A. Definisi Sumpah
Sumpah (yamin) adalah penegasan dan peneguhan sesuatu
hal dengan menyebut nama atau salah satu sifat Allah[1].
Sumpah juga dapat diartikan sebagai akad yang menguatkan tekad orang yang
bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Half, ila’, dan qasam
mempunyai arti yang sama yaitu sumpah.
Sumpah adalah memperkukuh hal yang mungkin disalahkan
atau mempertegasnya dengan menyebut asma Allah atau sifatnya[2].
Sumpah tidak sah kecuali dengan menyebut lafadz Allah atau asma dari
asma-asmaNya atau sifat dari sifat-sifatNya. Batasan orang yang sumpah adalah
setiap mukallaf, kehendak sendiri, yang mengucap dengan niat sumpah. Barang
siapa bersumpah akan menyedekahkan hartanya maka ia diperkenankan memilih
antara merealisasikan sumpahnya dengan bersedekah atau tebusan sumpah (kafarat
yamin).
لايؤاخذ كم الله با للغو فى أيمنكم و لكن يؤاحذ كم بما عقد تم الآيمان فكفر
ته إطعام عشرة مسكين من أو سط ما تطعمون أهليكم أو كسو تهم أو تحرير ر قبة فمن لم
يجد فصيام ثلثة أيام ذالك كفرة أيمنكم إذا خلفتم واحفظوا أيمنكم كذ لك يبين الله
لكم أيته لعلكم تشكرون [89]
“Allah tidak menghukum kamu
disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud untuk bersumpah, tetapi Dia
menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka (kaffarat)
melanggar sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu drai
makanan yang biasa kamu berikan kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa
selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu
bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah
menerangkan kepadamu hukum-hukumNya agar kamu bersyukur kepadaNya.” (QS.
Al-Maidah:89)
B. Syarat dan Rukun Sumpah
Syarat orang yang bersumpah adalah[3]:
a. Berakal
b. Baligh
c. Islam
d. Bisa ditunaikan
e. Atas keinginan sendiri (tidak dipaksa)
Rukun sumpah adalah[4]:
a. Half, yaitu orang yang bersumpah.
b. Mahluf ‘Alaih, yaitu perkara yang disumpahkan seperti sedekah.
c. Mahluf Bih, yaitu perkara yang digunakan untuk bersumpah seperti
nama-nama Allah sawt.
C. Macam-Macam dan Hukum Sumpah
1. Sumpah yang boleh dan sumpah yang dilarang
Menurut jumhur ulama, sumpah itu ada yang diperbolehkan da nada yang
dilarang. Menurut sebagian ulama, sumpah yang diperbolehkan oleh syarak adalah
sumpah dengan ucapan, demi Allah. Sumpah yang selain itu maka dilarang. Menurut
sebagian yang lain, sumpah itu boleh dengan nama-nama yang diagungkan syarak.
Para ulama sepakat bahwa sumpah dengan ucapan “demi Allah” itu boleh, termasuk
juga dengan asma-asma Allah yang lain.
Para ulama berbeda pendapat tentang sumpah dengan sifat-sifat Allah dan
perbuatan-perbuatanNya. Perbedaan pendapat tentang sumpah dengan sesuatu yang
diagungkan selain Allah timbul karena ayat tentang sumpah tampaknya
bertentangan dengan hadis. Ayatnya ialah bahwa Allah bersumpah di dalam
Al-quran dengan sesuatu yang bermacam-macam, seperti:
والسماء واطا ر ق [1]
“Demi langit dan bintang di malam
hari.” (QS. At-Thariq:1)
والنجم إذا هوى [1]
“Demi bintang tatkala terbenam.” (QS. An-Najm:1)
إن الله ينها كم أن تحلفوا با بائكم, من كان
حا لفا فليحلف با الله أو ليصمت
“Sesungguhnya Allah melarang kamu sekalian
bersumpah dengan orang tua dan nenek moyang kalian. Barang siapa bersumpah,
bersumpahlah dengan Allah dan diamlah.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
Ulama
yang memadukan ayat dan hadis tersebut berpendapat bahwa dalam ayat tersebut
ada kata yang dibuang, yaitu kata “Tuhan”. Demi langit berarti demi Tuhan yang
menguasai langit. Demi bintang artinya “Tuhan yang menguasai bintang”. Jadi,
sumpah yang diperbolehkan hanyalah sumpah dengan Allah saja[5].
