BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Agama berarti mengabdikan diri. Orang yang
beragama tidak sekedar mengetahui agama, tetapi memerlukan membiasakan dirinya
dengan hidup beragama. Suatu hal yang penting diketahui tentang agama adalah
rasa pengabdian (dedication atau contentment). Tiap-tiap merasa, bahwa ia harus
mengabdikan dirinya sekuat-kuatnya kepada agama yang dianutnya.
Agama mempengaruhi aktifitas manusia dan sejumlah
bentuk sosial yang memberikan arti penting. Dalam sejarah peradaban manusia,
perkembangan ilmu pengetahuan berasal dari pola pikir mite-mite menjadi yang
lebih rasional.
Metode yang terbaik dalam penyelidikan agama dan
eksistensinya bagi manusia adalah metode yang dipakai oleh Plato (filosof
yunani, 429-347 SM) dan Kent (Filosof jerman, 1724-1804). Metode ini dapat
dinamakan kritis dan dialektis. Yang dimaksut dengan dialektis
adalah keritik yang berulang-ulang dan teliti tentang pendapat-pendapat.[1]
1.2
Rumusan masalah
Untuk mengkaji dan mengulas tentang agama
dan eksistensinya bagi manusia, maka diperlukan subpokok bahasan yang saling
berhubungan, sehingga penyusun membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. bagaimanakah bentuk agama dan eksistensinya
bagi manusia?
2. Bagaimanakah peran agama dan eksistensinya
bagi manusia?
3. bagaimanakah fungsi agama dan eksistensinya
bagi manusia?
4. Bagaimanakah tujuan agama dan eksistensinya
bagi manusia?
BAB II
ISI
2.1
Pengertian Agama Secara Umum
Merumuskan pengertian agama bukan suatu
perkara mudah, dan ketidak sanggupan manusia untuk mendefinisikan agama karena
disebabkan oleh persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepentingan mutlak
dan tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena itu tidak mengherankan jika secara
internal muncul pendapat-pendapat yang secara apriori menyatakan bahwa
agama tertentu saja sebagai satu-satunya agama samawi (Monoteisme), meskipun
dalam waktu yang bersamaan menyatakan bahwa agama samawi itu meliputi Islam,
Kristen dan Yahudi.
Sumber terjadinya agama terdapat dua
katagori, pada umumnya agama Samawi dari langit, agama yang diperoleh melalui
Wahyu Illahi antara lain Islam, Kristen dan Yahudi.—-dan agama Wad’i (animisme)
atau agama bumi yang juga sering disebut sebagai agama budaya yang diperoleh
berdasarkan kekuatan pikiran atau akal budi manusia antara lain Hindu, Buddha,
Tao, Khonghucu dan berbagai aliran keagamaan lain atau kepercayaan.
Dalam prakteknya, sulit memisahkan antara
wahyu Illahi dengan budaya, karena pandangan-pandangan, ajaran-ajaran,
seruan-seruan pemuka agama meskipun diluar Kitab Sucinya, tetapi oleh
pengikut-pengikutnya dianggap sebagai Perintah Illahi, sedangkan pemuka-pemuka
agama itu sendiri merupakan bagian dari budaya dan tidak dapat melepaskan diri
dari budaya dalam masa kehidupannya, manusia selalu dalam jalinan lingkup budaya
karena manusia berpikir dan berperilaku.
Agama
atau dalam bahasa arabnya ad-dien adalah : “Keyakinan
(keimanan)tentang suatu dzat ketuhanan (Ilahiyah) yang pantas untuk menerima
ketaatandan ibadah”. Ini adalah definisi secara umum. Karenanya semua
keyakinantentang dzat ketuhanan disebut agama, walaupun itu murni hasil
“kreatifitas” pemikiran manusia.
Kita tahu bahwa sebagian besar penghuni bumi ini memeluk suatu
agama. Itu adalah sebuah kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Hal ini
memunculkan sebuah pertanyaan “Mengapa manusia beragama?”. Jawabnya adalah
karena manusia memang membutuhkan agama dalam hidupnya.
