RESUME
BUKU
AL-AHKAM
AS-SULTHANIYYAH
(Hukum-HukumPenyelenggaraan
Negara dalam Syariat Islam)
Karya:
Imam Al-Mawardi
Penerbit:
DarulFalah
TahunTerbit:
2006
I.
Pengangkatan Imam
Adapun
dewan pemilih, maka kriteria-kriteria yang legal yang harus mereka miliki
yaitu:
1.
Adil dengan segala syarat-syaratnya.
2.
Ilmu yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi
imam sesuai dengan kriteria-kriteria yang legal.
3.
Wawasan dan sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih siapa
yang paling tepat menjadi imam dan paling efektif, serta paling ahli dalam
mengelola semua kepentingan.
Adapun
dewan imam mempunyai kriteria sebagai berikut:
1.
Adil dengan syarat-syaratnya yang universal.
2.
Ilmu yang membuatnya mampu berijtihad terhadap kasus-kasus dan
hukum-hukum.
3.
Sehat indrawi yang dengannya ia mampu menangani langsung
permasalahan yang telah diketahuinya.
4.
Sehat organ tubuh dari cacat yang menghalanginya bertindak dengan
sempurna dan cepat.
5.
Wawasan yang membuatnya mampu memimpin rakyat dan mengelola semua
kepentingan.
6.
Berani dan kesatria yang membuatnya mampu melindungi wilayah Negara
dan melawan musuh.
7.
Nasab, yaitu berasal dari Quraysi berdasarkan nash-nash yang ada
dan ijma’ para ulama.
Jika anggota ahlu al-aqdi wa al-hal mengadakan sidang untuk memilih
imam, mereka harus mempelajari data pribadi orang-orang yang memiliki
kriteria-kriteria imamah, kemudian mereka memilih siapa di antara orang-orang
tersebut yang paling banyak kelebihannya, paling lengkap kriterianya, palinng
segera ditaati rakyat, dan mereka tidak menolak membaitnya.
Jika diantara hadirin ada orang yang
paling ahli berijtihad dan ia layak dipilih, parlemen menawarkan jabatan imam
kepadanya. Jika ia bersedia menjadi imam, mereka segera mengangkatnya. Dengan
membaiat mereka ia secara resmi menjadi imam yang sah, kemudian seluruh umat
harus membaiatnya dan taat kepadanya.
II.
Pengangkatan Menteri
Menteri
itu dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
1.
Menteri tafwidhi (mandat penuh)
2.
Menteri tanfidzi (pelaksana)
Perbedaan yang terjadi antara menteri tafwidhi dengan menteri
tanfidzi disebabkan karena memang otoritas keduanya berbeda. Ada empat
perbedaan diantara keduanya, yaitu:
a.
Menteri tafwidhi dibenarkan membuat keputusan hukum, dan memvonis
kasus hukum, dan hal tersebut tidak berlaku pada menteri tanfidzi.
b.
Menteri tafwidhi dibenarkan mengangkat pegawai, sedang hal tersebut
tidak berlaku pada menteri tanfidzi.
c.
Menteri tafwidhi dibenarkan memimpin pasukan dan perang, sedang hal
tersebut tidak berlaku pada menteri tanfidzi.
d.
Menteri tafwidhi dibenarkan mengelola kekayaan yang ada di baitul
mal dengan menyimpannya atau mengeluarkannya, sedang hal tersebut tidak berlaku
pada menteri tanfidzi.
Selain keempat perbedaan diatas, orang akfir yang berada di dalam
jaminan keamanan Negara islam dengan membayar jizyah tidak dilarang menjabat
sebagai menteri kecuali jika mereka membuat onar.
Selain otoritas keduaya berbeda, keduanya
juga berbada dengan syarat-syarat:
a.
Kemerdekaan merupakan syarat yang harus dimiliki menteri tafwidhi
dan buakn syarat yang harus dimiliki menteri tanfidzi.
b.
Islam termasuk syarat yang harus dipenuhi menteri tafwidhi dan
tidak termasuk syarat yang harus dipenuhi menteri tanfidzi.
c.
Ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syar’I termasuk syarat yang
harus dipenuhi menteri tafwidhi dan tidak termasuk syarat-syarat yang harus
dipenuhi menteri tanfidzi.
d.
Ilmu pengetahuan tentang seluk-beluk perang dan pajak termasuk
syarat yang dimiliki menteri tafwidhi dan bukan termasuk syarat yang harus
dimiliki menteri tahfidzi.
III.
Pengangkatan Gubernur Propinsi
Kriteria-kriteria yang harus dimiliki gubernur profinsi tidak jauh
berbeda dengan kriteria-kriteria yang harus diliki menteri tafwidhi. Perbedaan
antara keduanya, bahwa otoritas gubernur propinsi sebih sempit jika
dibandingkan dengan otoritas yang dimiliki menteri tafwidhi. Namun perbedaan
otoritas keduanya tidak menghalangi adanya kesamaan diantara keduanya dalam
kriteria-kriteria yang harus dimiliki keduanya.
Pengangkatan gubernur propinsi harus dikaji dengan baik. Jika imam
yang mengangkatnya, maka menteri tafwidhi mempunyai hak mengawasinya dan
memantaunya. Menteri tafwidhi tidak
boleh memecatnya atau memutasinya dari satu propinsi ke propinsi yang lain.
Jika menteri tafwidhi mengumumkan pengangkatan gubernur propinsi,
tanpa mejelaskan apakah pengangkatan ini atas perintah imam atau dari dirinya
sendiri selaku menteri tafwidhi, maka pengangkatan gubernur tersebut berasal
dari dirinya sendiri. Jika menteri tafwidhi dipecat jabatannya, maka gubernur
propinsi yang diangkatnya ikut dipecat, terkecuali jika imam memintanya tetap menjabat
sebagai gubernur propinsi, dan itu adalah pembaharuan jabatan dan pengangkatan
baru, namun tidak membutuhkan kata-kata akad seperti pengangkatan yang pertama.
Cukuplah imam berkata, “Aku merestuimu tetap pada jabatanmu.”
Pada pengangkatan pertama, dibutuhkan akad dan harus dikatakan
kepada gubernur propinsi, “Aku mengangkatmu untuk propinsi ini, memimpin
seluruh rakyatnya, dan memikirkan seluruh persoalannya.” Ucapan akad harus
detail yang tidak mengandung tanda tanya dan mengandung banyak penafsiran. Jika
imam mengangkat gubernur propinsi, maka itu tidak berarti pemecatan.