Sedangkan
ulama yang memadukan ayat dan hadis tersebut dengan maksut bahwa hadis tersebut
melarang mengagungkan orang yang tidak diagungkan oleh syarak, dalam arti
menyebutkan lafal khusus yang bermakna secara umum, memperbolehkan bersumpah
dengan sesuatu atau sesuatu yang diagungkan oleh syarak. Maka, penyebab
perbedaan tersebut adalah perbedaan pemahaman terhadap ayat dan hadis di atas.
Ulama
yang melarang bersumpah dengan sifat-sifat Allah dan perbuatan-perbuatanNya
adalah pendapat yang lemah. Penyebab perbedaan diatas juga karena, apakah
larangan tersebut hanya didasarkan pada hadis di atas dan terbatas pada
larangan yang disebutkan dalam hadis itu saja, atau larangan tersebut termasuk
bersumpah dengan sifat-sifat dan perbuatan Allah?. Apabila hadis tersebut hanya
dipahami dengan nama Allah saja, berarti sama dengan mazhab Zhahiri, walaupun
dalam mazhab yang lain al-Lakhami meriwayatkan seperti itu dari Muhammad bin
al-Muwwaz.
2. Sumpah main-main dan sumpah sungguhan
Para ulama sepakat bahwa sumpah itu ada yang main-main da nada yang
sungguhan. Hal ini berdasarkan firman Allah:
لايؤاخذ كم الله با للغو فى أيمنكم و لكن
يؤاحذ كم بما عقد تم الآيمان [89]
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang
tidak dimaksud untuk bersumpah, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpah
yang kamu maksudkan untuk bersumpah.” (QS. Al-Maidah:89)
Sumpah yang tidak dianggap sumpah itu yang bagaimana?. Menurut Syafi’I
sumpah yang tidak disertai niat untyk bersumpah, seperti yang berlaku dalam
pembicaraan sehari-hari “demi Allah”, namun hanya lisannya saja tanpa niat bersumpah
di hatinya. Pendapat ini diriwayatkan oleh Malik dalam kitab Muwaththa’ dari
Aisyah, sedangkan pendapat yang pertama diriwayatkan dari al-Hasan bin Abil
Hasan, Qatadah, Mujahid, dan Ibrahim an-Nakha’i.
Menurut
Ismail al-Qadhi (pengikut Malik), sumpah yang tidak dianggap sumpah adalah
sumpah dengan hal-hal yang tergolong maksiat. Menurut sebagian ulama, sumpah
yang tidak dianggap sumpah adalah manakala seseorang bersumpah tidak akan
memakan sesuatu yang dihalalkan oleh syarak[6].
Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena lafal al-Laghwu bermakna lebih
dari satu (musytarak). Suatu saat al-kalam al-batil bermakna ucapan yang tidak
benar, seperti firman Allah:
وقال الذين كفروا لا تسمعوا لهذا القرأن
والغوا فيه لعلكم تغلبون [26]
“Orang-orang kafir berkata, “Janganlah kalian
mendengarkan al-Quran ini, buatlah hiruk pikuk (kalimat yang salah) terhadapnya
(al-Quran) supaya kamu dapat mengalahkan mereka.” (QS. Fushshilat: 28)
Suatu
saat bermakna kalimat yang tidak diniatkan oleh pengucapnya, dan inilah yang
dikehendaki oleh ayat tentang sumpah. Ulama yang berpendapat bahwa sumpah yang
tidak dianggap sumpah adalah sumpah yang diucapkan dengan dipaksa atau sumpah
yang menurut syarak tidak ada artinya, karena mereka mengartikan sumpah secara
istilah syarak, seperti talak yang tidak sah apabila diucapkan karena dipaksa,
seperti pernyataan hadis:
لا طلا ق قي إغلا ق
“Tidak sah talak karena dipaksa.” (HR. Ibnu Majah
dan Ahmad)
Pendapat yang lebih tepat adalah dua pendapat
pertama yaitu pendapat Malik dan Syafi’i.
3. Sumpah yang berakibat kafarat dan yang tidak berakibat kafarat
a. Sumpah palsu
Sumpah palsu adalah sumpah dengan ucapan “demi Allah”, namun isi
sumpahnya menyangkut sesuatu yang dulunya ada yang kenyataannya sekarang tidak
ada atau menyangkut sesuatu sekarang ada kemudian tidak ada, dengan sengaja
berdusta[7].
