Labels

8 Mar 2017

Makalah Sumpah, Pembahasan Dan Permasalah


A.    Definisi Sumpah
Sumpah (yamin) adalah penegasan dan peneguhan sesuatu hal dengan menyebut nama atau salah satu sifat Allah[1]. Sumpah juga dapat diartikan sebagai akad yang menguatkan tekad orang yang bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Half, ila’, dan qasam mempunyai arti yang sama yaitu sumpah.
Sumpah adalah memperkukuh hal yang mungkin disalahkan atau mempertegasnya dengan menyebut asma Allah atau sifatnya[2]. Sumpah tidak sah kecuali dengan menyebut lafadz Allah atau asma dari asma-asmaNya atau sifat dari sifat-sifatNya. Batasan orang yang sumpah adalah setiap mukallaf, kehendak sendiri, yang mengucap dengan niat sumpah. Barang siapa bersumpah akan menyedekahkan hartanya maka ia diperkenankan memilih antara merealisasikan sumpahnya dengan bersedekah atau tebusan sumpah (kafarat yamin).
لايؤاخذ كم الله با للغو فى أيمنكم و لكن يؤاحذ كم بما عقد تم الآيمان فكفر ته إطعام عشرة مسكين من أو سط ما تطعمون أهليكم أو كسو تهم أو تحرير ر قبة فمن لم يجد فصيام ثلثة أيام ذالك كفرة أيمنكم إذا خلفتم واحفظوا أيمنكم كذ لك يبين الله لكم أيته لعلكم تشكرون [89]
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud untuk bersumpah, tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka (kaffarat) melanggar sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu drai makanan yang biasa kamu berikan kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukumNya agar kamu bersyukur kepadaNya.” (QS. Al-Maidah:89)

B.     Syarat dan Rukun Sumpah
Syarat orang yang bersumpah adalah[3]:
a.       Berakal
b.      Baligh
c.       Islam
d.      Bisa ditunaikan
e.       Atas keinginan sendiri (tidak dipaksa)
Rukun sumpah adalah[4]:
a.       Half, yaitu orang yang bersumpah.
b.      Mahluf ‘Alaih, yaitu perkara yang disumpahkan seperti sedekah.
c.       Mahluf Bih, yaitu perkara yang digunakan untuk bersumpah seperti nama-nama Allah sawt.
C.    Macam-Macam dan Hukum Sumpah
1.      Sumpah yang boleh dan sumpah yang dilarang
Menurut jumhur ulama, sumpah itu ada yang diperbolehkan da nada yang dilarang. Menurut sebagian ulama, sumpah yang diperbolehkan oleh syarak adalah sumpah dengan ucapan, demi Allah. Sumpah yang selain itu maka dilarang. Menurut sebagian yang lain, sumpah itu boleh dengan nama-nama yang diagungkan syarak. Para ulama sepakat bahwa sumpah dengan ucapan “demi Allah” itu boleh, termasuk juga dengan asma-asma Allah yang lain.
Para ulama berbeda pendapat tentang sumpah dengan sifat-sifat Allah dan perbuatan-perbuatanNya. Perbedaan pendapat tentang sumpah dengan sesuatu yang diagungkan selain Allah timbul karena ayat tentang sumpah tampaknya bertentangan dengan hadis. Ayatnya ialah bahwa Allah bersumpah di dalam Al-quran dengan sesuatu yang bermacam-macam, seperti:
والسماء واطا ر ق [1]
“Demi langit dan bintang di malam hari.” (QS. At-Thariq:1)
والنجم إذا هوى [1]
“Demi bintang tatkala terbenam.” (QS. An-Najm:1)
إن الله ينها كم أن تحلفوا با بائكم, من كان حا لفا فليحلف با الله أو ليصمت
“Sesungguhnya Allah melarang kamu sekalian bersumpah dengan orang tua dan nenek moyang kalian. Barang siapa bersumpah, bersumpahlah dengan Allah dan diamlah.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
      Ulama yang memadukan ayat dan hadis tersebut berpendapat bahwa dalam ayat tersebut ada kata yang dibuang, yaitu kata “Tuhan”. Demi langit berarti demi Tuhan yang menguasai langit. Demi bintang artinya “Tuhan yang menguasai bintang”. Jadi, sumpah yang diperbolehkan hanyalah sumpah dengan Allah saja[5].
