Labels

9 Nov 2015

Agama dan Eksistensinya Bagi Manusia



BAB I
PENDAHULUAN­­

1.1    Latar belakang
Agama berarti mengabdikan diri. Orang yang beragama tidak sekedar mengetahui agama, tetapi memerlukan membiasakan dirinya dengan hidup beragama. Suatu hal yang penting diketahui tentang agama adalah rasa pengabdian (dedication atau contentment). Tiap-tiap merasa, bahwa ia harus mengabdikan dirinya sekuat-kuatnya kepada agama yang dianutnya.
Agama mempengaruhi aktifitas manusia dan sejumlah bentuk sosial yang memberikan arti penting. Dalam sejarah peradaban manusia, perkembangan ilmu pengetahuan berasal dari pola pikir mite-mite menjadi yang lebih rasional.
Metode yang terbaik dalam penyelidikan agama dan eksistensinya bagi manusia adalah metode yang dipakai oleh Plato (filosof yunani, 429-347 SM) dan Kent (Filosof jerman, 1724-1804). Metode ini dapat dinamakan kritis dan dialektis. Yang dimaksut dengan dialektis adalah keritik yang berulang-ulang dan teliti tentang pendapat-pendapat.[1]

1.2    Rumusan masalah
Untuk mengkaji dan mengulas tentang agama dan eksistensinya bagi manusia, maka diperlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penyusun membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.      bagaimanakah bentuk agama dan eksistensinya bagi manusia?
2.      Bagaimanakah peran agama dan eksistensinya bagi manusia?
3.      bagaimanakah fungsi agama dan eksistensinya bagi manusia?
4.      Bagaimanakah tujuan agama dan eksistensinya bagi manusia?