Sumpah
yang demikian itu apakah wajib kafarat?. Menurut jumhur ulama tidak wajib
kafarat, karena sumpah yang wajib kafarat adalah sumpah yang menyangkut hal
yang akan dating yang benar-benar ada. Termasuk yang berpendapat seperti ini
adalah Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad bin Hanbal. Menurut Syafi’I dan segolongan
ulama, wajib kafarat, yakni kafarat dapat menghiloangkan dosa sumpah palsu
tersebut sebagaimana kafarat dapat menghilangkan dosa sumpah sungguhan.
Perbedaan
pendapat tersebut timbul karena makna ayat tentang sumpah secara umum seolah
bertentangan dengan hadis. Ayatnya adalah:
و لكن يؤا خذكم بما عقد تم الآيمان فكفا ر ته
إطعا م عشرة مسكين [89]
“… tetapi Allah menghukum kamu karena sumpah yang
benar-benar kau niatkan untuk bersumpah, maka kafaratnya adalah memberi makan
sepuluh orang miskin.” (QS. Al-Maidah: 89)
Ayat
ini menunjukkan bahwa sumpah palsu pun wajib kafarat karena walaupun palsu dia
bersumpah sungguhan. Hadisnya adalah:
من اقتطع حق امرئ مسلم بيمينه حرم الله عليه
الجنة وأوجب له النار
“Barangsiapa mengambil hak (meruhgikan)
orang islam dengan sumpahnya, Allah mengharamkannya masuk surge dan
mewajibkannya masuk neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis
ini menunjukkan bahwa sumpah palsu tidak wajib kafarat, namun Syafi’I
menganggap sumpah palsu tidak termasuk kategori merugikan orang lain seperti
yang tercantum dalam hadis di atas, atau mungkin Syafi’I berpendapat bahwa
sumpah yang merugikan orang lain melanggar dua hal, yaitu menzalimi orang lain
dan berdosa[8].
Maka tidak mungkin kafarat bisa menghapus dua pelanggaran tersebut atau kafarat
tidak dapat menghapus dosa tanpa menghapus kezaliman itu, karena penghapusan
dosa dengan kafarat termasuk bab tobat. Sedangkan tobat tidak dapat
terpotong-potong untuk satu dosa. Maka apabila orang yang bersumpah palsu itu
mau bertobat dan orang yng dizalimi mau memaafkan lalu tobatnya diterima maka
terhapuslah dosa tersebut.
b. Sumpah yang menyangkut hilangnya iman
Apabila seseorang mengatakan, “jika saya berbuat begini dan begitu, saya
kafir kepada Allah, saya musryk kepada Allah, saya menjadi Yahudi, atau saya
menjadi Nasrani” dan ternyata dikemudian hari orang tersebut berbuat seperti
yang dimaksutkan itu, wajib dia membayar kafarat?.
Menurut Malik dan Syafi’I dia tidak wajib membayar kafarat karena yang
demikian itu tidak termasuk sumpah. Menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal
yang demikian itu termasuk sumpah pelanggarnya wajib kafarat. Apabila sumpah
tersebut dilanggar dalam arti dia tidak mau menjadi kafir, musryk, yahudi atau
nasrani.
Perbedaan pendapat tersebut berangkat dari pertanyaan apakah sumpah itu
boleh dengan hal-hal yang dimuliakan atau tidak, ataukah hanya boleh bersumpah
dengan Allah saja. Kemudian kalau sampai terjadi sumpah seperti itu, apakah
dikategorikan sumpah atau tidak?.
Ulama yang berpendapat bahwa sumpah itu hanya dengan Allah saja berarti
sumpah dengan selain Allah itu tidak wajib kafarat, karena tidak termasuk
sumpah. Sedang ulama yang berpendapat sumpah itu boleh juga dengan nama-nama
selain Allah yang dianggap mulia menurut syarak, berarti sumpah seperti itu
wajib kafarat karena sumpah menggunakan nam-nama tertentu sama halnya dengan
sumpah tidak menggunakan nama-nama tersebut.
c. Sumpah yang mirip nadzar
Menurut jumhur ulama orang yang mengatakan, “Apabila saya melakukan
begini, saya harus berjalan kaki ke Baitullah.”, atau “Apabila saya melakukan
begini, budak saya menjadi merdeka, atau istri saya ceraikan.”, ia wajib
melaksanakan yang dimaksud[9].
Apakah
wajib membayar kafarat kalu tidak terlaksana?. Menurut Malik tidak wajib
kafarat namun berdosa apabila tidk melaksanakan. Menurut syafi’I, Ahmad, Abu
Ubaid, dan ulama lain demikian itu termasuk sumpah maka wajib kafarat kecuali
talak dan memerdekakan budak. Pendapat seperti ini diriwayatkan dari Aisyah.
