Hukum wadh’i adalah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab
untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu. Bila firman
Allah menunjukkan atas kaitan sesuatu dengan hukum taklifi, baik bersifat
sebagai sebab, atau syarat, atau penghalang maka ia disebut hukum wadh’i. Di
dalam ilmu hukum ia disebut pertimbangan hukum.
Adapun contohnya yaitu :
1. Firman Allah yang
menjadikan sesuatu sebagai sebab:
.يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ امَنُوْآاِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلوةِ
فَاغْسِلُوْا وُجُوْ هَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ....(المائدة:6)
Artinya :”Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri untuk
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada suku.”(QS.
Al-Ma’idah:6)
Ayat di atas dapat dipahami bahwa mendirikan shalat menjadi sebab untuk
mewajibkan wudhu atau menjadikan sesuatu adalah sebab terhadap sesuatu.
2. Firman Allah yang
menjadikan sesuatu sebagai syarat:
لَا نِكَاحَ
اِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ(روه احمد)
Artinya :”Tidak syah
nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ahmad)
Dua orang saksi menjadi syarat untuk sahnya pernikahan itulah yang dimaksud
dengan menentukan sesuatu menjadi sahnya sesuatu.
3. Contoh mani’ atau penghalang
seperti tercantum dalam hadist yang berbunyi :
لَيْسَ
لِلْقَاتِلِ مِنَ المِيْرَاثِ شَيْءٌ (رواه النسائ والدا رقطنى)
Artinya:”Tidak
sedikitpun bagian orang yang membunuh dari harta warisan (yang terbunuh)”. (HR.
Nasa’i dan Daraquthi dari Amrin bin Suaib dari ayahnya dan dari anaknya)
Hadist tersebut menunjukkan bahwa membunuh sebagai penghalang untuk
mendapatkan warisan.
Ditinjau dari segi hasil suatu
perbuata hukum dalam hubungannya dengan tiga hal diatas, para ahli memasukkan
kedalam hukum wadh’i tiga hal lagi, yaitu; shah, fasid dan bathal[1].
B.
Macam-Macam Hukum Wadh’i
Para ulama fiqh menyatakan bahwa hukum wadh’i itu ada lima macam, yaitu :
1.
Sebab
a. Pengertian Sebab
Sebab menurut bahasa
adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang dimaksut[2]. Sedangkan
menurut istilah adalah sesuat yang jelas, dapat diukur, yang dijadikan pembuat
hukum sebagai tanda adanya hukum; lazim dengan adanya tanda itu ada hukum dan
dengan tidak adanya, tidak ada hukum[3].
Hukum syara’ kadang-kadang diketahui melalui tanda yang menunjukkan bahwa
perbuatan itu menjadi kewajiban mukallaf. Misalnya: Perbuatan zina menyebabkan seseorang dikenai
hukuman dera 100 kali, tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya sholat
dhuhur, dan terbenamnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat magrib. Apabila perzinaan tidak dilakukan, maka hukuman
dera tidak dikenakan. Apabila matahari belum tergelincir, maka shalat dhuhur
belum wajib. Dan apabila matahari belum terbenam, maka shalat mahgrib belum wajib.
Dengan demikian
terlihat hukum wadh’i dalam hal ini adalah sebab, dengan hukum taklifi,
keberadaan hukum wadh’i itu tidak menyentuh esensi hukum taklifi. Hukum wadh’I hanya sebagai petunjuk atau
indikator untuk pelaksanaan hukum taklifi. Akan tetapi, para ulama’ ushul fiqih
menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari nash, bukan buatan manusia.
b. Pembagian sebab
Secara garis besar sebab ada dua macam, yaitu[4]:
1) Sebab yang tidak termasuk perbuatan mukallaf.
Sebab yang tidak
termasuk perbuatan mukalaf atau sbab yang berada di luar batas kemampuan
mukallaf adalah sebab yang dijadika allah SWT. Sebagai tanda atas adanya hukum.
Seperti dalam contoh tibanya waktu shalat dan
menimbulkan wajibnya shalat. Dalam firman Allah SWT.:
اَقِمِ الصَّلَا ةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ...
Artinya:” dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir….( Q.S.
Al-isra’ : 78 )
2)
Sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf.
Sebab yang berasal dari
perbuatan mukallaf atau sebab yang berada dalam batas kemampuan mukallaf adalah
sebab dalam bentuk perbuatan mukallaf yang ditetapkan oleh pembuat hukum akibat
hukumnya. Seperti pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja
yang menyebabkan adanya qishas. Dalam firman Allah SWT. :
يَآ أَيُّهَاالَّذِيْنَ
ءَامَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الْثِصَاصُ فِى القَتْلَى.....
“Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuhHai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh….”( al-Baqarah:178)
2.
Syarat
a.
Pengertian syarat
Syarat ialah sesuatu
yang berada di luar hukum syara’, tetapi keberadaannya hukum syara’ bergantung
kepadanya. Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada,
tetapi, adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’.
Misalnya: Wudlu adalah salah satu syarat sahnya shalat.
Sholat tidak dapat dilaksanakan, tanpa berwudlu terlebuh dahulu. Akan tetapi
apabila seseorang berwudlu, ia tidak harus melaksanakan shalat.
b.
Pembagian syarat
Para ulama’ memberi
uraian tentang pembagian syarat dengan berbagai tinjauan. Abu zahrah
mendefinisikan syarat yaitu “sesuatu yang tergantung kepadanya adanya
hukum;lazim denan tidak adanya,tidak ada hukum, tetapi tidaklah lazim dengan
adanya, adanya hukum”.[5]
akan tetapi yang terpenting ialah bahwa ditunjau dari segi penetapannya sebagai
hukum syara’, syarat dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1) Syarat Asy-syar’iyyah
Ialah syarat yang
menyempurnakan sebab dan menjadikan efeknya yang timbul padanya yang ditentukan
oleh syara’.
Misalnya: akad nikah dijadikan syarat halalnya pergaulan suami istri namun agar akad
nikah itu sah disyaratkan dihadiri oleh dua orang saksi. Dengan demikian apabila akad atau tindakan hukum
tidak akan menimbulkan efekya kecuali apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi.
2) Syarat Al-Ja’liyyah
Ialah syarat yang
menyempurnakan sebab dan menjadikan efeknya yang timbul padanya yang ditentukan
oleh mukallaf. Contohnya ,
seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya dengan mengatakan: “ jika
engkau mengulangi perkataan dusta itu, maka talakmu jatuh satu”. Dengan demikian talak tidak akan menimbulkan
efeknya kecuali tidak terpenuhi syarat talak.
3.
Mani’
a.
Pengertian Mani’
Menurut bahasa berarati “ penghalang “.
Sedangkan dari segi istilah yang dimaksud dengan mani’ adalah :
مَا رَتَّبَ الشَّارِعُ عَلَى وُجُوْدِهِ عَدَمُ
وُجَوْدِالحُكْمَ أَوْعَدَمُ السَّبَبَ اَيْ بُطْلَانُهُ
“ sesuatu yang
ditetapkan oleh syar’i keberadaannya menjadi ketiadaan hukum atau ketiadaan
sebab, maksudnya batalnya sebab itu.”
Misalnya: hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan
menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan (waris-mewarisi ). Apabila ayah wafat, istri dan anak
mendapatkan bagian warisan dari harta ayah atau suami yang wafat sesuai dengan bagian masing-masing akan tetapi, hak
mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau
ayah tersebut.
( H.R.Bukhari-Muslim ). Jadi, yang menghalangi ahli waris untuk mendapatkan
warisan itu karena membunuh orang yang mewarisi.
b.
Pembagian Mani’
Para ulama’ membagi mani’ dari sisi pengaruhnya bagi sebab dan hukum
menjadi dua macam :
1) Mani’ yang menghalangi
adanya hukum
Yang dimaksud dengan
mani’ yang menghalangi adanya hukum syara’, ialah ketetapan asy-syar’i yang
menegaskan bahwa sesuatu menjadi penghalang berlakunya hukum syara’ yang umum. Misalnya: hukum syara’ yang umum
menyatakan wajib shalat bagi setiap mukallaf, baik laki-laki maupun wanita.
Akan tetapi, syara’ juga menetapkan, haid dan nifas merupakan penghalang bagi
wanita untuk dikenakan kewajiban meng-qadha’ shalat yang tidak dilaksanakan
selama haid atau nifas.
2) Mani’ yang menghalangi
hubungan sebab
Yaitu ketetapan
asy-syar’i yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi penghalang bagi lahirnya
musabbab/ akibat hukum dari suatu sebab syara’ yang berlaku umum. Misalnya: jumlah harta yang
telah mencapai kadar nishab dan telah dimiliki selama satu tahun ( haul )
merupakan sebab bagi kewajiban mengeluarkan zakat. Akan tetapi, ketetapan
syara’ juga menyatakan bahwa keadaan berhutang merupakan penghalang ( mani’ )
bagi seseorang untuk dikenakan kewajiban zakat.
c.