BAB II
ISI
2.1     Pengertian Agama Secara Umum
Merumuskan pengertian agama bukan suatu perkara mudah, dan ketidak sanggupan manusia untuk mendefinisikan agama karena disebabkan oleh persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepentingan mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena itu tidak mengherankan jika secara internal  muncul pendapat-pendapat yang secara apriori menyatakan bahwa agama tertentu saja sebagai satu-satunya agama samawi (Monoteisme), meskipun dalam waktu yang bersamaan menyatakan bahwa agama samawi itu meliputi Islam, Kristen dan Yahudi.
Sumber terjadinya agama terdapat dua katagori, pada umumnya agama Samawi dari langit, agama yang diperoleh melalui Wahyu Illahi antara lain Islam, Kristen dan Yahudi.—-dan agama Wad’i (animisme) atau agama bumi yang juga sering disebut sebagai agama budaya yang diperoleh berdasarkan kekuatan pikiran atau akal budi manusia antara lain Hindu, Buddha, Tao, Khonghucu dan berbagai aliran keagamaan lain atau kepercayaan.
Dalam prakteknya, sulit memisahkan antara wahyu Illahi dengan budaya, karena pandangan-pandangan, ajaran-ajaran, seruan-seruan pemuka agama meskipun diluar Kitab Sucinya, tetapi oleh pengikut-pengikutnya dianggap sebagai Perintah Illahi, sedangkan pemuka-pemuka agama itu sendiri merupakan bagian dari budaya dan tidak dapat melepaskan diri dari budaya dalam masa kehidupannya, manusia selalu dalam jalinan lingkup budaya karena manusia berpikir dan berperilaku.
            Agama atau dalam bahasa arabnya ad-dien adalah : “Keyakinan (keimanan)tentang suatu dzat ketuhanan (Ilahiyah) yang pantas untuk menerima ketaatandan ibadah”. Ini adalah definisi secara umum. Karenanya semua keyakinantentang dzat ketuhanan disebut agama, walaupun itu murni hasil “kreatifitas” pemikiran manusia.
Kita tahu bahwa sebagian besar penghuni bumi ini memeluk suatu agama. Itu adalah sebuah kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Hal ini memunculkan sebuah pertanyaan “Mengapa manusia beragama?”. Jawabnya adalah karena manusia memang membutuhkan agama dalam hidupnya.
Meskipun ada beberapa sarjana Barat seperti, Karl Marx, Emil Durkheim, Sigmund Freud dan beberapa pemikir lain yang menganggap bahwa eksistensi agama ini tidak diperlukan lagi oleh manusia. Bahkan dengan suara lantang Friedrich Nietczhe menjelang abad ke 19 mengatakan:” Tuhan telah mati”
Karl Marx mengatakan:” Agama adalah candu masyarakat.[2] Marx tahu bahwa candu adalah zat yang dapat menimbulkan halusinansi dan membius. Candu tetap berpengaruh buruk kepada si pemakai walaupun mendatangkan fantasi. Maka, menurut Marx, fungsi yang dimainkan agama dalam kehidupan masyarakat, sama seperti candu pada diri seseorang. Dengan agama, penderitaan dan kepedihan yang dialami oleh masyarakat yang terekploitasi, dapat diringankan melalui fantasi tentang dunia supernatural tempat dimana tidak ada lagi penderitaan dan penindasan. Lain halnya dengan Sigmund Freud yang merasa bahwa dia tidak menemukan suatu alasan untuk percaya adanya Tuhan, shingga ia menganggap ritual keagamaan tidak punya arti dan manfaat apapun dalam kehidupan ini. Ia yakin bahwa ide-ide agama tidak datang dari Tuhan Yang Esa ataupun Tuhan-tuhan yang lain, sebab tuhan-tuhan itu memang tidak ada.
Namun demikian, tidak semua pemikir Barat dan para pujangganya memusuhi agama. Ada di antara mereka yang bijaksana, yang telah bebas dari pengaruh peradaban ateis-materialistis. Mereka sadar bahwa akidah merupakan hajat mental psikologis. Di antara para pemikir tersebut adalah James Jeans, yang memulai hidupnya sebagai seorang skeptis yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Setelah mengadakan penyelidikan ilmiah yang mendalam, akhirnya ia sampai kepada pemahaman bahwa problem-problem ilmiah yang besar tidak dapat dipecahkan kecuali dengan mengakui adanya Tuhan.
Dr. Yusuf Al-Qaradhawy dalam bukunya “Madkhal li-Ma’rifatil Islam”-Pengantar KajianIslam- menyebutkan paling tidak ada lima faktor yang menyebabkan manusia butuh terhadap agama, lima faktor itu bisa dijabarkan sebagai berikut:
1.      Kebutuhan akal terhadap pengetahuan mengenai hakikat eksistensi terbesar.
Betapapun cerdasnya manusia, jika hanya dengan akalnya ia tak akan bisa menjawab dengan pasti pertanyaan: darimana ia berasal?, kemanakah ia setelah mejalani hidup ini? dan untuk apa ia hidup?. Banyak filosof dan pemikir yang mencoba mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan ini, namun tak ada jawaban pasti yang dapat mereka berikan. Karenanya tak mengherankan jika jawaban- jawaban itu berbeda-beda satu dengan yang lain. Ini terjadi karena jawaban- jawaban yang mereka berikan hnya didasarkan pada asumsi-asumsi dan prasangka. Jawaban pasti terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas, hanya bisa didapatkan melui agama dan itu pun tidak semua agama. Sebab pada hakikatnya jawaban pasti itu adalah berasal dari Tuhan yang menciptakan manusia dan jagat raya ini. Dan saat ini hanya Islamlah yang mempunyai sumber autentik firman Tuhan, yaitu Al-Qur’an. Selain Al-Qur’an semua sudah tercampur denganperkataan manusia, bahkan ada yang murni hasil karya manusia namun dianggapfirmanTuhan.
2.      Kebutuhan fitrah manusia
Bukti yang paling jelas menunjukkan bahwa secara fitrah manusia butuh terhadap agama adalah kenyataan bahwa semua bangsa mengenal kepercayaan terhadap dzat yang dianggap agung. Baik itu bangsa yang primitif maupun yang berperadaban, yang di barat maupun yang di timur, yang kuno maupun yang modern. Sedangkan orang-orang yang mengaku tidak percaya terhadap Tuhan, itu sebenarnya adalah hanya sebuah pelarian dari rasa kecewa terhadap agama yang mereka lihat. Padahal yang salah adalah ajaran agama itu dan sama sekali itu tidak membuktikan bahwa Tuhan tidak ada.