Meskipun ada beberapa sarjana Barat seperti, Karl Marx, Emil
Durkheim, Sigmund Freud dan beberapa pemikir lain yang menganggap bahwa
eksistensi agama ini tidak diperlukan lagi oleh manusia. Bahkan dengan suara
lantang Friedrich Nietczhe menjelang abad ke 19 mengatakan:” Tuhan telah mati”
Karl Marx mengatakan:” Agama adalah candu masyarakat.[2]
Marx tahu bahwa candu adalah zat yang dapat menimbulkan halusinansi dan
membius. Candu tetap berpengaruh buruk kepada si pemakai walaupun mendatangkan
fantasi. Maka, menurut Marx, fungsi yang dimainkan agama dalam kehidupan
masyarakat, sama seperti candu pada diri seseorang. Dengan agama, penderitaan
dan kepedihan yang dialami oleh masyarakat yang terekploitasi, dapat
diringankan melalui fantasi tentang dunia supernatural tempat dimana tidak ada lagi
penderitaan dan penindasan. Lain halnya dengan Sigmund Freud yang merasa bahwa
dia tidak menemukan suatu alasan untuk percaya adanya Tuhan, shingga ia
menganggap ritual keagamaan tidak punya arti dan manfaat apapun dalam kehidupan
ini. Ia yakin bahwa ide-ide agama tidak datang dari Tuhan Yang Esa ataupun
Tuhan-tuhan yang lain, sebab tuhan-tuhan itu memang tidak ada.
Namun demikian, tidak semua pemikir Barat dan para pujangganya
memusuhi agama. Ada di antara mereka yang bijaksana, yang telah bebas dari
pengaruh peradaban ateis-materialistis. Mereka sadar bahwa akidah merupakan
hajat mental psikologis. Di antara para pemikir tersebut adalah James Jeans,
yang memulai hidupnya sebagai seorang skeptis yang tidak mempercayai adanya
Tuhan. Setelah mengadakan penyelidikan ilmiah yang mendalam, akhirnya ia sampai
kepada pemahaman bahwa problem-problem ilmiah yang besar tidak dapat dipecahkan
kecuali dengan mengakui adanya Tuhan.
Dr. Yusuf Al-Qaradhawy dalam bukunya “Madkhal li-Ma’rifatil
Islam”-Pengantar KajianIslam- menyebutkan paling tidak ada lima faktor yang
menyebabkan manusia butuh terhadap agama, lima faktor itu bisa dijabarkan
sebagai berikut:
1.
Kebutuhan
akal terhadap pengetahuan mengenai hakikat eksistensi terbesar.
Betapapun cerdasnya manusia, jika hanya dengan akalnya ia tak akan
bisa menjawab dengan pasti pertanyaan: darimana ia berasal?, kemanakah ia
setelah mejalani hidup ini? dan untuk apa ia hidup?. Banyak filosof dan pemikir
yang mencoba mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan ini, namun tak ada jawaban
pasti yang dapat mereka berikan. Karenanya tak mengherankan jika jawaban-
jawaban itu berbeda-beda satu dengan yang lain. Ini terjadi karena jawaban-
jawaban yang mereka berikan hnya didasarkan pada asumsi-asumsi dan prasangka.
Jawaban pasti terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas, hanya bisa didapatkan
melui agama dan itu pun tidak semua agama. Sebab pada hakikatnya jawaban pasti
itu adalah berasal dari Tuhan yang menciptakan manusia dan jagat raya ini. Dan
saat ini hanya Islamlah yang mempunyai sumber autentik firman Tuhan, yaitu
Al-Qur’an. Selain Al-Qur’an semua sudah tercampur denganperkataan manusia,
bahkan ada yang murni hasil karya manusia namun dianggapfirmanTuhan.
2.
Kebutuhan
fitrah manusia
Bukti yang paling jelas menunjukkan bahwa secara fitrah manusia
butuh terhadap agama adalah kenyataan bahwa semua bangsa mengenal kepercayaan
terhadap dzat yang dianggap agung. Baik itu bangsa yang primitif maupun yang
berperadaban, yang di barat maupun yang di timur, yang kuno maupun yang modern.