IV.
Pengangkatan Panglima Jihad
Jika
ia berangkat bersama mereka, ia mempunyai tujuh kewajiban terhadap mereka:
1.
Bersikap lemah lembut terhadap mereka dalam perjalanan.
2.
Memeriksa kuda yang digunakan para tentara untuk berjihad dan
tulang punggungnya yang mereka naiki.
3.
Memperhatikan tentara-tentara yang ikut perang bersamanya.
4.
Menugaskan orang ahli atau komandan untuk mengenal masing-masing
tentara agar keduanya bias mengetahui keadaan mereka dan mere mendekat
kepadanya jikaia memanggil mereka.
5.
Membuat kode panggil pada setiap pasukan yang membedakan pasukan
satu dengan pasukan lainnya.
6.
Memeriksa pasukan dan siapa saja yang ada di dalamnya kemudian ia
mengeluarkan dari pasukan siapa saja yang bertujuan menggembosi para mujahidin,
menggoyahkan kaum muslimin, dan menjadi intel bagi musuh “orang-orang musryk.”
7.
Tidak berkomplotan dengan orang yang cocok dengannya atau orang
yang sesuai dengan pendapatnya untuk menghadapi orang yang berbeda nasab
dengannya atau bertentangan pendapat dengannya.
V.
Jihad untuk Kemaslahatan Umum
1.
Jihad melawan orang-orang murtad
Orang murtad ialah orang yang keluar dari Islam. Rasulullah SAW
bersabda:
من بدل دينه فاقتلوه
“barangsiapa
berganti agama, maka bunuhlah ia”. (diriwayatkan oleh al-bukhori, abu daud,
at-tirmidzi, an-nasa’i, ibnu majah, dan ahmad).
2.
Jihad melawan para pemberontak
Jika salah satu
kelompok dari kaum muslimin memberontak, menentang pendapat(kebijakan)jama’ah
kaum muslimin, dan menganut pendapat yang ia ciptakan sendiri; jika dengan
pendapatnya ia masih taat, tidak memiliki daerah otonom, berada dalam jangkauan
negara islam, maka ia dibiarkan, tidak diperangi, kewajiban dan hak mereka sama
dengan kaum muslimin lainnya.
jika ia
menampakkan keyakinan mereka dengan terang-terangan dalam pergaulannya dengan
kaum muslimin, maka imam (khalifah) menjelaskan kepada mereka tentang
kebathilan keyakinan mereka agar mereka kembali kepada keyakinan yang benar dan
bersatu dengan kaum muslimin. Dalam hal ini imam diperbolehkan menjatuhkan
ta’zirkepada mereka agar dengan ta’zir tersebut mereka menjadi baik. Ta’zir
tidak boleh dalambentuk pembunuhandan penerapan hudud (hukum syar’i).
Jika para
pemberontak menolak taat kepada imam, menolak memenuhi hak-haknya, bertindak
sendiridalam memunggut harta dan
menjalankan hukum. Serta tidak mempunyai imam dalam mengerjakan itu
semua. Maka mereka wajib diperangi agar mereka menghentikan penentangannya
kepada imam dan kembali patuh kepadanya.
3.
Jihad melawan para pengacau keamanan
Jika sekelompok
orang-orang yang bejat bersepakat mengangkat senjata, menganggu di jalan,
merampok harta, membunuh orang dan mengganggu para pejalan kaki, mereka itulah
orang-orang muharib (pengacau). Dalam surah al-Maidah ayat 33 pengacau
atau orang yang membuat kerusakan di muka bumi maka wajib dibunuh atau disalib,
atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari
negeri (tempat kediamannya).
Ada dua cara
untuk membongkar kejahatan para pengacau keamanan:
·
Pengakuan mereka dengan sukarela, tanpa adanya pemukulan dan
pemaksaan terhadap mereka
·
Adanya bukti kuat
Jika
kejahatan mereka telah diketahui dengan salah satu dari dua cara di atas,
makakejahatan mereka akan dikaji terlebih dahulu.
Jika
salah seorang dari mereka membunuh orang lain dan tidak mengambil hartanya,
maka ia dihukum mati, tidak disalib, dimandikan, dan dishalati.
Jika
ia hanya mengambil hartanya saja dan tidak embunuh, maka tangan dan kakinya
dipotong silang.
Dan
jika ia hanya melukai saja, maka luka orang tersebut di qishah.
VI.
Jabatan Hakim
1.
Pengangkatan hakim dengan madzab yang berbeda
Orang yang
menganut madzab imam syafi’i diperbolehkan mengangkat hakim dari orang yang
menganut madzab hanafi, karena hakim itu bertugas berijtihad dengan pendapatnya
dalam keputusannya. Sedang menurut sebagian fuqaha’ melarang seseorang yang
menganut madzab tertentu untuk memutuskan dengan madzab lainnya. Karena
menurutnya, jika ia menyandarakan pendapatnya tidak kepada madzabnya, ia menjadi
tertuduh atau plin-plan dalam hukum.
Jika muwalli
(pihak yang mengangkat) menganut madzab abu hanifah atau imam syafi’i
kemudian ia mensyaratkan kepada haki agar ia tidak memutuskan perkara kecuali
dengan salah satu madzab dua tadi, maka persyaratan tersebut terbagi ke dalam
dua persyaratan:
·
Ia mensyaratkan umum dalam semua hukum. Jika ini yang terjadi,
makapersyaratan tidak sah, baik hakim tersebut bermadzab sama dengan madzab muwalli atau berbeda madzab dengannya.
·
Persyaratn khusus pada hukum tertentu. Persyaratan khusus ini
berbentuk perintah atau larangan.
2.
Tehnis pengangkatan hakim
Pengangkatan hakim disahkan dengan apa saja yang mengesahkan
jabatan-jabatan lainnyadengan syarat tambahan yaitu pernyataan langsung jika
hakim berada di tempat pengangkatan tersebut. pernyataan- pernyataan yang
mengesahkan pengangkatan itu ada dua:
·
Syarih (jelas)
Pernyataan yang jelas itu ada empat, yaitu: qalladtuka (aku
mengangkatmu), wallaituka (aku menguasakan kepadamu), aslakhlaftuka (aku
menempatkanmu), dan astanbattuka (aku mewakilkan kepadamu).jika pengangkatan
menggunakan salah satu kata dari empat kata di atas, maka pengangkatan hakim
sah begitu juga dengan pengangkatan jabatan-jabatan lainnya.