فأقم وجهك للدين حنيفا , فطرت الله التى فطر النا س عـليها
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah ata
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu”.[3]
3.       Kebutuhan manusia terhadap kesehatan jiwa dan kekuatan rohani
Kehidupan manusia tak selamanya mulus tanpa kerikil dan batu sandungan. Ada saat-saat gembira, bahagia, damai dan tentram namun juga ada saat dimana ia sedih, gundah, menderita dan tertimpa musibah. Disaat jiwa sedang dalam kondisi lemah seperti itulah semakin terasa ia membutuhkan kekuatan yang bisa mengembalikan rasa bahagia, tentram dan damai yang hilang. Atau paling tidak ia bisa menghadapi semua itu dengan jiwa yang besar, ketabahan dankesadaran. Keyakinan dan keimanan terhadap agamalah sumber kekuatan itu. Sebab hanya agamalah yang mengajarkan tentang kepercayaan terhadap takdir, tawakkal, kesabaran, pahala dan siksa. Dengan kepercayaan terhadap takdir ia bisa dengan mudah menerima kenyataan. Dengan tawakkal ia tidak akan terlalu kecewa jika ternyata jerih payahnya tak sesuai dengan harapan. Dan dengan kepercayaan terhadap pahala dan siksa ia akan bisa segera bangkit kembali tatkala didzalimi orang lain. Dengan kepercayaan semacam itulah jiwa akan menjadi sehat dan rohani akan menjadi kuat.
Tentang kaitan antara agama dan kesehatan jiwa ini Dr. Karl Bang memberikan kesaksian: “Setiap pasien yang berkonsultasi padaku semenjak tiga puluh tahun yang lalu yang berasal dari seluruh penjuru dunia, ternyata sesungguhnya penyebab sakit mereka adalah kurangnya keimanan dan goyahnya akidah mereka. Sementara mereka tidak akan mendapatkan kesembuhan kecua lisetelah mereka mengembalikan keimanan mereka”.
4.      Kebutuhan masyarakat terhadap motivasi dan disiplin akhlak.
             Hukum dan peraturan jelas tidak bisa menjamin bahwa anggota sebuah masyarakat akan bisa melaksanakan kebaikan, menunaikan kewajiban dan meninggalkan larangan. Sebab hukum dan peraturan itu tidak bisa menciptakan motivasi dan menumbuhkan kedisiplinan. Karena memanipulasi hukum adalah suatu hal yang mungkin terjadi dan mencurangi peraturan adalah bukan hal sulit untuk dilakukan.
             Hukum dan peraturan hanyalah sebuah perwujudan dari pengawasan eksternal, dan itu tidak cukup sampai di situ. Masyarakat membutuhkan motivasi internal yang kita kenal dengan hati nurani. Dengan membina hati nurani inilah seorang manusia akan termotivasi untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan dengan sukarela walaupun tanpa ada pengawasan dari manusia dan tekanan dari hukum dan peraturan.
             Peran pembinaan terhadap hati nurani inilah yang tak dapat dilakukan selain oleh agama. Apalagi agama juga mengajarkan adanya “pengawasan melekat” oleh Tuhan terhadap seluruh perbuatan manusia. Motivasi hati nurani dan “pengawasan melekat” seperti inilah yang bisa menjamin suburnya nilai-nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam masyarakat.Marilah kita simak kata-kata Voltair berikut ini:
             “Mengapa kalian meragukan eksistensi Tuhan, padahal kalau bukan karena Tuhanniscaya istriku telah mengkhianatiku (berbuat serong) dan pembantuku telahmencuri hartaku”.[4]
5.      Kebutuhan masyarakat kepada solidaritas dan soliditas.
Agama sesungguhnya memiliki peran yang sangat besar urgensinya dalam mempererat hubungan antara manusia satu sama lain, dalam status mereka semua sebagai hamba milik satu Tuhan (Allah) yang talah menciptakan mereka dan dalam status mereka semua sebagai anak dari satu bapak (Adam) yang telah menurunkan mereka, terlebih lagi dengan persaudaraan akidah dan ikatan iman yang dibangun oleh agama diantara mereka.
Bahkan ikatan akidah dan keimanan ini mampu melampaui batas-batas bangsa, suku, warna kulit, jenis kelamin dan melebihi ikatan darah dan kekerabatan. Maka tidak mengherankan jika kita menemukan mereka mencintai yang lainnya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, rela mengorbankan nyawa demi saudaranya dan berlinang air mata karena penderitaan saudaranya di negeri lain meskipun dipisahkan jarak beribu-ribu kilo meter. Dengan cinta dan pengorbanan semacam itulah sebuah masyarakat menjadi solid dan kokoh dalam menjalankan agama.
Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa di muka bumi ini sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Melalui kesempurnaannya itu manusia bisa berpikir, bertindak, berusaha, dan bisa menentukan mana yang benar dan baik. Di sisi lain, manusia meyakini bahwa dia memiliki keterbatasan dan kekurangan. Mereka yakin ada kekuatan lain, yaitu Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Oleh sebab itu, sudah menjadi fitrah manusia jika manusia mempercayai adanya Sang Maha Pencipta yang mengatur seluruh sistem kehidupan di muka bumi. Dalam kehidupannya, manusia tidak bisa meninggalkan unsur Ketuhanan. Manusia selalu ingin mencari sesuatu yang sempurna. Dan sesuatu yang sempurna tersebut adalah Tuhan. Hal itu merupakan fitrah manusia yang diciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Tuhannya.
Demikian kiranya hajat manusia terhadap agama,sebagai pembawaan nalurinya sebagai manusia, meskipun karena desakan – desakan sosial bisa jadi naluri ini menjadi termarjinalkan dari kebutuhan manusia disamping kebutuhan – kebutuhannya yang bersifat materi.