Kaitan antara sebab, syarat, dan mani’
Dari rumusan definisi dan penjelasan diatas,
terlihat bahwa antara sebab, syarat, dan halangan terdapat hubungan yang saling
terkait. Mani’ ada bersamaan dengan sebab dan syarat, dan berakibat tidak
adanya hukum disebabkan keberadaan mani’. Misalnya, matahari telah tergelincir sebagai penyebab
disebabakannya shalat dhuhur dan seorang wanita mukallaf wajib berwudlu sebagai
syarat sah shalat. Tetapi jika wanita yang akan shalat itu sedang haid yang
menjadi penghalang ( mani’ ) maka hukumnya menjadi tidak ada, karena wanita
dalam keadan haid tidak boleh melaksanakan shalat.
4.
Ash-Shihah, Al-Buthlan dan Al-Fasad
a.
Pengertian Ash-Shihah, Al-Buthlan dan Al-Fasad
1) Ash-Shihah secara bahasa Sah atau
Shihah (الصححة )
atau shahih ( الصحيح ) lawan dari ( المريضة )
yang artinya sakit. [6]Secara istilah, para
ahli ushul fiqih merumuskan definisi sah dengan :
تَرَتُّبُ ثَمْرَتِهِ الْمَطْلُوْبَةِ مِنْهُ
شَرْعًا عَلَيْهِ. فَإِذَا حَصَلَ السَّبَبُ وَتَوَفَّرَ الشَّرْطُ وَانْتَفَى
المَانِعُ تَرَتَّبَتِ اْلآثَارُ الشَّرْ عِيْةةُ عَلَى الفِعْلِ
“ Tercapainya sesuatu
yang diharapkan secara syara’, apabila sebabnya ada, syarat terpenuhi, halangan
tidak ada, dan berhasil memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan itu.”
Maksudnya, sesuatu
perbuatan dikatakan sah apabila terpenuhi sebab dan syaratnya, tidak ada
halangan dalam melaksanakannya, serta apa yang diinginkan syara’ dari perbuatan
itu berhasil dicapai. Misalnya: seseorang melaksanakan shalat dengan memenuhi
rukun, syarat, dan sebab, serta orang yang shalat itu terhindar dari mani’ atau
terhalang. Apabila shalat dhuhur akan dilakdanakan, sebab wajibnya shalat itu
telah ada yaitu matahari telah tergelincir, orang yang akan shalat itu telah
berwudlu, dan tidak ada mani’ dalam mengerjakan shalat tersebut maka shalat
yang dikerjakan tersebut sah.
2) Al- Bathl secara etimologi batal
yang dalam bahasa arabnya al-buthlan (البطلان )
yang berarti rusak dan gugur hukumnya. Secara terminologi menurut Mushthafa
Ahmad al-Zarqa’, yang mengatakan batal adalah :
تَجَزُّدُ التَّصَترُّفِ الشَّرْعِيِّ عَنْ
اِعْتَبَارَهِ وَآثَارِهِ فِى نَظَرِ الشٍّرْعِ
“ Tindakan hukum yang bersifat syar’i terlepas dari sasarannya, menurut
pandangan syara’.”
Maksudnya, tindakan
hukum yang bersifat syar’i tidak memenuhui ketentuan yang ditetapkan oleh
syara’, sehingga apa yang dikehendaki syara’ dari perbuatan tersebut lepas sama
sekali (tidak tercapai). Misalnya suatu perbuatan tidak memenuhi rukun atau
tidak memenuhi syarat, atau suatu perbuatan dilaksanakan ketika ada mani’
(penghalang). Perbuatan seperti itu dalam pandangan syara’ tidak sah (bathl). Misalnya,
dalam persoalan ibadah yaitu orang yang melaksanakan ibadah sholat harus
memenuhi rukun dan syaratnya, apabila ada penghalang seperti haid atau nifas
maka sholatnya tidak sah atau batal.
Sedangkan dalam bidang
muamalah, misalnya dalam transaksi jual beli apabila yang melakukannya adalah
orang yang belum atau tidak cakap bertindak hukum (seperti anak kecil atau
orang gila) maka hukum jual beli tersebut tidak sah.
Dengan demikian baik
dalam bidang ibadah maupun dalam bidang muamalah, keabsahan suatu perbuatan
ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya rukun, syarat, dan penyebab perbuatan
itu, dan tidak mani’ untuk melaksanakan perbuatan itu. Tetapi apabila perbuatan itu tidak memenuhi syarat, rukun, dan sebabnya
belum ada, atau ada mani’, maka perbuatan itu menjadi batal.
