Labels

3 Jun 2016

SEBAB PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA


Dalam sejarah perkembangan hukum islam, perbedaan pendapat mengenai penetapan hukum telah terjadi di kalangan para sahabat Nabi SAW ketika beliau masih hidup. Tetapi berbedaan itu segera dapat diselesaikan dengan mengembalikannya kepada Rasululloh SAW. Setelah beliau wafat, maka sering timbul di kalangan sahabat perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum. Salah satu kenyataan dalam fiqh adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Meskipun demikian kebijaksanaan fiqh menetapkan bahwa keluar dari perbedaan pendapat itu disenangi, dan mendahulukan apa yang telah disepakati daripada hal-hal lain dimana terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama[1].
 Kita yakin bahwa para ulama tidak mugkin meyakini suatu hukum syari’at atau memberikan fatwa kecuali yang sesuai dengan tuntutan Al-Quran dan Sunnah, namun sebagai manusia biasa mungkin saja seseorang keliru dalam memahami kandungan yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunah. Dalam makalah ini akan dijelaskan sebab-sebab para ulama’ berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum 

1.   Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat Para Ulama
Dalam menghadapi segala permasalahan, para ulama terlebih dahulu memeriksa masalah tersebut dalam Al-Quran atau Hadis yang mereka hafal. Tetapi kadang-kadang masalah yang mereka hadapi itu tidak ditemukan nash nya dalam Al-Quran ataupun Hadis. Ketika itu mereka saling bertanya, mungkin yang lain mengetahui hadisnya sedangkan yang menghadapi peristiwa itu sendiri tidak mengetahuinya. Apabila di antara mereka ada yang mengetahui hadis mengenai peristiwa tersebut mereka menetapkan hukum peristiwa itu menurut nash yang jelas. Dalam hal seperti ini mereka berijtihad untuk mencari hukum dengan membandingkan dan meneliti ayat-ayat dan hadis yang umum, serta mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan peristiwa yang terjadi, diqiaskan dengan hukum yang sudah ada, yang berdekatan dengan peristiwa yang baru terjadi itu[2].  
Dalam menetapkan hukum tersebut para ulama berbeda pendapat antara satu dengan yang lainnya. Adapun sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama adalah:

1.1  Pemahaman Al-Quran dan As-Sunnah
Karena berbeda dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah baik dalam Al-Quran maupun Hadis. Seperti lafal musytarak (mempunyai arti lebih dari satu), makna haqiqat (sesungguhnya), atau majaz (kiasan).
Ayat-ayat Al-Quran dan teks-teks hadis menggunakan media bahasa arab untuk menyampaikan pesan-pesannya. Karena itu, untuk memahami pesan-pesan Al-Quran dan Hadis dengan benar haruslah berpedoman pada aturan-aturan bahasa arab yang ada[3]. Selain itu dalam ungkapannya terdapat kata am (umum) tetapi yang dimaksudkan adalah khusus.

1.2  Sebab-Sebab Khusus Mengenai Sunnah Rasulullah SAW
Karena berbeda tanggapannya terhadap Hadis. Ada Hadis yang sampai kepada sebagian ulama, tetapi tidak sampai kepada ulama yang lain. Ada kalanya sebagian ulama memandang periwayatan suatu hadis shahih.  Kalau Hadis tersebut diketahui oleh semua ulama.  Sedang yang lain menganggap dha’if, karena tidak memenuhi semua persyaratan yang telah mereka tentukan. Penilaian ini meliputi segi sanad maupun matannya.

1.3  Perbedaan Mengenai Qawa’id Ushuliyyah dan Qawa’id Fiqhiyyah
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul di antaranya adalah[4] mengenai istisna yaitu apakah istisna tersebut sudah beberapa jumlah yang di athafkan satu sama lainnya kembali kepada semua ataukah kepada jumlah terakhirnya saja. Jumhur ulama berpendapat bahwa istisna (pengecualian) itu kembali kepada keseluruhannya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, istisna itu hanya kembali kepada jumlah terakhirnya saja.
Adapun sebab-sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang berkaitan dengan kaidah-kaidah fiqhiyyah contohnya adalah kaidah mazhab Syafi’i yaitu “hukum yang terkuat dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya”. Sedangkan menurut kaidah mazhab Hanafi adalah “hukum yang terkuat dari segala sesuatu adalah haram, sehingga ada dalil yang menunjukkan kebolehannya”.
Jadi menurut mazhab Syafi’i asal hukum sesuatu adalah di bolehkan mengerjakannya, sehingga ada dalil yang mengharamkannya atas dasar firman Allah dalam QS. Al-Baqarah:29 yang artinya “Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. Dan sabda nabi SAW yang berarti “apa yang telah dihalalkan oleh Allah adalah halal, dan apa yang telah diharamkan oleh Allah adalah haram, serta apa yang didiamkan oleh Allah adalah dimaafkan maka terimalah kemaafan dari Allah itu, sesungguhnya Allah tidak akan lupa pada sesuatu”. Sedangkan mazhab Hanafi berpendapat bahwa asal hukum sesuatu adalah haram, sehingga ada dalil yang membolehkannya. Kebalikan dari mazhab Syafi’i bahwa asal sesuatu adalah boleh, sehingga ada dalil yang mengharamkannya. Hal seperti ini dapat menimbulkan perbedaan dalam menetapkan hukum.
       