·
Kinayah (kiasan)
Adapun pernyataan kiasan, seperti dikatakan sahabat-sahabatku,
yaitu: i’tamadtu ‘alaika (aku bergantung kepadamu), ‘awwaltu ‘alaika (aku
meletakkan kepercayaan kepadamu), radadtu ilaika (aku serahkan kepadamu). Karena kata-kata itu mengandung banyak
penafsiran, maka tidak cukup kuat untuk mengesahkan suatu jabatan di banding
dengan pernyataan yang jelas seperti di atas. Kata-kata kiasan tersebut menjadi
kuat apabila didukung dengan bukti-buktiyang menghilangkan penafsiran.
Disamping
dengan pengangkatan ditas, jabatan hakim sah dengan empat syarat:
a.
Muwalli mengetahui bahwa hakim memiliki sifat tyang membuatnya
layak diangkat sebagai hakim
b.
Muwalli mengetahui hak muwalla yang berhak memberikan jabatan
kepada hakim juga
c.
Muwalli menyebutkan dengan jelas jenis pengangkatan kepada
seseorang, apakah sebagai hakim, gubernur atau sebagai penarik pajak.
d.
Daerah kerja harus disebutkan pada watu pengangkatan.
VII.
Jabatan Wali Pidana
1.
tugas wali pidana
ada sepuluh tugas yang harus ditangani wali pidana, yaitu:
·
menanggani pelanggaran hukum yang dilakukan para pejabat terhadap
rakyatnya dan segala penyimpangan mereka ketika berkuasa.
·
Memeriksa kecurangan para petugas penarikzakat atau pajak dalam menjalankan
tugasnya.
·
Memeriksa hasil kerja para penulis dokumen.
·
Menyelidiki pelanggaran hukum terhadap para pegawai negri.
·
Mengembalikan harta rampasan kepada pemiliknya.
·
Menangani harta wakaf.
·
Mengeksekusi hukuman yang tidak mampu dieksekusi para hakim.
·
Menangani kepentingan-kepentingan umum yang tidak mampu ditangani
para muhtasib (petugas hisbah).
·
Mengawasi pelaksanaan ibadah-ibadah yang terlihat.
·
Menangani pihak-pihak yang berperkara dan memberi keputusan hukum
kepada mereka.
2.
perbedaan antara wali pidana dengan hakim
wali pidana mempunyai sepuluh perbedaan dengan hakim, perbedaan
tersebut adalah sebagai berikut:
a.
wali pidana memiliki otoritas dan kekuasaan yang lebih kuat
b.
ruang lingkup kerja wali pidana lebih luas
c.
selain menggunakan metode intimidasi, wali pidana juga
diperbolehkan menggunakan sinyal-sinyal dan tanda-tanda yang terlihat pada
pihak-pihak yang berperkara
d.
wali pidana berhak menjatuhkan ta’zir kepada orang yang terbukti
bersalah
e.
wali pidana diperbolehkan menunda pengeluaran vonis jika terdapat
ketidakjelasan dalam kasus dan hak orang yang berperkara
f.
wali pidana diperbolehkan menolak menangani kasus tersebut jika
pihak-pihak yang berperkara tidak mencapai kata sepakat dalam perkaranya
g.
wali pidana diperbolehkan berinteraksi dengan pihak-pihak yang
berperkara
h.
wali pidana diperbolehkan mendengar kesaksian yang tidak diketahui
identitasnya
i.
wali pidana diperbolehakn menyuruh para saksi untuk bersumpah jika
ia meragukan mereka
j.
wali pidana diperbolehkan mengundang para saksi dan menanyakan
informasi yang terkait dengan perkara yang ditangani
VIII.
Jabatan Naqib (Kepala) Orang-Orang yang Bernasab Mulia
Jabatan
naqib ini sengaja dibentuk untuk melindungi orang-orang yang bernasab terhormat
dari perwalian orang yang tidak selevel dengan nasab mereka, dan tidak sejajar
dengan kehormatan mereka, agar mereka dicintai dan perintah mereka direalisir.
Jabatan naqib ini sah jika berasal dari slah stu dari tiga pihak, yaitu:
·
dari khalifah
·
dari orang yang diberi mandat oleh khalifah untuk mengurusi
berbagai urusan
·
dari naqib yang berooritas luas mengangkat naqib yang berotoritas
khusus.
1.
naqib khusus
jabatan naqib khusus trbatas sebagai naqib saja. Ia tidak memiliki
otoritas memutuskan perkara dan melakukan eksekusi. Ia tidak di syaratkan
berasal dari kalangan ulama’.
Tugas-tugas naqib khusus adalah sebagai berikut:
·
menjga nasab mereka dari orang yang ingin masuk kedalam nasabnya
padahal ia tidak senasab dengan mereka
·
membedakan kabilah-kabilah mereka dan mengetahui nasab-nasab mereka
·
mengetahui siapa yang baru lahir dikalangan mereka
·
mendidik mereka berakhlak santun sesuai dengan kemuliaan nasab
mereka
·
membersihkan mereka dari mata pencaharian yang haram
·
mencegah mereka dari perbuatan dosa
·
melarang mereka mendzalimi orang lain
·
membantu mereka dalam mencari kebenaran
·
mewakili mereka dalam menuntut hak-hak umum mereka
·
melarang gadis-gadis mereka menikah kecuali dengan orang yang
sekufu’
·
mengkoreksi siapapun diantara mereka yang melakukan keslahan
·
memelihara harta wakaf mereka dengan menjaga harta pokoknya
2.
naqib umum
adapun wali umum, selain mempunyai keduabelas tugas yang telah
disebukan. Ia juga memiliki lima tuga tambahan yaitu:
·
memutuskan perkara yang mereka sengketakan
·
menjadi wali bagi anak-anak yatim terhadap harta mereka
·
melaksanakan eksekusi hudud terhadap tindak kriminal yang
mereka lakukan
·
menikahkan gadis-gadis yang tidak jelas siapa walinya atau sudah
jelas walinya namun menolak menikahkan gadis-gadis tersebut
·
menjatuhkan hajrukepada mereka yang gila atau kurang waras dan
mencabut hajru jika mereka telah normal dan sadar
IX.