Sedangkan orang-orang yang mengaku tidak percaya terhadap Tuhan, itu sebenarnya
adalah hanya sebuah pelarian dari rasa kecewa terhadap agama yang mereka lihat.
Padahal yang salah adalah ajaran agama itu dan sama sekali itu tidak
membuktikan bahwa Tuhan tidak ada.
فأقم وجهك للدين حنيفا , فطرت الله التى فطر النا
س عـليها
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah).
(Tetaplah ata
fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu”.[3]
3.
Kebutuhan manusia terhadap kesehatan jiwa
dan kekuatan rohani
Kehidupan manusia tak selamanya mulus tanpa kerikil dan batu
sandungan. Ada saat-saat gembira, bahagia, damai dan tentram namun juga ada
saat dimana ia sedih, gundah, menderita dan tertimpa musibah. Disaat jiwa
sedang dalam kondisi lemah seperti itulah semakin terasa ia membutuhkan
kekuatan yang bisa mengembalikan rasa bahagia, tentram dan damai yang hilang.
Atau paling tidak ia bisa menghadapi semua itu dengan jiwa yang besar,
ketabahan dankesadaran. Keyakinan dan keimanan terhadap agamalah sumber
kekuatan itu. Sebab hanya agamalah yang mengajarkan tentang kepercayaan
terhadap takdir, tawakkal, kesabaran, pahala dan siksa. Dengan kepercayaan
terhadap takdir ia bisa dengan mudah menerima kenyataan. Dengan tawakkal ia
tidak akan terlalu kecewa jika ternyata jerih payahnya tak sesuai dengan
harapan. Dan dengan kepercayaan terhadap pahala dan siksa ia akan bisa segera
bangkit kembali tatkala didzalimi orang lain. Dengan kepercayaan semacam itulah
jiwa akan menjadi sehat dan rohani akan menjadi kuat.
Tentang kaitan antara agama dan kesehatan jiwa ini Dr. Karl Bang
memberikan kesaksian: “Setiap pasien yang berkonsultasi padaku semenjak tiga
puluh tahun yang lalu yang berasal dari seluruh penjuru dunia, ternyata sesungguhnya
penyebab sakit mereka adalah kurangnya keimanan dan goyahnya akidah mereka.
Sementara mereka tidak akan mendapatkan kesembuhan kecua lisetelah mereka
mengembalikan keimanan mereka”.
4.
Kebutuhan masyarakat terhadap motivasi dan disiplin akhlak.
Hukum dan peraturan jelas tidak bisa menjamin bahwa anggota sebuah
masyarakat akan bisa melaksanakan kebaikan, menunaikan kewajiban dan
meninggalkan larangan. Sebab hukum dan peraturan itu tidak bisa menciptakan
motivasi dan menumbuhkan kedisiplinan. Karena memanipulasi hukum adalah suatu
hal yang mungkin terjadi dan mencurangi peraturan adalah bukan hal sulit untuk
dilakukan.
Hukum dan
peraturan hanyalah sebuah perwujudan dari pengawasan eksternal, dan itu tidak
cukup sampai di situ. Masyarakat membutuhkan motivasi internal yang kita kenal
dengan hati nurani. Dengan membina hati nurani inilah seorang manusia akan
termotivasi untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan dengan sukarela
walaupun tanpa ada pengawasan dari manusia dan tekanan dari hukum dan
peraturan.
Peran pembinaan
terhadap hati nurani inilah yang tak dapat dilakukan selain oleh agama. Apalagi
agama juga mengajarkan adanya “pengawasan melekat” oleh Tuhan terhadap seluruh
perbuatan manusia. Motivasi hati nurani dan “pengawasan melekat” seperti inilah
yang bisa menjamin suburnya nilai-nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam
masyarakat.Marilah kita simak kata-kata Voltair berikut ini:
“Mengapa kalian
meragukan eksistensi Tuhan, padahal kalau bukan karena Tuhanniscaya istriku
telah mengkhianatiku (berbuat serong) dan pembantuku telahmencuri hartaku”.[4]
5.
Kebutuhan
masyarakat kepada solidaritas dan soliditas.