Disamping istilah sah dan batal, dalam fiqih
islam juga dikenal dengan istilah fasad, yang posisinya
diantara sah dan batal.
3) Al-Fasad Secara etimologi,
fasad (الفساد )
berarti ”perubahan sesuatu dari keadaan yang semestinya (sehat).” Dalam bahasa
indonesia berarti “rusak”. Dalam pengertian terminologi menurut jumhur ulama
bahwa antara batal dan fasad mengandung esensi yang sama, yang berakibat kepada
tidak sahnya perbuatan itu. Apabila sesuatu perbuatan tidak memenuhi syarat, rukun, dan tidak ada
sebabnya, atau ada mani’ terhadap perbuatan tersebut, maka perbuatan itu
disebut fasad atau batal.
Menurut ulama Hanafiyyah juga mengemukakan hukum lain yang berdekatan
dengan batal, yaitu fasad. Menurut mereka fasad adalah “terjadinya suatu
kerusakan dalam unsur-unsur akad.” Artinya, akad itu pada dasarnya adalah sah,
tetapi sifat akad itu tidak sah.[7]
Misalnya, melakukan jual beli
ketika panggilan shalat jum’at berkumandang. Jual beli dan shalat jum’at
sama-sama memiliki dasar hukum. Akan tetapi jual beli itu dilaksanakan pada
waktu yang sifatnya terlarang untuk melakukan jual beli, maka hukumnya menjadi fasad atau rusak.
5.
‘Azimah dan Rukhshah
‘Azimah adalah
hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah kepada seluruh hambanya sejak semula.
Maksudnya belum ada hukum sebelum hukum itu
disyari’atkan oleh Allah.
Misalnya, jumlah shalat
dhuhur adalah empat reka’at. Jumlah reka’at ini ditetapkan Allah sejak semula,
dimana tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah reka’at shalat dhuhur. Hukum
tentang shalat dhuhur tersebut adalah empat reka’at, disebut dengan ‘Azimah.
Adapun yang dimaksud al-Rukhshah sebagian ulama’ ushul fiqih ialah
مَا شُرِعَ مِنَ الأَحْكَامِ لِلْتَخْفِيْفِ عَنِ
العِبَادِ فِي أَحْوَالِ خَاصَة
“Hukum-hukum yang disyari’atkan untuk keringanan
bagi mukallaf dalam keadaan tertentu.”
Adapun contonya yaitu :
a.
Rukhshah untuk melakukan perbuatan yang menurut
ketentuan syari’at yang umum diharamkan, karena darurat atau kebutuhan. Contohnya, boleh memakan daging babi
jika keadaan darurat, diman tidak terdapat makanan selain itu yang jika tidak
dimakan maka jiwa seseorang akan terancam. Berdasarkan firman Allah :
وقد فصّا ل لكم ما حرمعليكمالا مااضطر رتماليه....
Artinya:…”padahal
sesungguhnya Allah yelah menjlaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu,
kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…” (QS. Al-An’am:119)
b. Rukhshah untuk meninggalkan yang menurut aturan
syri’at yang umum diwajibkan, karena kesulitan melaksanakannya. Contohnya, barang siapa dalam keadaan sakit atau
berpergian pada bulan ramadhan, maka ia diperbolehkan untuk buka puasa.
Sebagaimana firman Allah :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا اَوْ عَلى شَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ اَيَّامٍ اُخَرَ
Artinya: “…Maka barang
siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka
puasa), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain…” (QS. Al- Baqarah: 184)
[1]
Amir syarifuddin, ushul fiqh jlid 1(jakarta.logos wacana ilmu,1997)h. 332
[2]
Amir syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta.Logos Wacana Ilmu, 1997)h. 332
[3]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1. (Jakarta, Logos Wacana Ilmu,1997) h. 333
[4]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1. (Jakarta, Logos Wacana Ilmu,1997) h. 334
[5]
Amir Syarifuddin, ushul fiqh jilid 1(jakarta:Logos Wacana Ilmu. 1997)h. 336
[6]
Amir Syarifuddin, ushul fiqh jilid 1(jakarta:Logos Wacana Ilmu. 1997)h. 342
[7]
Amir Syarifuddin, ushul fiqh jilid 1(jakarta:Logos Wacana Ilmu. 1997)h. 346
No comments:
Post a Comment