Jabatan Imam Shalat
Untuk
jabatan imam sholat 5 waktu, pengangkatan imamnya terkait dengan status masjid.
Masjid itu ada dua : masjid negara dan masjid umum. Masjid negara ialah
masjid-masjid jami’ yang pengelolaannya berada dibawah wewenang negara. Pada
masjid-masjid seperti itu yang berhak menjadi imam sholat didalamnya adalah
orang yang telah diangkat imam (kholifah) sebagai imamnya, agar rakyat tidak
bersusah payah memilih siapa yang berhak menjadi imam di dalamnya. Jabatan imam
bukan jabatan wajib, ini berbeda dengan jabatan hakim dan jabatan naqib karena
dua alasan: yang pertama yakni seandainya kaum muslimin ridho terhadap seorang
imam dan kemudian imam tersebut mengimami mereka, maka sholat jama’ah mereka
sah. Yang kedua yakni sholat lima waktu dengan berjama’ah adalah sunnah-sunnah
pilihan dan utama, dan bukan kewajiban fardhu menurut sebagian fuqoha’ kecuali
daud yang berpendapat bahwa sholat berjama’ah itu wajib kecuali bagi orang yang
mempunyai udzur.
Perbedaan
antara imam dan muadzin, bahwa imam mengerjakan sholat karena hak dirinya.
Jadi, ia tidak boleh bertentangan dengan ijtihadnya. Sedang muadzin, ia adzan
untuk hak orang lain. Jadi, ia diperbolehkan bertentangan dengan ijtihad imam.
Jika muadzin ingin adzan untuk dirinya sendiri sesuai dengan ijtihadnya ia
boleh adzan setelah ia adzan untuk orang lain dengan adzan khusus untuk dirinya
sendiri sesuai dengan pendapatnya, ia adzan dengan pelan-pelan dan tidak
keras-keras.
Sifat-sifat
imam masjid negara
Ada lima sifat
untuk bisa menjadi imam masjid negara :
1)
Laki-laki
2)
Adil
3)
Qori’
4)
Faqih (ahli agama)
5)
Bicaranya jelas, tidak cacat dan tidak gagap lidahnya
Kemudian
tantang pengangkatan imam sholat jum’ah, para fuqoha’ berbeda pendapat. abu
hanifah dan orang-orang irak berpendapat, bahwa imam sholat jum’ah termasuk
jabatan-jabatanwajib dan bahwa sholat jum’ah tidak sah kecuali dengan dihadiri
imam (kholifah) atau wakilnya.
Imam
syafi’i dan para fuqoha’ hijaz berpendapat pengangkatan imam untuk sholat
jum’ah adalah sunnah dan kehadiran imam didalamnya bukan merupakan syarat. Jika
sholat jum’ah ditunaikan pada jama’ah sesuai dengan syarat-syaratnya, maka sah.
Imam
sholat istisqo’ diangkat menjadi imam untuk jangka waktu satu tahun dan ia
diberi kekuasaan luas, ia diperbolehkan menjadi imam sholat istisqo’ setiap
tahun selagi ia tidak diberhentikan dari jabatan imamnya. Jika ia diangkat
menjadi imam sholat gerhana dan sholat istisqo’ selama satu tahun kendati ia
mempunyai kekuasaan luas , ia tidak boleh menjadi imam di sholat-sholat lainnyakarena
sholat hari raya adalah sudah pasti waktunya sedang sholat gerhana dan istisqo’
tidak pasti waktunya.
X.
Amirul Haj
Syarat-syarat
yang harus dimiliki ialah ditaati, cerdas, berani, berwibawa dan kemampuan
mengarahkan.
Jabatan amiruh
haj mencakup dua hal :
1)
Memberi kemudahan kepada orang-orang yang berhajji
Mempunyai
10 tugas :
·
Mengumpulkan orang-orang yang hendak hajji dalam perjalanan mereka
dan persinggahan mereka, agar mereka tidak terpisah-pisah dan tidak tersesat
dijalan.
·
Mengarahkan dengan memberikan pemandu jalan bagi setiap kelompok.
·
Berjalan pelan-pelan dengan mereka hingga orang yang lemah tidak
kelelahan dan orang-orang tertinggal tidak tersesat.
·
Berjalan dengan mereka dijalan yang paling mudah dan paling subur
serta menghindari jalan yang paling kering dari air dan paling sukar dilalui.
·
Mencarikan air untuk mereka jika persediaan air habis dan
mencarikan rumput jika persediaannya menipis.
·
Menjaga mereka jika mereka singgah dan melindungi mereka jika
mereka berjalan agar mereka tidak disergap orang jahat dan pencuri tidak
mengincar mereka.
·
Mengusir orang yang berusaha menghalang-halangi mereka menunaikan
hajji dengan memeranginya jika ia mampu.
·
Mendamaikan dua pihak yang bersengketa, menjadi penengah diantara
dua pihak yang terlibat konflik dan tidak mengeluarkan keputusan secra paksa
kepada mereka terkecuali jika keputusan perkara tersebut diserahkan kepadanya.
·
Memberi sanksi disiplin kepada orang yang sesat diantara mereka dan
orang yang berkhianat diantara mereka.
·
Memperhatikan kelonggaran waktu hingga tidak hilang dan waktu yang
sempit tidak harus membuatnya meminta mereka berjalan dengan cepat.
2)
Menyelenggarakan hajji
Mempunyai
enam tugas :
·
Memberi pengumuman kepada manusia tentang waktu ihram mereka dan
keluar ke masyair, agar mereka mengikuti dan mencontoh semua perbuatannya.
·
Mengajari mereka manasik hajji yang digariskan syari’at.
·
Menentukan tempat-tenpat dimana orang hajji harus ada didalamnya
dan meninggalkannya, sebagaimana sholatnya makmum itu ditentukan oleh sholatnya
imam.
·
Ia diikuti dalam rukun-rukun hajjiyang disyari’atkan syari’at dan
mereka mengamini do’anya.
·
Mengimami mereka dalam sholat-sholat dihari-hari dimana didalamnya
disyari’atkan khutbah hajji dan mengumpulkan semua orang yang hajji didalam
sholat-sholat tersebut, khutbah hajji itu empat kali.
·
Point ke enam ini masih diperdebatkan oleh fuqoha’
XI.