      Sedangkan ulama yang memadukan ayat dan hadis tersebut dengan maksut bahwa hadis tersebut melarang mengagungkan orang yang tidak diagungkan oleh syarak, dalam arti menyebutkan lafal khusus yang bermakna secara umum, memperbolehkan bersumpah dengan sesuatu atau sesuatu yang diagungkan oleh syarak. Maka, penyebab perbedaan tersebut adalah perbedaan pemahaman terhadap ayat dan hadis di atas.
      Ulama yang melarang bersumpah dengan sifat-sifat Allah dan perbuatan-perbuatanNya adalah pendapat yang lemah. Penyebab perbedaan diatas juga karena, apakah larangan tersebut hanya didasarkan pada hadis di atas dan terbatas pada larangan yang disebutkan dalam hadis itu saja, atau larangan tersebut termasuk bersumpah dengan sifat-sifat dan perbuatan Allah?. Apabila hadis tersebut hanya dipahami dengan nama Allah saja, berarti sama dengan mazhab Zhahiri, walaupun dalam mazhab yang lain al-Lakhami meriwayatkan seperti itu dari Muhammad bin al-Muwwaz.
     
2.      Sumpah main-main dan sumpah sungguhan
Para ulama sepakat bahwa sumpah itu ada yang main-main da nada yang sungguhan. Hal ini berdasarkan firman Allah:
لايؤاخذ كم الله با للغو فى أيمنكم و لكن يؤاحذ كم بما عقد تم الآيمان [89]
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud untuk bersumpah, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpah yang kamu maksudkan untuk bersumpah.” (QS. Al-Maidah:89)
Sumpah yang tidak dianggap sumpah itu yang bagaimana?. Menurut Syafi’I sumpah yang tidak disertai niat untyk bersumpah, seperti yang berlaku dalam pembicaraan sehari-hari “demi Allah”, namun hanya lisannya saja tanpa niat bersumpah di hatinya. Pendapat ini diriwayatkan oleh Malik dalam kitab Muwaththa’ dari Aisyah, sedangkan pendapat yang pertama diriwayatkan dari al-Hasan bin Abil Hasan, Qatadah, Mujahid, dan Ibrahim an-Nakha’i.
      Menurut Ismail al-Qadhi (pengikut Malik), sumpah yang tidak dianggap sumpah adalah sumpah dengan hal-hal yang tergolong maksiat. Menurut sebagian ulama, sumpah yang tidak dianggap sumpah adalah manakala seseorang bersumpah tidak akan memakan sesuatu yang dihalalkan oleh syarak[6]. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena lafal al-Laghwu bermakna lebih dari satu (musytarak). Suatu saat al-kalam al-batil bermakna ucapan yang tidak benar, seperti firman Allah:
وقال الذين كفروا لا تسمعوا لهذا القرأن والغوا فيه لعلكم تغلبون [26]
“Orang-orang kafir berkata, “Janganlah kalian mendengarkan al-Quran ini, buatlah hiruk pikuk (kalimat yang salah) terhadapnya (al-Quran) supaya kamu dapat mengalahkan mereka.” (QS. Fushshilat: 28)
      Suatu saat bermakna kalimat yang tidak diniatkan oleh pengucapnya, dan inilah yang dikehendaki oleh ayat tentang sumpah. Ulama yang berpendapat bahwa sumpah yang tidak dianggap sumpah adalah sumpah yang diucapkan dengan dipaksa atau sumpah yang menurut syarak tidak ada artinya, karena mereka mengartikan sumpah secara istilah syarak, seperti talak yang tidak sah apabila diucapkan karena dipaksa, seperti pernyataan hadis:
لا طلا ق قي إغلا ق
“Tidak sah talak karena dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Pendapat yang lebih tepat adalah dua pendapat pertama yaitu pendapat Malik dan Syafi’i.