1.4     Perbedaan Penggunaan Dalil di luar Al-Quran
Berbeda pendapat dalam menetapkan dalil yang sifatnya ijtihadi[5]. Ulama sepakat bahwa Al-Quran dan Al-Sunnah al-Shalihah adalah sumber hukum. Tetapi berbeda pendapatnya  tentang istihsan, al-maslahah al-mursalah, pendapat sahabat yang digunakan dalam era berijtihad. Sering pula terjadi, disepakati tentang dalilnya tetapi penerapannya berbeda-beda. Sehingga mengakibatkan hukumnya berbeda pula. Misalnya tentang Qiyas, jumhur ulama berpendapat bahwa Qiyas adalah dalil yang biasa digunakan. Tetapi dalam menetapkan illat hukum sering berbeda. Karena adanya perbedaan dalam menentukan illat hukumnya, maka berbeda pula dalam hukumnya. 

2.   Menyikapi Perbedaan Pendapat Dalam Islam
Sebagai hamba yang beriman kita diperintahkan untuk bisa menerima bahwa adanya berbagai macam perbedaan pendapat dan paham itu sudah merupakan ketetapan Allah dan sudah seharusnya juga kita menyikapi hal ini secara wajar. Dalam arti tetap menjalin interaksi dan toleransi terhadap berbagai macam golongan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai islam.
Banyak sekali ayat Al-Quran dan Hadis Nabi yang melarang perpecahan dan perselisihan, namun apabila kita mencermati akan tampak oleh kita bahwa yang dimaksud adalah berbeda pendapat dalam masalah-masalah prinsip atau Ushul yang berdampak kepada perpecahan. Adapun berbeda pendapat dalam masalah-masalah cabang agama atau Furu’, maka hal ini tidaklah tercela dan tidak boleh sampai berdampak atau berujung pada perpecahan, karena para sahabat juga berbeda pendapat akan tetapi mereka tetap bersaudara dan saling menghormati satu dengan yang lain tanpa saling menghujat atau melecehkan dan menjatuhkan[6].
Yang menarik dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama islam terutama yang diakui secara luas keilmuannya mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka dibawah Al-Quran dan Hadis, tidak memaksakan pendapat dan selalu siap menerima kebenaran dari siapapun datangnya. Dapat dikatakan bahwa mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia sebab, kebenaran mutlaq hanya milik Allah. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling abash sehingga wajib untuk diikuti dan menolak pendapat lain sehingga mengganggapnya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan agama. “Pendapatku benar, tetapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tetapi memiliki kemungkinan untuk benar”. Demikian pendapat imam Syafi’i.
  Dalam kerangka yang sama, imam Hambali pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara dikeraskan bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhab Hambali sendiri yang menyatakan bahwa dianjurkan bagi orang yang shalat adalah mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan imam Hambali demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah waktu itu yang memandang sebaliknya. Sebab menurut ulama-ulama Madinah itu orang yang shalat lebih utama bila ia mengeraskan bacaan basmalahnya. Di sini kita bisa mengetahui betapa imam Ahmad lebih mengutamakan sebuah esensi dari nilai ukhuwah. Ada ungkapan yang cukup indah dari Muhammad Rasyid Ridha, “Marilah kita tolong-menolong pada perkara yang kita sepakati, dan mari kita saling menghargai pada perkara yang kita perselisihkan”. Jadi kalau malaikat dan para nabi saja bisa berbeda pendapat, mengapa kita harus berpecah dan bermusuhan karena perbedaan?

3.   Hikmah Perbedaan Pendapat Para Ulama
Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika didasarkan pada beberapa hal berikut ini[7]:
a.       Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah satu dalil dari sekian banyak model dalil.
b.      Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala berpikir.
c.       Memberikan kesempatan berbicara kepada lawan bicara atau pihak lain
yang berbeda pendapat dan bermuamalah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar mereka.