Petugas Sedekah (Zakat)
Petugas
sedekah zakat tidak mempunyai otoritas
terhadap harta yang tidak terlihat dan pemiliknya lebih berhak mengeluarkan
zakat daripada petugas zakat, terkecuali jika pemilik harta yang tidak terlihat
tersebut menyerahkan zakat hartanya kepada petugas zakat dengan sukarela
kemudian ia menerimanya. Dengan membagi-bagikan harta zakat tersebut kepada
yang berhak menerimanya, petugas sedekah (zakat) membantu pemiliknya. Jadi
otoritas petugas sedekah itu hanya pada
harta yang terlihat. Ia berhak memerintahkan pemiliknya menyerahkannya
kepadanya.
Jika petugas
zakat tersebut orang adil, maka ada dua pendapat :
§ Bahwa
pemerintah petugas zakat kepada orang terkena wajib sedekah adalah perintah
wajib. Artinya mereka tidak boleh bertindak sendiri dalam mengeluarkan zakatnya
dan tidak sah jika mereka mengeluarkannya sendiri.
§ Perintah
petugas zakat adalah perintah sunnah untuk menimbulkan rasa patuh orang yang
terkena wajib zakat bertindak sendiri dalam mengeluarkan zakatnya, itu sudah
cukup.
Syarat-syarat
yang harus dimiliki petugas zakat ialah merdeka (bukan budak), muslim, adil,
mengetahui hukum-hukum zakat jika ia pejabat mentri tafwidzi. Jika ia pejabat
mentri tanfidz (pelaksana) yang diangkat imam untuk menarik zakat tertentu,
maka dibenarkan kalau ia tidak mempunyai pengetahuan tentang hukum-hukum zakat.
Orang-orang yang haram menerima zakat yaitu sanak kerabat
rosulalloh SaW, mereka diperbolehkan diangkat sebagai petugas zakat, gaji
mereka tidak diambil dari harta zakat, namun dari jatah kemaslahatan umum.
Imam
(kholifah) diperbolehkan mengatur petugas zakat dengan tiga opsi :
a)
Ia mengangkatnya sebagai petugas dengan tugas mengambil zakat dari
orang-orang yang terkena wajib zakat sekaligus mendistribusikannya kepada
penerimanya, jadi, imam diperbolehkan menggabungkan dua tugas tersebut kepada
petugas zakat seperti yang akan saya terangkan nanti.
b)
Ia mengangkatnya dengan tugas mengambilnya saja dan melarangnya mendistribusikannya
kepada para penerimanya. Jadi, tugas petugas zakat hanya menarik zakat dan ia
dilarang mendistribusikannya. Jika petugas yang diangkat untuk menarik zakat
yang pendistribusiannya menunda pembagian zakat kepada pihak penerimanya, ia
berdosa , kecuali jika ia dingkat menjadi petugas zakat dengan tugas
mempercepat pendistribusiannya kepada orang-orang atertentu.
c)
Pengangkatannya bersifat umum maksunya ia tidak memerintahkan
pendistribusian zakat dan tidak melaranngnya. Pengangkatan umum seperti ini
harus ditafsirkan mencakup mengambil zakat dan mendistribusikannya.
Masing-masing dari dua permasalahan tersebut mempunyai hukum tersendiri, dan
keduanya akan kami rangkum secara singkat.
XII.
Pembagian Fai dan Ghanimah
Ghonimah dan fai adalah harta yang
didapatkan kaum muslimin dari kaum musyrikin atau mereka menjadi penyebab
perolehan harta tersebut.
Hukum
kedua jenis harta tersebut berbeda. Keduanya juga berbeda dengan harta zakat
dalam empat aspek :
a)
Zakat diambil dari kaum muslimin untuk membersihkan mereka, sedang
ghonimah dan fai diambil dari orang-orang kafir untuk menghukum mereka.
b)
Distribusi zakat sudah dipastikan dalam nash al-qur’an sehingga
imam (kholifah) tidak boleh berijtihad didalamnya, sedang distribusi ghonimah
dan fai diserahkan sepenuhnya kepada para ijtihad umala’.
c)
Muzakki (pembayar zakat) diperbolehkan bertindak sendiri dalam
distribusi ghonimah dan fai pada penerimanya, sehingga pihak yang berwenang
yang mengelola pendistribusiannya,
d)
Distribusi berbeda seperti yang saya jelaskan nantu.
Ghonimah dan
fai memiliki du kesamaan dan dua perbedaan. Dua kesamaan diantara keduanya
adalah keduanya di dapatkan dari orang-orang kafir dan alokasi seperlima
keduanya sama.
Sedangkan dua perbedaan diantara
keduanya adalah sebagai berikut :
§ Fai diambil
denga suka rela sedang ghonimah diambil secara paksa.
§ Alokasi empat
perlima fai berbeda dengan alokasi empat perlima harta ghonimah seperti akan
saya terangkan.
Syarat-syarat
yang harus dimiliki petugas fai adalah amanah dan cerdas. Tugas petugas fai
terbagi kedalam tiga bagian :
Ø Petugas fai
yang bertugas menentukan jumlah fai dan menentukan distribusinya kepada
penerimanya.
Ø Petugas fai
yang mempunyai tugas umum yaitu menarik semua fai yang telah ditetapkan.
Ø Tugasnya khusus
pada satu jenis fai.
Imam syafi’i
berpendapat , “ imam (kholifah) atau wakilnya bebas memilih mana diantara empat
opsi yang paling mendatangkan kemaslahatan jika mereka tetap bertahan dalam
kekafirannya ;
ü Membunuh mereka
ü Menjadikan
mereka sebagai budak
ü Mereka ditebus
dengan uang atau pertukaran tawanan
ü Membebaskan
mereka tanpa uang tebusan
XIII.
Penentuan Pajak dan Jizyah
Pajak
dan Jizyah adalah hak yang di berikan Allah Ta’ala kepada kaum
muslimin dari orang-orang musyrik. Persamaan antara keduanya yaitu : (a)
Keduanya didapatkan dari orang musyrik sebagai bentuk penghinaan bagi mereka.
(b) keduanya adalah harta fai dan didistribusikan kepada penerima fai.