2.2 Peranan Agama.
      Agama mengambil peranan penting dalam keberadaan suatu masyarakat atau komunitas. Karena suatu agama atau kepercayaan akan tetap langgeng jika terus diamalkan oleh masyarakat secara kontiniu. Masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini, melihat kepada kondisi masyarakat maka agama  dapat dibedakan dalam dua tipe, yaitu : agama yang hidup dalam masyarakat sakral dan agama yang hidup dalam masyarakat sekuler.Sumbangan atau fungsi agama dalam masyarakat adalah sumbangan untuk mempertahankan nilai-nilai dalam masyarakat. Sebagai usaha-usaha aktif yang berjalan terus menerus, maka dengan adanya agama maka stabilitas suatu masyarakat akan tetap terjaga. Sehingga agama atau kepercayaan mengambil peranan yang penting dan menempati fungsi-fungsi yang ada dalam suatu masyarakat
            Ada beberapa alasan tentang mengapa agama itu sangat penting dalam kehidupan manusia, antara lain adalah :
Ø  Karena agama merupakan sumber moral
Ø  Karena agama merupakan petunjuk kebenaran
Ø  Karena agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika.
Ø  Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia baik di kala suka, maupun di kala duka.
Manusia sejak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta tidak mengetahui apa-apa.
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi sedikit di antara mereka yang mensyukurinya.[5]
Dalam keadaan yang demikian itu, manusia senantiasa dipengaruhi oleh berbagai macam godaan dan rayuan, baik dari dalam, maupun dari luar dirinya. Godaan dan rayuan daridalam diri manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu
Ø  Godaan dan rayuan yang berysaha menarik manusia ke dalam lingkungan kebaikan, yang menurut istilah Al-Gazali dalam bukunya ihya ulumuddin disebut dengan malak Al-hidayah yaitu kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada hidayah atau kebaikan.
Ø  Godaan dan rayuan yang berusaha memperdayakan manusia kepada kejahatan,yang menurut istilah Al-Gazali dinamakan malak al-ghiwayah, yakni kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada kejahatan
Disinilah letak peranan agama dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia kejalan yang baik dan menghindarkan manusia dari kejahatan atau kemungkaran.