Agama sesungguhnya memiliki peran yang sangat besar urgensinya
dalam mempererat hubungan antara manusia satu sama lain, dalam status mereka
semua sebagai hamba milik satu Tuhan (Allah) yang talah menciptakan mereka dan
dalam status mereka semua sebagai anak dari satu bapak (Adam) yang telah
menurunkan mereka, terlebih lagi dengan persaudaraan akidah dan ikatan iman
yang dibangun oleh agama diantara mereka.
Bahkan ikatan akidah dan keimanan ini mampu melampaui batas-batas
bangsa, suku, warna kulit, jenis kelamin dan melebihi ikatan darah dan
kekerabatan. Maka tidak mengherankan jika kita menemukan mereka mencintai yang
lainnya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, rela mengorbankan nyawa demi
saudaranya dan berlinang air mata karena penderitaan saudaranya di negeri lain
meskipun dipisahkan jarak beribu-ribu kilo meter. Dengan cinta dan pengorbanan
semacam itulah sebuah masyarakat menjadi solid dan kokoh dalam menjalankan
agama.
Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa di muka bumi ini sebagai
makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Melalui
kesempurnaannya itu manusia bisa berpikir, bertindak, berusaha, dan bisa
menentukan mana yang benar dan baik. Di sisi lain, manusia meyakini bahwa dia
memiliki keterbatasan dan kekurangan. Mereka yakin ada kekuatan lain, yaitu
Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Oleh sebab itu, sudah menjadi fitrah manusia
jika manusia mempercayai adanya Sang Maha Pencipta yang mengatur seluruh sistem
kehidupan di muka bumi. Dalam kehidupannya, manusia tidak bisa meninggalkan
unsur Ketuhanan. Manusia selalu ingin mencari sesuatu yang sempurna. Dan sesuatu
yang sempurna tersebut adalah Tuhan. Hal itu merupakan fitrah manusia yang
diciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Tuhannya.
Demikian kiranya hajat manusia terhadap agama,sebagai pembawaan
nalurinya sebagai manusia, meskipun karena desakan – desakan sosial bisa jadi
naluri ini menjadi termarjinalkan dari kebutuhan manusia disamping kebutuhan –
kebutuhannya yang bersifat materi.
2.2 Peranan Agama.
Agama mengambil
peranan penting dalam keberadaan suatu masyarakat atau komunitas. Karena suatu
agama atau kepercayaan akan tetap langgeng jika terus diamalkan oleh masyarakat
secara kontiniu. Masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari
beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan
dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini, melihat kepada kondisi
masyarakat maka agama dapat dibedakan dalam dua tipe, yaitu : agama yang
hidup dalam masyarakat sakral dan agama yang hidup dalam masyarakat
sekuler.Sumbangan atau fungsi agama dalam masyarakat adalah sumbangan untuk
mempertahankan nilai-nilai dalam masyarakat. Sebagai usaha-usaha aktif yang
berjalan terus menerus, maka dengan adanya agama maka stabilitas suatu
masyarakat akan tetap terjaga. Sehingga agama atau kepercayaan mengambil
peranan yang penting dan menempati fungsi-fungsi yang ada dalam suatu
masyarakat
Ada beberapa alasan tentang mengapa agama itu sangat
penting dalam kehidupan manusia, antara lain adalah :
Ø Karena agama merupakan sumber moral
Ø Karena agama merupakan petunjuk kebenaran
Ø Karena agama merupakan sumber informasi tentang
masalah metafisika.
Ø Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi
manusia baik di kala suka, maupun di kala duka.
Manusia sejak
dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta tidak
mengetahui apa-apa.
“Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dia menjadikan untukmu
pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi sedikit di antara mereka yang
mensyukurinya.”[5]
Dalam keadaan yang
demikian itu, manusia senantiasa dipengaruhi oleh berbagai macam godaan dan
rayuan, baik dari dalam, maupun dari luar dirinya. Godaan dan rayuan daridalam
diri manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu
Ø Godaan dan rayuan yang berysaha menarik
manusia ke dalam lingkungan kebaikan, yang menurut istilah Al-Gazali dalam
bukunya ihya ulumuddin disebut dengan malak Al-hidayah yaitu kekuatan-kekuatan
yang berusaha menarik manusia kepada hidayah atau kebaikan.