(c) keduanya wajib ditunggu satu tahun dan sebelum satu tahun keduanya
tidak berhak dimiliki. Perbedaan antara keduanya yaitu : (a) Jizyah
adalah berdasarkan Nash (dalil), sedang pajak dari ijtihad. (b) jumlah minimal Jizyah
ditentukan syariat, maksimal ditentukan oleh ijtihad. Sedangkan jumlah minimal
dan maksimal pajak ditentukan ijtihad. (c) Jizyah diambil dari orang
kafir jika ia tetap bertahan dalam kekafiranya dan gugur jika ia masuk islam.
Sedangkan pajak, ia tetap harus dibayar; ia berstatus kafir atau muslim.
1.
Jizyah
Jizyah
dikenakan kepada setiap kepala. Kata Jizyah diambil dari kata jaza’ (imbalan)
sebagai balasan atas kekafirannya. Karena Jizyah tersebut dipungut dari
mereka sedang mereka dalam keadaan hina, atau sebagai imbalan atas jaminan
keamanan yang kita berikan kepada mereka, karena Jizyah tersebut
dipungut dari mereka dengan cara yang mudah. Landasan normatif Jizyah
yaitu Q.S At-Taubah: 29.
Syarat penentuan Jizyah yang sifatnya wajib yaitu : (1)
mereka tidak boleh menyebut Kitabullah dengan tujuan melecehkanya dan
mengubahnya. (2) mereka tidak boleh menyebut Rasulullah SAW dengan tujuan
mendustakannya. (3) tidak boleh menyebut agama islam dengan tujuan menghina (4)
tidak menuduh wanita muslimah berzina (5) tidak menyiksa orang muslim (6) tidak
membantu negara kafir dan berkoalisi dengannya.
Syarat penentuan Jizyah yang sifatnya Sunnah yaitu : (1)
mengubah identitas dengan pakaian Ghiyar (2) tidak boleh meninggikan
bangunanya diatas bangunan kaum muslimin. (3) tidak boleh membunyikan suara
ritual mereka (4) tidak boleh meminum minuman keras secara terbuka di depan
kaum muslimin (5) merahasiakan orang meninggal dari mereka. (6) dilarang
mengendarai kuda.
2.
Al-Kharaj (Pajak)
Pajak adalah uang yang dikenakan terhadap tanah dan termasuk
hak-hak yang harus ditunaikan. Keterangan tentang pajak dalam Al-Qur’an berbeda
dengan keterangan tentang Jizyah. Oleh karena itu, penanganan pajak
diserahkan sepenuhnya kepada ijtihad imam. Tanah pajak berbeda dengan tanah
zakat dalam hal kepemilikan dan hukum. semua tanah tersebut di bagi menjadi
empat bagian : (1) Tanah yang sejak awal dihidupkan kaum muslimin. (2) tanah
yang pemiliknya masuk Islam. ia berhak memiliki tanah tersebut. (3) Tanah yang
didapatkan dari orang-orang musyrik dengan jalan damai.
Orang yang mengurus pajak disebut petugas pajak. Agar kekuasaan
petugas pajak sah, ia harus memiliki syarat-syarat berikut; merdeka (tidak
budak), amanah, dan mempunyai kemampuan. Perbedaan tugasnya ditentukan oleh
status dirinya. Jika ia diangkat untuk menetapkan tarip pajak, ia disyaratkan
harus faqih dan memiliki syarat-syarat mujtahid. Jika ia ditarik untuk menarik
pajak, jabatannya sah kendati ia bukan orang yang faqih dan mujtahid.
XIV.
Ketentuan Tentang Daerah-Daerah yang Berbeda Status
Daerah-daerah
Islam itu terbagi kedalam tiga bagian; tanah suci, Hijaz, dan selain keduanya.
1.
Tanah Suci
Tanah suci adalah Makkah dan sekitarnya. Allah Ta’ala menyebutkan
dua nama dalam Kitab-Nya; Makkah dan Bakkah. Ulama berpendapat bahwa dua kata
tersebut untuk nama obyek yang sama sedangkan ulama’ lain berpendapat perbedaan
antara keduanya; Makkah adalah nama seluruh daerah sedangkan Bakkah adalah
Baitullah. Ini pendapat Ibrahim An-Nakh’I dan yahya bin Ayyub. Pembahasan tanah
suci meliputi Pembangunan Ka’bah, Kiswah (Kain Penutup Ka’bah), Masjidil Haram,
Makkah Al-Mukarramah, Batas Tanah Haram (Suci), Hukum-hukum Khusus bagi Tanah
Haram (Suci)
2.
Hijaz
Tentang Hijaz, Al-Ashma’I berkata, “Dinamakan Hijaz, karena ia
memisahkan Najed dengan Tihamah.”
Empat hal yang membedakan Hijaz dengan daerah-daerah lain; (1)
Hijaz tidak boleh didiami oleh orang musyrik; orang kafir dzimmi atau orang
kafir mu’ahid (2) jenazah orang-orang kafir mu’ahid tidak boleh di
makamkan di Hijaz. (3) Sesungguhnya antara kota Rasulullah SAW (Madinah) dengan
Hijaz adalah Tanah Haram (suci) dan diharamkan apa saja yang ada diantara
keduanya. (4) karena Rasulullah SAW sendiri yang menaklukan Hijaz, maka tanah
Hijaz terbagi kedalam tiga bagian; salah satu dari keduanya, tanah tersebut
adalah jatah sedekah untuk Rasulullah SAW yang beliau ambil berdasarkan dua
haknya. Salah satu dari dua hak beliau ialah seperlima dari faidan ghanimah.
Dan hak beliau adalah empat perlima faiyang telah diberikan Allah Ta’ala
kepada Rasul-Nya.
3.
Daerah selain Tanah suci dan Hijaz
Daerah ini dibagi menjadi empat bagian; (1) Daerah yang pemiliknya
masuk Islam. status daerah tersebut adalah tanah zakat. (2) Daerah yang
dihidupkan kaum Muslimin. Daerah yang mereka hidupkan tersebut terkena
kewajiban zakat sepersepuluh. (3) daerah yang dikuasai pasukan Islam dengan
kekerasan. Daerah tersebut terkena kewajiban zakat sepersepuluh. (4) daerah
yang pemiliknya berdamai dengan kaum Muslimin. Daerah tersebut menjadi faiyang
dikenakan pajak. Daerah jenis ini dibagi menjadi dua bagian; mereka berdamai
dengan ketentuan mereka tidak lagi memiliki tanah di daerah tersebut; mereka
berdamai dengan kaum muslimin dengan ketentuan mereka tetap menjadi pemilik tanah
di daerah tersebut.