3.      Sumpah yang berakibat kafarat dan yang tidak berakibat kafarat
a.       Sumpah palsu
Sumpah palsu adalah sumpah dengan ucapan “demi Allah”, namun isi sumpahnya menyangkut sesuatu yang dulunya ada yang kenyataannya sekarang tidak ada atau menyangkut sesuatu sekarang ada kemudian tidak ada, dengan sengaja berdusta[7].
            Sumpah yang demikian itu apakah wajib kafarat?. Menurut jumhur ulama tidak wajib kafarat, karena sumpah yang wajib kafarat adalah sumpah yang menyangkut hal yang akan dating yang benar-benar ada. Termasuk yang berpendapat seperti ini adalah Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad bin Hanbal. Menurut Syafi’I dan segolongan ulama, wajib kafarat, yakni kafarat dapat menghiloangkan dosa sumpah palsu tersebut sebagaimana kafarat dapat menghilangkan dosa sumpah sungguhan.
            Perbedaan pendapat tersebut timbul karena makna ayat tentang sumpah secara umum seolah bertentangan dengan hadis. Ayatnya adalah:
و لكن يؤا خذكم بما عقد تم الآيمان فكفا ر ته إطعا م عشرة مسكين [89]
“… tetapi Allah menghukum kamu karena sumpah yang benar-benar kau niatkan untuk bersumpah, maka kafaratnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin.” (QS. Al-Maidah: 89)
            Ayat ini menunjukkan bahwa sumpah palsu pun wajib kafarat karena walaupun palsu dia bersumpah sungguhan. Hadisnya adalah:
من اقتطع حق امرئ مسلم بيمينه حرم الله عليه الجنة وأوجب له النار
“Barangsiapa mengambil hak (meruhgikan) orang islam dengan sumpahnya, Allah mengharamkannya masuk surge dan mewajibkannya masuk neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
            Hadis ini menunjukkan bahwa sumpah palsu tidak wajib kafarat, namun Syafi’I menganggap sumpah palsu tidak termasuk kategori merugikan orang lain seperti yang tercantum dalam hadis di atas, atau mungkin Syafi’I berpendapat bahwa sumpah yang merugikan orang lain melanggar dua hal, yaitu menzalimi orang lain dan berdosa[8]. Maka tidak mungkin kafarat bisa menghapus dua pelanggaran tersebut atau kafarat tidak dapat menghapus dosa tanpa menghapus kezaliman itu, karena penghapusan dosa dengan kafarat termasuk bab tobat. Sedangkan tobat tidak dapat terpotong-potong untuk satu dosa. Maka apabila orang yang bersumpah palsu itu mau bertobat dan orang yng dizalimi mau memaafkan lalu tobatnya diterima maka terhapuslah dosa tersebut.

b.      Sumpah yang menyangkut hilangnya iman
Apabila seseorang mengatakan, “jika saya berbuat begini dan begitu, saya kafir kepada Allah, saya musryk kepada Allah, saya menjadi Yahudi, atau saya menjadi Nasrani” dan ternyata dikemudian hari orang tersebut berbuat seperti yang dimaksutkan itu, wajib dia membayar kafarat?.
Menurut Malik dan Syafi’I dia tidak wajib membayar kafarat karena yang demikian itu tidak termasuk sumpah. Menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal yang demikian itu termasuk sumpah pelanggarnya wajib kafarat. Apabila sumpah tersebut dilanggar dalam arti dia tidak mau menjadi kafir, musryk, yahudi atau nasrani.