2.3 Fungsi Beragama.

Fungsi pertama agama ialah mendefinisikan siapakah saya dan siapakah Tuhan, serta bagaimanakah saya berhubung dengan Tuhan itu. Bagi Muslim, dimensi ini dinamakan sebagai hablun minaLlah dan ia merupakah skop manusia meneliti dan mengkaji kesahihan kepercayaannya dalam menghuraikan persoalan diri dan Tuhan yang saya sebutkan tadi. Perbincangan tentang fungsi pertama ini berkisar tentang Ketuhanan, Kenabian, Kesahihan Risalah dan sebagainya.
Mana mungkin penyama rataan dibuat sedangkan sesiapa sahaja tahu bahawa asas agama malah sejarahnya begitu berbeza. Tidak mungkin semua agama itu sama!
Manakala fungsi kedua bagi agama ialah mendefinisikan siapakah saya dalam konteks interpersonal iaitu bagaimanakah saya berhubung dengan manusia. Bagi pembaca Muslim, kategori ini saya rujukkan ia sebagai hablun minannaas.
Ketika Allah SWT menurunkan ayat al-Quran yang memerintahkan manusia agar saling kenal mengenal (Al-Hujurat 49: 13), perbezaan yang berlaku di antara manusia bukan sahaja meliputi perbezaan kaum, malah agama dan kepercayaan. Fenomena berbilang agama adalah seiring dengan perkembangan manusia yang berbilang bangsa itu semenjak sekian lama.
Maka manusia dituntut agar belajar untuk menjadikan perbedaan itu sebagai medan kenal mengenal, dan bukannya gelanggang krisis dan perbalahan. Untuk seorang manusia berkenalan dan seterusnya bekerjasama di antara satu sama lain, mereka memerlukan beberapa perkara yang boleh dikongsi bersama untuk menghasilkan persefahaman. Maka di sinilah, dialog antara agama (Interfaith Dialogue) mengambil tempat. Dialog antara agama bertujuan untuk menerokai beberapa persamaan yang ada di antara agama. Dan persamaan itu banyak ditemui di peringkat etika dan nilai


           

Dari segi pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains sosial, fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang dihuraikan di bawah:

Ø  Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
Agama dikatankan memberi pandangan dunia kepada manusia kerana ia sentiasanya memberi penerangan mengenai dunia(sebagai satu keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan bagi pekara ini sebenarnya sukar dicapai melalui inderia manusia, melainkan sedikit penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam menerangkan kepada umatnya bahawa dunia adalah ciptaan Allah SWTdan setiap manusia harus menaati Allah SWT

Ø  Menjawab pelbagai soalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
Sesetangah soalan yang sentiasa ditanya oleh manusia merupakan soalan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri. Contohnya soalan kehidupan selepas mati, matlamat  menarik dan untuk menjawabnya adalah perlu. Maka, agama itulah berfungsi untuk menjawab soalan-soalan ini.
Ø  Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.
Agama merupakan satu faktor dalam pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah kerana sistem agama menimbulkan keseragaman bukan sahaja kepercayaan yang sama, malah tingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.

Ø  Memainkan fungsi kawanan sosial.
Kebanyakan agama di dunia adalah menyaran kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kod etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan fungsi kawanan sosial

Ø  Fungsi Sosial Agama
Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.

·         Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.