XV.
Menghidupkan Lahan Mati dan Pengeboran Air
Barangsiapa
menghidupkan lahan mati, ia berhak memilikinya atas izin imam (Khalifah)
atau tanpa izin imam (Khalifah). Lahan mati menurut pendapat Imam
Syafi’I, “Setiap lahan yang tempat dan sekelilingnya tidak di garap, dinamakan
lahan mati, kendati menyatu dengan lahan yang di garap”. Abu hanifah berkata,
“Lahan mati adalah lahan yang jauh dari lahan yang di garap, dan air tidak
sampai padanya.”
1.
Bentuk-bentuk menghidupkan Lahan Mati
Bentuknya
diserahkan kepada tradisi yang berlaku di suatu tempat. Syarat yang harus
dipenuhi; (1) Mengumpulkan tanah yang mengelilingi lahan mati tersebut hingga
tanah tersebut menjadi batas yang memisahkan lahan mati dengan lahan yang lain.
(2) mengalirkan air kepadanya. (3) Membajaknya.
2.
Batas Lahan Mati
Adapun
batas lahan mati yang elah dihidupkan untuk pemukiman dan pertanian, menurut
Abu Hanifah, “Batas lahan pertanian ialah lahan sesudanhnya dimana air tidak
sampai padanya.” Sedangkan Abu Yusuf berkata, “Batas lahan mati ialah suara
penyeru didengar dari setiap sudutnya.”
3.
Pengeboran Air
Air
yang diambil dari tanah itu terbagi ke dalam tiga bagian; air sungai, air
sumur, air mata air,
4.
Sumur
Adapun sumur, maka orang yang menggalinya
memiliki tiga kondisi; ia menggalinya untuk umum, maka air tersebut menjadi
milik bersama dan orang yang menggalinya mempunyai hak yang sama dengan orang
lain di dalamnya; ia menggaliny karena ingin memanfaatkan airnya misalnya
lembah; ia menggalinya untuk dirinya sendiri.
5.
Mata Air
Mata air terbagi menjadi tiga bagian; mata air yang dimunculkan Allah Taála dan tidak digali manusia; mata air
tersebut digali oleh manusia, kemudian mata air tersebut menjadi hak milik
orang yang menggalinya; mata air digali seseorang di area miliknya.
XVI.
Protektorat (Lahan Mati yang Terlindungi) dan Fasilitas Umum
Protektorat dilarang dihidupkan untuk dimiliki
siapapun agar ia tetap menjadi milik umum untuk tumbuhnya rumput dan
penggembalaan hewan ternak. Adapun protektorat para imam (Khalifah) sepeninggal
beliau jika mereka melindungi semua lahan atau sebagian besar lahan, maka tidak
diperbolehkan. Jika mereka melindungi sebagian kecil lahan untuk orang-orang
tertentu atau untuk orang-orang kaya, maka tidak diperbolehkan.
Fasilitas Umum itu
banyak, diantaranya ialah kursi-kursi di pasar, atau trotoar, daerah disekitar
kota, dan rumah-rumah peristirahatan untuk para musafir.
Fasilitas Umum di bagi
menjadi tiga;
1.
Fasilitas Umum yang di siapkan di padang pasir
Misalnya seperti rumah-rumah peristirahatan untuk
para musafir dan air gratis. Fasilitas umum di padang pasir di bagi menjadi
dua; fasilitas tersebut menjadi milik umum dan untuk istirahat para musafir;
mereka singgah disatu tempat dengan maksud menetap di dalamnya.
2.
Fasilitas Umum yang di siapkan di
halaman-halaman rumah
Jika fasilitas umum tersebut memberi madzarat
bagi pemilik rymah, masyarakat umum dilarang menggunakannya, kecuali mereka
meminta ijin atas masuknya madzarat kepada pemilik rumah kemudian mereka di
ijinkan masuk ke dalamnya.
3.
Fasilitas Umum yang di siapkan di Jalan raya
atau gang
Boleh tidaknya pemakaian fasilitas tersebut
sepenuhya berada dalam otoritas sultan (khalifah).
XVII.
Pemberian Tanah
Imam khalifah menyatakan bahwa
pemberian tanah sah jika pemberiannya bisa direalisisir (tanah tersebut belum
ada yang memilikinya), dan tidak sah apabila tanah yang ia berikan itu ternyata
sudah ada yang memilikinya. Pemberian tanah ada dua jenis: yang pertama, pemberian
tanah dengan status hak milik. Kedua, pemberian tanah dengan status hak pakai.
Pemberian Tahan dengan Status Hak Milik
Pemberian tanah
dengan status hak milik terbagi menjadi tiga jenis:
a.
Lahan mati
Lahan mati dibagi
menjadi dua, pertama lahan yang statusnya adalah lahan mati sepanjang zaman.
Lahan tersebut belum pernah digarap dan tidak dimiliki siapa pun. Kedua, tanah
garapannya yang tidak terurus hingga menjadi tanah tidak produktif.
b.
Lahan garapan
Pemberian lahan garapan
terbagi menjadi dua. Pertama, lahan yang sudah jelas pemiliknya. Kedua, lahan
yang tidak jelas siapa pemiliknya. Lahan jenis ini terbagi menjadi tiga jenis.
Yaitu, lahan yang dipilih khalifah untuk baitul mal, lahan pajak, dan lahan
yang ditinggal mati pemiliknya dan tidak dimiliki ahli warisnya.
c.
Lokasi pertambangan
Lokasi pertambangan
merupakan lokasi dimana Allah menyediakan barang-barang perhiasan didalamnya.
Lokasi pertambangan terbgai menjadi dua, yaitu lokasi terlihat dan lokasi tidak
terlihat.
Pemberian
lahan dengan status hak pakai
Pemberian lahan dengan status hak pakai terbagi kedalam dua jenis,
pertama tanah zakat, khalifah tidak boleh memberikannya kepada orang lain
karena lahan tersebut adalah tanah zakat untuk para penerimanya. Adapun lahan
pajak, hukum imam khalifah memberikannya kepada seseorang sangat terkait dengan
kondisi penrima lahan.
XVIII.