Perbedaan pendapat tersebut berangkat dari pertanyaan apakah sumpah itu boleh dengan hal-hal yang dimuliakan atau tidak, ataukah hanya boleh bersumpah dengan Allah saja. Kemudian kalau sampai terjadi sumpah seperti itu, apakah dikategorikan sumpah atau tidak?.
Ulama yang berpendapat bahwa sumpah itu hanya dengan Allah saja berarti sumpah dengan selain Allah itu tidak wajib kafarat, karena tidak termasuk sumpah. Sedang ulama yang berpendapat sumpah itu boleh juga dengan nama-nama selain Allah yang dianggap mulia menurut syarak, berarti sumpah seperti itu wajib kafarat karena sumpah menggunakan nam-nama tertentu sama halnya dengan sumpah tidak menggunakan nama-nama tersebut.
c.       Sumpah yang mirip nadzar
Menurut jumhur ulama orang yang mengatakan, “Apabila saya melakukan begini, saya harus berjalan kaki ke Baitullah.”, atau “Apabila saya melakukan begini, budak saya menjadi merdeka, atau istri saya ceraikan.”, ia wajib melaksanakan yang dimaksud[9].
            Apakah wajib membayar kafarat kalu tidak terlaksana?. Menurut Malik tidak wajib kafarat namun berdosa apabila tidk melaksanakan. Menurut syafi’I, Ahmad, Abu Ubaid, dan ulama lain demikian itu termasuk sumpah maka wajib kafarat kecuali talak dan memerdekakan budak. Pendapat seperti ini diriwayatkan dari Aisyah.
            Menurut Abu Tsur orang yang bersumpah dengan memerdekakan budak, dosa sumpahnya terhapus dengan kemerdekaan budak itu.
d.      Ucapan-ucapan sumpah dan ucapan-ucapan yang bukan sumpah
Ucapan sumpah adalah:
“Saya bersumpah atau saya bersaksi kalau saya begini dan begini.” Apakah ucapan tersebut termasuk sumpah?. Menurut salah satu pendapat Syafi’I tidak termasuk sumpah. Menurut Abu Hanifah termasuk sumpah. Menurut Malik jika bermaksut bersumpah dengan Allah, maka termasuk sumpah. Jika bermaksud tidak bersumpah atau bersaksi dengan Allah maka tidak termasuk sumpah.
Sebab perbedaan berangkat dari pertanyaan apakah sumpah itu patokannya redaksi kalimat, pemahaman yang berlaku ataukah niat. Ulama yang memakai patokan redaksi kalimat berpendapat bahwa ucapan tersebut bukan sumpah karena tidak menyebutkan dengan apa sumpahnya. Sedangkan ulama yang memakai patokan pemahaman yang berlaku pada umamnya berpendapat bahwa ucapan tersebut termasuk sumpah karena dalam ungkapan seperti itu ada kata yang dibuang yaitu, “saya bersumpah”, maksutnya adalah saya bersumpah dengan Allah.
Dari ulama yang memakai patokan niat berpendapat bahwa ucapan tersebut bisa bermakna ganda. Karena itu, tergantung pada niatnya bersumpah dengan Allah ataukah tidak.
D.    Pengecualian Sumpah
1.      Syarat pengecualian sumpah dan batasnya
a.       Syarat pengecualian sumpah
Para ulama sepakat bahwa sumpah dengan menggunakan kata “kecuali” bisa membatalkan sumpah apabila memenuhi tiga syarat[10]:
1.      Kata “kecuali” tersebut diucapkan dengan lisan.
2.      Diucapkan bersambung.
3.      Dimaksutkan bukan untuk sumpah yang sebenarnya.
Para ulama berbeda pendapat apabila pengecualian dalam sumpah tersebut tidak dilisankan atau niatnya baru muncul setelah sumpah terucapkan walaupun bersambung dengan sumpahnya.