Menurut
Abu Tsur orang yang bersumpah dengan memerdekakan budak, dosa sumpahnya
terhapus dengan kemerdekaan budak itu.
d. Ucapan-ucapan sumpah dan ucapan-ucapan yang bukan sumpah
Ucapan sumpah adalah:
“Saya bersumpah atau saya bersaksi kalau saya begini dan
begini.” Apakah ucapan tersebut termasuk sumpah?. Menurut salah satu pendapat
Syafi’I tidak termasuk sumpah. Menurut Abu Hanifah termasuk sumpah. Menurut
Malik jika bermaksut bersumpah dengan Allah, maka termasuk sumpah. Jika
bermaksud tidak bersumpah atau bersaksi dengan Allah maka tidak termasuk sumpah.
Sebab perbedaan berangkat dari pertanyaan apakah
sumpah itu patokannya redaksi kalimat, pemahaman yang berlaku ataukah niat.
Ulama yang memakai patokan redaksi kalimat berpendapat bahwa ucapan tersebut
bukan sumpah karena tidak menyebutkan dengan apa sumpahnya. Sedangkan ulama
yang memakai patokan pemahaman yang berlaku pada umamnya berpendapat bahwa
ucapan tersebut termasuk sumpah karena dalam ungkapan seperti itu ada kata yang
dibuang yaitu, “saya bersumpah”, maksutnya adalah saya bersumpah dengan Allah.
Dari ulama yang memakai patokan niat berpendapat bahwa
ucapan tersebut bisa bermakna ganda. Karena itu, tergantung pada niatnya
bersumpah dengan Allah ataukah tidak.
D. Pengecualian Sumpah
1. Syarat pengecualian sumpah dan batasnya
a. Syarat pengecualian sumpah
Para ulama sepakat bahwa sumpah dengan menggunakan kata “kecuali” bisa
membatalkan sumpah apabila memenuhi tiga syarat[10]:
1. Kata “kecuali” tersebut diucapkan dengan lisan.
2. Diucapkan bersambung.
3. Dimaksutkan bukan untuk sumpah yang sebenarnya.
Para ulama berbeda pendapat apabila
pengecualian dalam sumpah tersebut tidak dilisankan atau niatnya baru muncul
setelah sumpah terucapkan walaupun bersambung dengan sumpahnya.
Syarat bersambungnya ucapan “kecuali”
dengan sumpah
Apakah ucapan sumpah “kecuali” itu
diisyaratkan bersambung tanpa henti?. Menurut Syafi’I boleh berhenti sejenak
seperti diamnya seseorang untuk mengingat, bernafas, atau untuk memutus suara.
Menurut sebagian tabi’in boleh berhentin selama bekum menyingkir dari majlis
itu. Menurut Abu Abbas kata “kecuali” tersebut boleh diucapkan terputus tanpa
batas. Para ulama sepakat bahwa sumpah yang menggunakan kata “kecuali kalau
Allah menghendaki” bisa menghapus status sumpah.
b. Batasan-batasan sumpah dengan pengecualian
Yang dimaksud dengan sumpah pengecualian dalam masalah ini adalah
pengecualian dalam masalah ini adalah pengecualian yang menggunakan kalimat
“insya Allah”. Apakah sumpah seperti ini sah sebagai sumpah sungguhan atau
tidak[11]?
Menurut Malik, tidak sah kecuali sumpah yang menyangkut kafarat, yaitu
sumpah dengan ucapan “demi Allah”, atau menyangkut nadzar mutlak seperti yang
akan dibahas dalam bab nadzar. Menurut ulama mazhab, jika seseorang berkata,
“dia saya talak insya Allah” atau “dia saya merdekakan insya Allah”, maka yang
demikian itu kata insya Allah tidak ada fungsinya. Jika seseorang berkata, “dia
saya talak jika dia begini-begini”, maka dalam hal ini ada dua pendapat yang
terkenal. Namun yang lebih tepat adalah bahwa syarat yang dikaitkan itu
terpenuhi, maka talak ya sah. Demikian itu jika dikaitkan dengan syarat diluar
talak bukan karena talak itu sendiri.