Dokumen Negara dan Hal-Hal yang Terkait dengannya
Dokumen negara dibuat untuk menjaga hak-hak negara seperti
tugas-tugas, dan kekayaan negara, serta pihak yang mengerjakannya para tentara
atau pegawai. Orang yang pertama kali membuat dokumen negara dalam islam adalah
Umar bin Khatab ra. pembuatan dokumen dilakukan atas desakan orang-orang arab
untuk membuat nomor urut manusia sesuai nasabnya, dan melebihkannya dalam penjatahan
karena lebih dahulu masuk ilsam san kualitas keagamaanya. Jika orang-orang yang
lebih dahulu masuk islam, maka kelebihan itiu di tentukan dengankebenaranian
dan kemampuan mereka dalam berijtihad. Inilah ketentuan dokumen tentang tentara
yang disusun berdasarkan boografi dakwah dan tata urut syar’i.
Dokumen Negara
Dokumen khusus negara dibagi menjadi empat: dokumen khusustentang
tentara, dokumen khusu tentang propinsi-propinsi, dokumen khusus tentang
pegawai, dokumen khusus tentang baitul mal.
Dokumen Khusus Tentang Tentara
Dokumen khusus tentara ini memuat pengukuhan para tentara dan
penentuan gaji mereka.
Dokumen Khusus Tentang Popinsi-Propinsi
Dokumen khusu tentang propinsi-propinsi dibagi menjadi enam aspek:
penentuan propinsi, status setiap propinsi, hukum-hukum pajak di propinsi,
pendataan orang-orang kafir di dzimmi dan kesepakatan jizyah, jika salah satu
propinsi meliliki pertambangna, jika daerah tersebut berbatasan dengan negeri
kafir.
Dokumen Khusus Tentang Pemasukan Dan Pengeluaran Baitul Mal
Dokumen khusus tentang pemasukan dan pengeluaran baitul mal yaitu
harta yang dimiliki kaun muslim dan tidak diketahi sebenarnya siapa pemiliknya
yang sebenarnya. Harta tersebut menjadi milik baitul mal.
XIX.
Hukum-Hukum Seputar Tindak Kriminal
Tindak kriminal adalah segala
tindakan yang diharamkan syariat. Allah ta’ala mencegah terjadinya tindak
kriminal dengan menjatuhkan hudud, atau ta’zir kepada pelakunya. Jika tindak
kriminal baru berupa tuduhan, pelakunya berhak bebas sesuai dengan tuntunan
politik agama. Sebaliknya, jika tindak kriminal telah terbukti kuat, pelakunya
berhak dikenakan hudud berdasarkan hukum-hukum syar’i.
Penanganan tuduhan
tindak kriminal yang belum terbukti kebenarannya itu tergantung kepada siapa
yang menanganinya. Jika pihak yang menangani kasus tuduhan adalah hakim, misal
seseorang tertuduk kasus perzinaan dan pencirian diajukan kepadanya, maka
tuduhan kasus tersebut tidak mempunyai pengaruh sedikitpun dari hakim.jika yang
mengenai kasus tuduhan adalah gubernur atau aparat keamanan, misalnya tertuduh
diajukan kepadanya, maka terhadap tertuduh ini, gubernur mempunyai hak
mnegadakan penyelidikan dan pembebasan yang tidak dimiliki hakim.
Inilah perbedaan
otoritas gubernur dan hakim dalam menangani tindak kriminal sebelum terbukti dengan
jelas, karena gubernur memiliki hak khusus bertindak, sedang hakim mempunyai
hak khusus memutuskan perkara.
Hudud
(Hukuman Syar’i)
Hudud ialah pencegahan-pencegahan yang disiapkan allah untuk
menghalangi terjadinya kasus pelanggaran terhadap sesuatu yang dilarang allah
dan meninggalkan apa yang dioperintahkan-Nya untuk dikerjakan.
Zawajir
(pencegahan-pencegahan) dibagi menjadi dua bagian:
1.
Hudud (hukuman syar’i)
Hudud
(hukuman syar’i) terbagi menjadi dua:
a.
Yang terkait dengan hak-hak Allah Ta’ala
Yang terkait dengan hak-hak allah ta’ala terbagi menjadi dua:
a.
Meninggalkan hal-hal yang diwajibkan
b.
Mengerjakan hal-hal yang dilarang
b.
Yang terkait dengan hak-hak menusia
2.
Ta’zir (sanksi disiplin)
XX.
Ketentuan-Ketentuan Seputar Hisbah
Hisbah ialah menyuruh kepada kebaikan jika terbukti kebaikan
ditinggalkan (tidak diamalkan), dan melarang dari kemungkaran jika terbukti
kemungkaran dikerjakan. Hisbah berhak dilakukan setiap muslim, namun ada
sembilan perbedaan antara pelaku hisbah secara sukarela dengan muhtasib
(petugas hisbah). Bagi muhtasib hisbah hukumnya fardhu ain sedangkan kewajiban
hisbah bagi orang selain muhtasib ialah fardhu kifayah.
Syarat-syarat yang harus dimiliki muhtasib ialah ia harus orang
merdeka, adil, mampu berpendapat, tajam dalam berfikir, kuat gamanya, dan
mempunyai pengetahuan tentang kemungkaran-kemungkaran yang terlihat.
Adapun dua hal keterbatasan muhtasib
dari hakim adalah sebagi berikut:
1.
Muhtasib mempunyai keterbatasan tidak berhak mendengar
dakwaan-dakwaannya yang tidak termasuk kemungkaran-kemungkaran yang nyata.
Misalnya dakwaan-dakwaan dalam akad, muamalah, semua hak, dan semua tuntutan.
Muhtasib tidak boleh berisiniatif mendengarkan dakwaan-dakwaan tersebut, dan
tidak boleh memberi keputusan didalam nya.
2.
Tugas muhtasib hanya terbatas mengenai hak-hak yang diakui saja.
Sedang pada hak-hak yang didalamnya terdapat konflik dan perseteruuan, ia tidak
berhak mendengar barang bukti dan menyuruh salah satu pihak untuk bersumpah.
Adapun kelebihan muhtasib atas hakim
adalah sebagai berikut:
1.
Muhtasib diperbolehkan memeriksa apa saja yang menyuruh kepada
kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Sedang hakim ia tidak diperbolehkan hal
diatas.
2.
Muhtasib berhak atas perlindungan negaraselama-lamanya didalam
hal-hal yang terkait dengan kemungkaran-kemungkaran dan hal ini tidak dimiliki
oleh hakim.
No comments:
Post a Comment