5] Syaltut, Mahmud, Al-Islam
Aqidah wa Syari’ah (Darul Kalam, 1966), hal.6—7
[6] Sucipto, “Menyikapi Perbedaan Pendapat dalam Islam”, http://www.lampuislam.org/2013/08/menyikapi-perbedaan-pendapat-dalam-islam.html
diakses tanggal 30 Oktober 2015
[7] Ilda Hayati, “Ikhtilaf
(Perbedaan Pendapat Ulama) Dalam Hukum Isla”, http://syariah.staincurup.ac.id,
diakses tanggal 30 oktober 2015
[8] H.A Djazuli, Ilmu Fiqh
(Jakarta, Predana Media Goup, 2005), hal.122
[9] Ilda Hayati, “Ikhtilaf
(Perbedaan Pendapat Ulama) Dalam Hukum Isla”, http://syariah.staincurup.ac.id,
diakses tanggal 30 oktober 2015