Menurut Abu Hanifahdan Syafi’I secara mutlak pengetahuan seperti itu
termasuk syarat atau penghalang. Kalau dianggap sebagai penghalang maka
jatuhlak talak tersebut, yakni jika seorang suami berkata kepada istrinya, “dia
saya talak insya Allah”. Jelas kata insya Allah tidak berfungsi sebagai
penghalang karena sebenarnya talak tersebut tidak terjadi. Sedangkan kalau
dianggap sebagai syarat maka talak tersebut belum terjadi sebelum syarat itu
terpenuhi.
2. Dosa, kafarat, dan waktu serta ukuran kafarat
a. Dosa akibat sumpah
Para ulama sepakat bahwa yang menyebabkan dosa dalam bersumpah adalah
tidak ditepatinya isi sumpah. Mungkin karena melakukan hal yang seharusnya
tidak dilaksanakan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.
Karena tak mungkin dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan. Padahal dia tahu
bahwa sebenarnya ia tak mampu melaksanakan sumpah yang dia ucapkan itu. Inilah
yang disebut menelantarkan sumpah secara mutlak.
Dosa
karena bersumpah itu misalnya seseorang bersumpah bahwa dia pasti akan memakan
roti ini, tepi ternyata dia memakan roti yang lain, atau sampai melewati batas
waktu yang telah ditentukan. Misalnya seseorang berkata, “demi Allah pada hari
ini saya akan melakukan begini dan begini.” Tapi ternyata hari tersebut sudag
lewat. Namun orang tersebut belum melaksanakan isi sumpahnya, maka orang yang
bersumpah seperti itu berdosa.
Ada
empat persoalan yang diperselisihkan hukumnya oleh para ulama, yaitu[12]:
1. Sumpah yang tak terlaksana karena lupa atau terpaksa.
2. Sumpah yang terlaksana tidak seutuhnya.
3. Ungkapan kalimat sumpah.
4. Niat sumpah dalam dakwaan.
b. Kafarat sumpah
Para ulama sepakat bahwa orang yang berdosa karena melanggar sumpah
harus memilih tiga macam kafarat: memberi makan sepuluh orang miskin, memberi
mereka pakaian, atau memerdekakan seorang budak. Dia tidak boleh memilih
berpuasa selama tiga hari kecuali apabila tidak mampu memilih tiga pertama di
atas, berdasarkan firman Allah: “Barangsiapa tidak sanggup melakukan
demikian, maka kafartnya adalah berpuasa tiga hari.”
Namun
diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa orang yang melanggar sumpah, kafaratnya
memerdekakan budak atau memberi pakaian sepuluh orang miskin. Kalau tidak mampu
maka kafaratnya memberi makan sepuluh orang miskin.
Tentang
kafarat sumpah, ada tujuh masalah yang diperselisihkan oleh para ulama[13]:
1. Berapa ukuran/takaran makanan untuk setiap orang miskin.
2. Apa jenis pakaian dan berapa jumlahnya.
3. Puasa tiga hari tersebut wajib berturut-turut atau tidak.
4. Orang-orang miskin yang diberi kafarat tersebut harus berjumlah sepuluh
orang atau boleh kurang namun jatahnya sebanayk sepuluh orang.
5. Orang-orang miskin tersebut disyaratkan islam dan merdeka atau tidak.
6. Budak yang dimerdekakan tersebut harus tanpa cacat atau tidak.
7. Haruskah budak tersebut beriman.
c. Kafarat yang bisa menghapus dosa pelanggaran sumpah
Menurut Syafi’I apabila seseorang membayar kafarat setelah atau sebelum
melanggar sumpah maka terhapuslah dosanya. Menurut Abu Hanifah kafarat yang
baik menghapus sumpah adalah yang dibayarkan sesudah pelanggaran, bukan yang
dibayarkan sebelum pelanggaran. Menurut Malik suatu saat sama dengan pendapat
Syafi’I dan suatu saat sama dengan pendapat Abu Hanifah.
Pelanggaran sumpah yang berkali-kali
Menurut kesepakatan ulama, sepanjang yang saya ketahui, orang yang
bersumpah dengan sekali sumpah namun menyangkut beberapa hal, kafaratnya cukup
sekali. Orang yang bersumpah dengan berkali-kali sumpah namun hanya menyangkut
satu hal, kafaratnya berkali-kali sesuai jumlah ia bersumpah, sama seperti
orang yang bersumpah untyk beberapa hal[14].