Syarat bersambungnya ucapan “kecuali” dengan sumpah
Apakah ucapan sumpah “kecuali” itu diisyaratkan bersambung tanpa henti?. Menurut Syafi’I boleh berhenti sejenak seperti diamnya seseorang untuk mengingat, bernafas, atau untuk memutus suara. Menurut sebagian tabi’in boleh berhentin selama bekum menyingkir dari majlis itu. Menurut Abu Abbas kata “kecuali” tersebut boleh diucapkan terputus tanpa batas. Para ulama sepakat bahwa sumpah yang menggunakan kata “kecuali kalau Allah menghendaki” bisa menghapus status sumpah.

b.      Batasan-batasan sumpah dengan pengecualian
Yang dimaksud dengan sumpah pengecualian dalam masalah ini adalah pengecualian dalam masalah ini adalah pengecualian yang menggunakan kalimat “insya Allah”. Apakah sumpah seperti ini sah sebagai sumpah sungguhan atau tidak[11]?
Menurut Malik, tidak sah kecuali sumpah yang menyangkut kafarat, yaitu sumpah dengan ucapan “demi Allah”, atau menyangkut nadzar mutlak seperti yang akan dibahas dalam bab nadzar. Menurut ulama mazhab, jika seseorang berkata, “dia saya talak insya Allah” atau “dia saya merdekakan insya Allah”, maka yang demikian itu kata insya Allah tidak ada fungsinya. Jika seseorang berkata, “dia saya talak jika dia begini-begini”, maka dalam hal ini ada dua pendapat yang terkenal. Namun yang lebih tepat adalah bahwa syarat yang dikaitkan itu terpenuhi, maka talak ya sah. Demikian itu jika dikaitkan dengan syarat diluar talak bukan karena talak itu sendiri.
Menurut Abu Hanifahdan Syafi’I secara mutlak pengetahuan seperti itu termasuk syarat atau penghalang. Kalau dianggap sebagai penghalang maka jatuhlak talak tersebut, yakni jika seorang suami berkata kepada istrinya, “dia saya talak insya Allah”. Jelas kata insya Allah tidak berfungsi sebagai penghalang karena sebenarnya talak tersebut tidak terjadi. Sedangkan kalau dianggap sebagai syarat maka talak tersebut belum terjadi sebelum syarat itu terpenuhi.
2.      Dosa, kafarat, dan waktu serta ukuran kafarat
a.       Dosa akibat sumpah
Para ulama sepakat bahwa yang menyebabkan dosa dalam bersumpah adalah tidak ditepatinya isi sumpah. Mungkin karena melakukan hal yang seharusnya tidak dilaksanakan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Karena tak mungkin dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan. Padahal dia tahu bahwa sebenarnya ia tak mampu melaksanakan sumpah yang dia ucapkan itu. Inilah yang disebut menelantarkan sumpah secara mutlak.
            Dosa karena bersumpah itu misalnya seseorang bersumpah bahwa dia pasti akan memakan roti ini, tepi ternyata dia memakan roti yang lain, atau sampai melewati batas waktu yang telah ditentukan. Misalnya seseorang berkata, “demi Allah pada hari ini saya akan melakukan begini dan begini.” Tapi ternyata hari tersebut sudag lewat. Namun orang tersebut belum melaksanakan isi sumpahnya, maka orang yang bersumpah seperti itu berdosa.
            Ada empat persoalan yang diperselisihkan hukumnya oleh para ulama, yaitu[12]:
1.      Sumpah yang tak terlaksana karena lupa atau terpaksa.
2.      Sumpah yang terlaksana tidak seutuhnya.
3.      Ungkapan kalimat sumpah.
4.      Niat sumpah dalam dakwaan.
b.      Kafarat sumpah
Para ulama sepakat bahwa orang yang berdosa karena melanggar sumpah harus memilih tiga macam kafarat: memberi makan sepuluh orang miskin, memberi mereka pakaian, atau memerdekakan seorang budak. Dia tidak boleh memilih berpuasa selama tiga hari kecuali apabila tidak mampu memilih tiga pertama di atas, berdasarkan firman Allah: “Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kafartnya adalah berpuasa tiga hari.”