Ø Godaan dan rayuan yang berusaha
memperdayakan manusia kepada kejahatan,yang menurut istilah Al-Gazali dinamakan
malak al-ghiwayah, yakni kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada
kejahatan
Disinilah letak
peranan agama dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia kejalan yang
baik dan menghindarkan manusia dari kejahatan atau kemungkaran.
2.3 Fungsi Beragama.
Fungsi pertama agama ialah mendefinisikan
siapakah saya dan siapakah Tuhan, serta bagaimanakah saya berhubung dengan
Tuhan itu. Bagi Muslim, dimensi ini dinamakan sebagai hablun minaLlah dan ia
merupakah skop manusia meneliti dan mengkaji kesahihan kepercayaannya dalam
menghuraikan persoalan diri dan Tuhan yang saya sebutkan tadi. Perbincangan
tentang fungsi pertama ini berkisar tentang Ketuhanan, Kenabian, Kesahihan
Risalah dan sebagainya.
Mana mungkin penyama rataan dibuat
sedangkan sesiapa sahaja tahu bahawa asas agama malah sejarahnya begitu
berbeza. Tidak mungkin semua agama itu sama!
Manakala fungsi kedua bagi agama ialah
mendefinisikan siapakah saya dalam konteks interpersonal iaitu bagaimanakah
saya berhubung dengan manusia. Bagi pembaca Muslim, kategori ini saya rujukkan
ia sebagai hablun minannaas.
Ketika Allah SWT menurunkan ayat al-Quran
yang memerintahkan manusia agar saling kenal mengenal (Al-Hujurat 49: 13),
perbezaan yang berlaku di antara manusia bukan sahaja meliputi perbezaan kaum,
malah agama dan kepercayaan. Fenomena berbilang agama adalah seiring dengan
perkembangan manusia yang berbilang bangsa itu semenjak sekian lama.
Maka manusia dituntut agar belajar untuk
menjadikan perbedaan itu sebagai medan kenal mengenal, dan bukannya gelanggang
krisis dan perbalahan. Untuk seorang manusia berkenalan dan seterusnya
bekerjasama di antara satu sama lain, mereka memerlukan beberapa perkara yang
boleh dikongsi bersama untuk menghasilkan persefahaman. Maka di sinilah, dialog
antara agama (Interfaith Dialogue) mengambil tempat. Dialog antara agama
bertujuan untuk menerokai beberapa persamaan yang ada di antara agama. Dan
persamaan itu banyak ditemui di peringkat etika dan nilai
Dari segi pragmatisme, seseorang itu
menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh fungsinya. Bagi kebanyakan orang,
agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains
sosial, fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang dihuraikan di
bawah:
Ø Memberi
pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
Agama dikatankan memberi pandangan dunia
kepada manusia kerana ia sentiasanya memberi penerangan mengenai dunia(sebagai
satu keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan bagi
pekara ini sebenarnya sukar dicapai melalui inderia manusia, melainkan sedikit
penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam menerangkan kepada umatnya
bahawa dunia adalah ciptaan Allah SWTdan setiap manusia harus menaati Allah SWT
Ø Menjawab
pelbagai soalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
Sesetangah soalan yang sentiasa ditanya
oleh manusia merupakan soalan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri.
Contohnya soalan kehidupan selepas mati, matlamat menarik dan untuk
menjawabnya adalah perlu. Maka, agama itulah berfungsi untuk menjawab
soalan-soalan ini.
Ø Memberi rasa
kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.
Agama merupakan satu faktor dalam
pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah kerana sistem agama menimbulkan
keseragaman bukan sahaja kepercayaan yang sama, malah tingkah laku, pandangan
dunia dan nilai yang sama.
Ø Memainkan
fungsi kawanan sosial.
Kebanyakan agama di dunia adalah menyaran
kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kod
etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan
fungsi kawanan sosial
Ø Fungsi
Sosial Agama
Secara sosiologis, pengaruh agama bisa
dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang
menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau
pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi
pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif
bagi masyarakat.
·
Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor
integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan
bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam
kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini
dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung
bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya
konsensus dalam masyarakat.