·         Fungsi Disintegratif Agama.
Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain


2.4 Tujuan Beragama

sempurna baik dengan tuhan-nya maupun lingkungan masyarakat.semua agama sudah sangat sempurna dikarnakan dapat menuntun umat-nya bersikap dengan baik dan benar serta dibenarkan. keburukan cara ber-sikap dan penyampaian si pemeluk agama dikarnakan ketidakpahaman tujuan daripada agama-nya. memburukan serta membandingkan agama satu dengan yang lain adalah cerminan kebodohan si pemeluk agama
Beberapa tujuan agama terhadap kehidupan manusia yaitu :
Ø  Menegakan kepercayaan manusia hanya kepada Allah,Tuhan Yang Maha Esa (tahuit).
Ø  Mengatur kehidupan manusia di dunia,agar kehidupan teratur dengan  baik, sehingga dapat mencapai kesejahterahan hidup, lahir dan batin, dunia dan akhirat.
Ø  Menjunjung tinggi dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah.
Ø  Menyempurnakan akhlak manusia.
Ø  Agama juga berperan untuk menciptakan suatu perdamaian bagi masyarakat dan sebagai alat yang dapat dijadikan sebagai penumbuh rasa solidaritas.
Ø  Untuk menciptakan iklim damai tersebut, perlu dibentuk pranata-pranata sosial yang menjadi infrastruktur bagi tegaknya suatu perdamaian dalam masyarakat.
      Dalam hal ini peranan pemimpin keagamaan, seperti ulama, pendeta, kyai dan para jemaah agama, adalah sangat penting bagi terwujudnya suasana  damai dan kondusif dalam kehidupan beragama manusia sehyari hari.


Menurut para peletak dasar ilmu sosial seperti Max Weber, Erich Fromm, dan Peter L Berger, agama merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bagi umumnya agamawan, agama merupakan aspek yang paling besar pengaruhnya –bahkan sampai pada aspek yang terdalam (seperti kalbu, ruang batin)– dalam kehidupan kemanusiaan.Masalahnya, di balik keyakinan para agamawan ini, mengintai kepentingan para politisi. Mereka yang mabuk kekuasaan akan melihat dengan jeli dan tidak akan menyia-nyiakan sisi potensial dari agama ini. Maka, tak ayal agama kemudian dijadikan sebagai komoditas yang sangat potensial untuk merebut kekuasaan.Yang lebih sial lagi, di antara elite agama (terutama Islam dan Kristen yang ekspansionis), banyak di antaranya yang berambisi ingin mendakwahkan atau menebarkan misi (baca, mengekspansi) seluas-luasnya keyakinan agama yang dipeluknya. Dan, para elite agama ini pun tentunya sangat jeli dan tidak akan menyia-nyiakan peran signifikan dari negara. Maka, kloplah, politisasi agama menjadi proyek kerja sama antara politisi yang mabuk kekuasaan dengan para elite agama yang juga mabuk ekspansi keyakinan.Namun, perlu dicatat, dalam proyek “kerja sama” ini tentunya para politisi jauh lebih lihai dibandingkan elite agama. Dengan retorikanya yang memabukkan, mereka tampil (seolah-olah) menjadi elite yang sangat relijius yang mengupayakan penyebaran dakwah (misi agama) melalui jalur politik. Padahal sangat jelas, yang terjadi sebenarnya adalah politisasi agama.Di tangan penguasa atau politisi yang ambisius, agama yang lahir untuk membimbing ke jalan yang benar disalahfungsikan menjadi alat legitimasi kekuasaan; agama yang mestinya bisa mempersatukan umat malah dijadikan alat untuk mengkotak-kotakkan umat, atau bahkan dijadikan dalil untuk memvonis pihak-pihak yang tidak sejalan sebagai kafir, sesat, dan tuduhan jahat lainnya,disfungsi atau penyalahgunaan fungsi agama inilah yang harus diperhatikan. karena Agama bukan benda yang harus dimiliki, melainkan nilai yang melekat dalam hati.Mengapa kita sering takut kehilangan agama, karena agama kita miliki, bukan kita internalisasi dalam hati. Agama tidak berfungsi karena lepas dari ruang batinnya yang hakiki, yakni hati (kalbu).



BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Agama merupakan suatu kebutuhan dasar setiap manusia, munculnya berbagai perasaan dalam diri manusia yang bersifat khayali dan imajiner, menjadi modal dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan suatu agama atau kepercayaaan. Agama muncul dari adanya kepercayaan-kepercayaan terhadap sesuatu yang  dianggap suci dan menempati berbagai aspek dalam kehidupan manusia yang akhirnya suatu agama atau kepercayaan dapat melekat dan mengambil peranan penting pada seorang individu atau masyarakat.
Sebuah masyarakat yang mempunyai konsep-konsep kepercayaan, akan membentuk  sebuah sistem baru, dimana ada norma-norma dan aturan-aturan agama yang melekat dan menjadi ciri khas dalam masyarakat tersebut. Begitu pentingnya peranan agama dalam masyarakat sehingga ada yang disebut dengan masyarakat agamis dan ada juga yang dikatakan sebagai masyarakat sekuler. Masyarakat sekuler memisahkan urusan-urusan dunia dengan nilai-nilai keagamaan, sedangkan masyarakat agamis adalah masyarakat yang meletakkan nilai-nilai yang disepakati  oleh masyarakat tersebut berdasarkan tuntunan dan aturan  agama yang dianut dalam masyarakat itu.



3.2 SARAN-SARAN
Ø  Ada baiknya segala kehidupan manusia dalam melakukan aktiitas hidupnya, manusia selalu berdasar dan berpatokan pada agama, agar tidak terjadi kesimpang siuran antara oendapat manusia dan kebenaran ajaran agama.
Ø  Perlu dikembangkan perilaku hidup beragama dalam kehidupan sehari-hari, agar tercipta suatu keselarasan dan tenggang rasa antara umat beragama yang satu dengan yang lainnya
Ø  Sebaiknya setiap Agama bisa saling menghormati dan menghargai agar tidak terjadi suatu konflik, demi terciptanya masyarakat yang religius.






DAFTAR RUJUKAN

Ø  Trueblood, David. Filsafat agama (pholosophy of religion). Terjemahan prof. Dr. M. Rasjidi.       1965. Jakarta: bulan bintang.
Ø  O’dea F. Thomas. Sosiologi agama (the sosiology of religion). Terjemah tim YASOGAMA. 1985. Yogyakarta: Rajagrafindo.
Ø  Nottingham K. Elizabeth. 1954. Agama dan masyarakat, suatu pengantar sosiologi agama (religion and society). Terjemahan Abdul muis naharong. 1985. Jakarta: Rajawali.
Ø  Armstrong, Karen. 1993. Sejarah Tuhan: kisah pencarian tuhan yang dilakukan oleh orang-orang yahudi, kristen, dan islam selama 4000 tahun (A History Of God The 4000-year Quest Of Judaisme, Christianty And Islam). Terjemah Jaimul Am. 2001. Bandung: Mizan Pustaka.
Ø  Al-Tantawi, Ali. Devinisi Umum Tentang Akidah Islamiyah. 2000. Jeddah: Dar Almanar.




[1] David troublood, philosophy of religion. Terjemah. Prof. Dr. M. Rasjidi, filsafat agama. (jakarta: bulan bintang, 1987), h.5
[2] Tomas F. O’dea, Sosiologi Agama:suatu pengenalan awal (The Sociology Of Religion). Terjemah Tim YASOGA. (jakarta:Rajawali pers)h.3
[3] (Qs.Ar-Rum:30)
[4] Elizabeth K. Nottingham, agama dan masyarakat (Religion and Society), tejemah abdul muis naharong, (jakarta:Rajawali)h.7
[5] (Q. S. al-Nahl (16) : 78)