Perbedaan pendapat tidak akan mengakibatkan pengaruh yang negatif. Bahkan perbedaan pendapat bisa memberikan hikmah yang besar. Dengan berpikir kritis dan bersikap terbuka terhadap perbedaan pendapat para ulama, maka perbedaan pendapat itu akan memberikan hikmah yang besar, berikut ini akan dikemukakan beberapa hikmah yang dapat ditarik dari perbedaan pendapat tersebut.
Kita memiliki sejumlah besar hasil ijtihad yang memungkinkan untuk memilih mana alternatif yang terbaik di antara pendapat para ulama yang bisa diterapkan untuk masa sekarang ini. Cara inilah yang sedang ditempuh para ahli hokum islam. Sekarang seperti terbukti dalam perkembangan hukum islam terakhir.
Di samping itu, dengan adanya perbedaan pendapat para ulama, kita akan tahu alasan masing-masing ulama tentang pendapatnya tersebut, sehingga memungkinkan kita untuk mentarjih atau cenderung kepada pendapat yang mempunyai alas an yang lebih kuat. Dengan demikian dari perbedaan pendapat ulama yag ada, dengan melihat dari cara beristinbat, akan tampak mana pendapat-pendapat yang lebih banyak meraih nilai-nilai Al-Quran dan Sunnah.
Kita melihat bahwa bagaimanapun juga selama diperkenankan ijtihad, maka berarti diperkenankan adanya perbedaan pendapat. Sebab ijtihad mengakibatkan adanya perbedaan pendapat para ulama. Ini berarti dituntut sikap toleranterhadap kenyataan adanya perbedaan pendapat[8]. 
Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan para imam Mazhab dan para ulama fiqh, sangat penting untuk membantu kita, agar keluar dari taqlid buta karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan serta jalan pemikiran mereka dalam menetapkan hukum suatu masalah. Sehingga dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam studi tentang hal yang diperselisihkan, meliputi system dan cara yang lebih baik serta tepat dalam mengistinbatkan hukum. Juga dapat mengembangkan kemampuan dalam kemampuan dalam hukum fiqh, bahkan akan terbuka kemungkinan untuk menjadi mujtahid[9].    
 Faedah dan manfaat dari ikhtilaf dapat diperoleh bila dalam berikhtilaf itu berpijak pada ketentuan-ketentuan dan adab yang terkandung didalamnya. Namun jika ketentuan dan batasan itu dilanggar, maka sudah pasti akan menimbulkan perpecahan. Hal ini akan melahirkan kesulitan dan kejahatan sehingga dapat mengganggu kehidupan umat. Jika begitu keadaannya maka ikhtilaf akan berubah menjadi ajang kehancuran.

1.   Kesimpulan
1.1 Perbedaan ulama mengenai sumber hukum yang utama (al-Quran) adalah dari segi pemahaman semata-mata terhadap nash-nash yang dzanni (tidak pasti) dalalahnya. Perbedaan ulama mengenai sumber hokum yang kedua yakni sunnah Rasul, yakni dari segi wurud (penilaian terhadap sanad dan sebagian matan hadis) di samping segi dalalahnya. Serta perbedaan mengenai kedudukan sunah rasul sesudah dikaitkan dengan syakhshiyyah rasul (sebagai rasul atau insaniyyahnya).

1.2 Semua mempunyai argumen masing-masing. Mengedepankan fikrah dan manhaj masing-masing. Pedoman hidup kita sama (al-Quran dan Hadis). Tujuanpun sama hanya saja, kita berada pada perahu yang berbeda. Nahkoda kapal mempunyai strategi masing-masing untuk melakukan navigasi dan mengarahkan awak kapal untuk berlayar pada tujuan yang sama.

1.3  Umat islam pada umumnya yang tidak mampu berijtihad akan mengikuti salah satu pendapat ulama, baik dengan cara ittiba’ maupun taqlid. Ini bisa dipahami karena umat islam yang awam mempunyai I’tikad baik untuk bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama.


Catatan Kaki
[1] As-Suyuti.Jallaluddin Abdurrahman, Al-Asyubah wa An-Nadhoir fi Qowa’idi wa Furu’I Fiqhi Asy-Syafe’I (tanpa tahun, Isa Al-Babi Al-Halabi), hal.151
[2] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2010), hal.5

[3] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta, Amzah, 2010), hal.244
[4] H.A Djazuli, Ilmu Fiqh (Jakarta, Predana Media Goup, 2005), hal.118
[5] Syaltut, Mahmud, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah (Darul Kalam, 1966), hal.6—7
[6] Sucipto, “Menyikapi Perbedaan Pendapat dalam Islam”, http://www.lampuislam.org/2013/08/menyikapi-perbedaan-pendapat-dalam-islam.html diakses tanggal 30 Oktober 2015
[7] Ilda Hayati, “Ikhtilaf (Perbedaan Pendapat Ulama) Dalam Hukum Isla”, http://syariah.staincurup.ac.id, diakses tanggal 30 oktober 2015
[8] H.A Djazuli, Ilmu Fiqh (Jakarta, Predana Media Goup, 2005), hal.122
[9] Ilda Hayati, “Ikhtilaf (Perbedaan Pendapat Ulama) Dalam Hukum Isla”, http://syariah.staincurup.ac.id, diakses tanggal 30 oktober 2015