·
Fungsi Disintegratif Agama.
Meskipun agama memiliki peranan sebagai
kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu
masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai
kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi
suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam
mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan
menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain
2.4 Tujuan Beragama
sempurna baik dengan tuhan-nya maupun
lingkungan masyarakat.semua agama sudah sangat sempurna dikarnakan dapat
menuntun umat-nya bersikap dengan baik dan benar serta dibenarkan. keburukan
cara ber-sikap dan penyampaian si pemeluk agama dikarnakan ketidakpahaman
tujuan daripada agama-nya. memburukan serta membandingkan agama satu dengan
yang lain adalah cerminan kebodohan si pemeluk agama
Beberapa tujuan
agama terhadap kehidupan manusia yaitu :
Ø Menegakan kepercayaan manusia hanya kepada
Allah,Tuhan Yang Maha Esa (tahuit).
Ø Mengatur kehidupan manusia di dunia,agar
kehidupan teratur dengan baik, sehingga dapat mencapai kesejahterahan
hidup, lahir dan batin, dunia dan akhirat.
Ø Menjunjung tinggi dan melaksanakan peribadatan
hanya kepada Allah.
Ø Menyempurnakan akhlak manusia.
Ø Agama juga berperan untuk menciptakan suatu
perdamaian bagi masyarakat dan sebagai alat yang dapat dijadikan sebagai
penumbuh rasa solidaritas.
Ø Untuk menciptakan iklim damai tersebut, perlu
dibentuk pranata-pranata sosial yang menjadi infrastruktur bagi tegaknya suatu
perdamaian dalam masyarakat.
Dalam hal ini peranan
pemimpin keagamaan, seperti ulama, pendeta, kyai dan para jemaah agama, adalah
sangat penting bagi terwujudnya suasana damai dan kondusif dalam kehidupan beragama manusia sehyari
hari.
Menurut para peletak dasar ilmu sosial seperti Max
Weber, Erich Fromm, dan Peter L Berger, agama merupakan aspek yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Bagi umumnya agamawan, agama merupakan aspek
yang paling besar pengaruhnya –bahkan sampai pada aspek yang terdalam (seperti
kalbu, ruang batin)– dalam kehidupan kemanusiaan.Masalahnya, di balik keyakinan
para agamawan ini, mengintai kepentingan para politisi. Mereka yang mabuk
kekuasaan akan melihat dengan jeli dan tidak akan menyia-nyiakan sisi potensial
dari agama ini. Maka, tak ayal agama kemudian dijadikan sebagai komoditas yang
sangat potensial untuk merebut kekuasaan.Yang lebih sial lagi, di antara elite
agama (terutama Islam dan Kristen yang ekspansionis), banyak di antaranya yang
berambisi ingin mendakwahkan atau menebarkan misi (baca, mengekspansi)
seluas-luasnya keyakinan agama yang dipeluknya. Dan, para elite agama ini pun
tentunya sangat jeli dan tidak akan menyia-nyiakan peran signifikan dari negara.
Maka, kloplah, politisasi agama menjadi proyek kerja sama antara politisi yang
mabuk kekuasaan dengan para elite agama yang juga mabuk ekspansi
keyakinan.Namun, perlu dicatat, dalam proyek “kerja sama” ini tentunya para
politisi jauh lebih lihai dibandingkan elite agama. Dengan retorikanya yang
memabukkan, mereka tampil (seolah-olah) menjadi elite yang sangat relijius yang
mengupayakan penyebaran dakwah (misi agama) melalui jalur politik. Padahal
sangat jelas, yang terjadi sebenarnya adalah politisasi agama.Di tangan
penguasa atau politisi yang ambisius, agama yang lahir untuk membimbing ke
jalan yang benar disalahfungsikan menjadi alat legitimasi kekuasaan; agama yang
mestinya bisa mempersatukan umat malah dijadikan alat untuk mengkotak-kotakkan
umat, atau bahkan dijadikan dalil untuk memvonis pihak-pihak yang tidak sejalan
sebagai kafir, sesat, dan tuduhan jahat lainnya,disfungsi atau penyalahgunaan
fungsi agama inilah yang harus diperhatikan. karena Agama bukan benda yang
harus dimiliki, melainkan nilai yang melekat dalam hati.Mengapa kita sering
takut kehilangan agama, karena agama kita miliki, bukan kita internalisasi
dalam hati. Agama tidak berfungsi karena lepas dari ruang batinnya yang hakiki,
yakni hati (kalbu).