Bagaimana kalau yang di ulang isi sumpahnya?. Menurut sebagian ulama
cukup sekali kafarat. Menurut Malik tiap pengulangan mengakibatkan kafarat,
kecuali apabila hanya berniat untuk mengukuhkan sumpah. Menurut sebagian lagi,
kafaratnya sekali kecuali apabila bertujuan memperkuat sumpah. Perbedaan
tersebut bersumber pada pertanyaan, apakah yang menyebabkan kafarat itu karena
perbedaan sumpah yang diulang-ulang atau karena pengulangan sumpah itu sendiri.
Kalau karena perbedaan sumpah yang diulang-ulang, kafaratnya hanya
sekali. Tapi kalau karena pengulangan sumpah itu sendiri kafaratnya
berkali-kali sesuai jumlah pengulangan sumpah.
Sekali sumpah dengan tiga sifat Allah atau lebih
Orang yang mengucapkan sumpah sekali dengan menyebut tiga kali sifat
Allah atau lebih, apakah sumpahnyadihitung berkali-kali atau sekali?. Menurut
Malik, sumpahnya sejumlah sifat Allah yang disebut. Jadi, orang yang
mengucapkan “demi yang maha mendengar, yang maha tahu, yang maha bijaksana,”
menurut Malik terhitung tiga sumpah dengan tiga kafarat[15].
Menurut ulama yang lain, sumpah seperti itu hanya dihitung sekali
sempah, maka kafaratnya juga sekali. Sebab perbedaan pendapat seperti itu
adalah apakah standar dalam menentukan jumlah sumpah itu berdasarkan ungkapan
kalimat yang dipergunakan atau isi sumpah. Jika berdasarkan ungkapan kalimat, kafaratnya
sejumlah sifat Allah yang disebut jamlah sumpah tersebut. Namun jika
berdasarkan isi, kafaratnya hanya sekali selama isi simpah hanya menyangkut
satu hal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Masih diperlukan banyak referensi dalam pembuatan
makalah ini. Sumber yang di gunakan sebaiknya banyak dari buku yang berbahasa
arab karena lebih detil pembahasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazali Said, Imam. 2007. Bidayatul
Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid). Jakarta: Pustaka Amani.
Al-Faifi, Sulaiman. 2014. Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq.
Jakarta: Beirut Publishing.
Tim Pembukuan ANFA’ 2015. 2015. Menyingkap Sejuta Permasalahan FATH
AL-QARIB. Jakarta: Anfa’ Press.
Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, al-Allamah. 2012. Fiqih Empat
Madzhab. Bandung: Hasyimi.
Al-Jaza’iri, Abu Bakar. 2014. Minhajul Muslim. Madinah:
Mu’tabatul Ulum wal Hikam.
[1]Tim Pembukuan ANFA’ 2015. Menyingkap
Sejuta Permasalahan FATH AL-QARIB(Jakarta, Anfa’ Press, 2015), hal. 692
[2]SulaimanAl-Faifi. Ringkasan Fikih Sunnah
Sayyid Sabiq(Jakarta, Beirut Publishing, 2014), hal. 748
[3]Sulaiman Al-Faifi. Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq(Jakarta,
Beirut Publishing, 2014), hal. 751
[4]Tim Pembukuan ANFA’ 2015. Menyingkap Sejuta
Permasalahan FATH AL-QARIB(Jakarta, Anfa’ Press, 2015), hal. 693
[5]Imam Ghazali Said..Bidayatul Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid)(Jakarta,
Pustaka Amani, 2007), hal. 242
[6]al-AllamahMuhammad bin Abdurrahman
ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Madzhab(Bandung, Hasyimi, 2012), hal. 366
[7]Tim Pembukuan ANFA’ 2015. Menyingkap Sejuta
Permasalahan FATH AL-QARIB(Jakarta, Anfa’ Press, 2015), hal. 694
[8]al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih
Empat Madzhab(Bandung, Hasyimi, 2012), hal. 369
[9]al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih
Empat Madzhab(Bandung, Hasyimi, 2012), hal. 370
[10]Sulaiman Al-Faifi. Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid
Sabiq(Jakarta, Beirut Publishing, 2014), hal. 756
[11]Imam Ghazali Said..Bidayatul Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid)(Jakarta,
Pustaka Amani, 2007), hal. 235
[12]al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih
Empat Madzhab(Bandung, Hasyimi, 2012), hal 375
[13]Imam Ghazali Said..Bidayatul Mujtahid
(Analisa Fiqih Para Mujtahid)(Jakarta, Pustaka Amani, 2007), hal. 245
[14]al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih
Empat Madzhab(Bandung, Hasyimi, 2012), hal 379
No comments:
Post a Comment