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Agama merupakan suatu kebutuhan dasar
setiap manusia, munculnya berbagai perasaan dalam diri manusia yang bersifat
khayali dan imajiner, menjadi modal dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan
suatu agama atau kepercayaaan. Agama muncul dari adanya kepercayaan-kepercayaan
terhadap sesuatu yang dianggap suci dan menempati berbagai aspek dalam
kehidupan manusia yang akhirnya suatu agama atau kepercayaan dapat melekat dan
mengambil peranan penting pada seorang individu atau masyarakat.
Sebuah masyarakat
yang mempunyai konsep-konsep kepercayaan, akan membentuk sebuah sistem
baru, dimana ada norma-norma dan aturan-aturan agama yang melekat dan menjadi
ciri khas dalam masyarakat tersebut. Begitu pentingnya peranan agama dalam
masyarakat sehingga ada yang disebut dengan masyarakat agamis dan ada juga yang
dikatakan sebagai masyarakat sekuler. Masyarakat sekuler memisahkan
urusan-urusan dunia dengan nilai-nilai keagamaan, sedangkan masyarakat agamis
adalah masyarakat yang meletakkan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat
tersebut berdasarkan tuntunan dan aturan agama yang dianut dalam
masyarakat itu.
3.2 SARAN-SARAN
Ø Ada baiknya segala kehidupan manusia dalam
melakukan aktiitas hidupnya, manusia selalu berdasar dan berpatokan pada agama,
agar tidak terjadi kesimpang siuran antara oendapat manusia dan kebenaran
ajaran agama.
Ø Perlu dikembangkan perilaku hidup beragama
dalam kehidupan sehari-hari, agar tercipta suatu keselarasan dan tenggang rasa
antara umat beragama yang satu dengan yang lainnya
Ø Sebaiknya setiap Agama bisa saling
menghormati dan menghargai agar tidak terjadi suatu konflik, demi terciptanya
masyarakat yang religius.
DAFTAR RUJUKAN
Ø Trueblood, David. Filsafat agama (pholosophy of religion). Terjemahan prof.
Dr. M. Rasjidi. 1965. Jakarta:
bulan bintang.
Ø O’dea F. Thomas. Sosiologi agama (the sosiology of religion). Terjemah tim
YASOGAMA. 1985. Yogyakarta: Rajagrafindo.
Ø Nottingham K. Elizabeth. 1954. Agama dan masyarakat, suatu pengantar
sosiologi agama (religion and society). Terjemahan Abdul muis naharong. 1985.
Jakarta: Rajawali.
Ø Armstrong, Karen. 1993. Sejarah Tuhan: kisah pencarian tuhan yang dilakukan
oleh orang-orang yahudi, kristen, dan islam selama 4000 tahun (A History Of God
The 4000-year Quest Of Judaisme, Christianty And Islam). Terjemah Jaimul Am.
2001. Bandung: Mizan Pustaka.
Ø Al-Tantawi, Ali. Devinisi Umum Tentang Akidah Islamiyah. 2000. Jeddah: Dar
Almanar.
Ø http://faedah-fms03.blogspot.co.id/2013/06/peran-fungsi-dan-tujuan-agama-dalam.html (21-oktober-2015, 02:42)
[1] David
troublood, philosophy of religion. Terjemah. Prof. Dr. M. Rasjidi, filsafat
agama. (jakarta: bulan bintang, 1987), h.5
[2] Tomas F.
O’dea, Sosiologi Agama:suatu pengenalan awal (The Sociology Of Religion).
Terjemah Tim YASOGA. (jakarta:Rajawali pers)h.3
[3] (Qs.Ar-Rum:30)
[4]
Elizabeth K. Nottingham, agama dan masyarakat (Religion and Society), tejemah
abdul muis naharong, (jakarta:Rajawali)h.7