            Namun diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa orang yang melanggar sumpah, kafaratnya memerdekakan budak atau memberi pakaian sepuluh orang miskin. Kalau tidak mampu maka kafaratnya memberi makan sepuluh orang miskin.
            Tentang kafarat sumpah, ada tujuh masalah yang diperselisihkan oleh para ulama[13]:
1.      Berapa ukuran/takaran makanan untuk setiap orang miskin.
2.      Apa jenis pakaian dan berapa jumlahnya.
3.      Puasa tiga hari tersebut wajib berturut-turut atau tidak.
4.      Orang-orang miskin yang diberi kafarat tersebut harus berjumlah sepuluh orang atau boleh kurang namun jatahnya sebanayk sepuluh orang.
5.      Orang-orang miskin tersebut disyaratkan islam dan merdeka atau tidak.
6.      Budak yang dimerdekakan tersebut harus tanpa cacat atau tidak.
7.      Haruskah budak tersebut beriman.
c.       Kafarat yang bisa menghapus dosa pelanggaran sumpah
Menurut Syafi’I apabila seseorang membayar kafarat setelah atau sebelum melanggar sumpah maka terhapuslah dosanya. Menurut Abu Hanifah kafarat yang baik menghapus sumpah adalah yang dibayarkan sesudah pelanggaran, bukan yang dibayarkan sebelum pelanggaran. Menurut Malik suatu saat sama dengan pendapat Syafi’I dan suatu saat sama dengan pendapat Abu Hanifah.
Pelanggaran sumpah yang berkali-kali
Menurut kesepakatan ulama, sepanjang yang saya ketahui, orang yang bersumpah dengan sekali sumpah namun menyangkut beberapa hal, kafaratnya cukup sekali. Orang yang bersumpah dengan berkali-kali sumpah namun hanya menyangkut satu hal, kafaratnya berkali-kali sesuai jumlah ia bersumpah, sama seperti orang yang bersumpah untyk beberapa hal[14].
Bagaimana kalau yang di ulang isi sumpahnya?. Menurut sebagian ulama cukup sekali kafarat. Menurut Malik tiap pengulangan mengakibatkan kafarat, kecuali apabila hanya berniat untuk mengukuhkan sumpah. Menurut sebagian lagi, kafaratnya sekali kecuali apabila bertujuan memperkuat sumpah. Perbedaan tersebut bersumber pada pertanyaan, apakah yang menyebabkan kafarat itu karena perbedaan sumpah yang diulang-ulang atau karena pengulangan sumpah itu sendiri.
Kalau karena perbedaan sumpah yang diulang-ulang, kafaratnya hanya sekali. Tapi kalau karena pengulangan sumpah itu sendiri kafaratnya berkali-kali sesuai jumlah pengulangan sumpah.
Sekali sumpah dengan tiga sifat Allah atau lebih
Orang yang mengucapkan sumpah sekali dengan menyebut tiga kali sifat Allah atau lebih, apakah sumpahnyadihitung berkali-kali atau sekali?. Menurut Malik, sumpahnya sejumlah sifat Allah yang disebut. Jadi, orang yang mengucapkan “demi yang maha mendengar, yang maha tahu, yang maha bijaksana,” menurut Malik terhitung tiga sumpah dengan tiga kafarat[15].
Menurut ulama yang lain, sumpah seperti itu hanya dihitung sekali sempah, maka kafaratnya juga sekali. Sebab perbedaan pendapat seperti itu adalah apakah standar dalam menentukan jumlah sumpah itu berdasarkan ungkapan kalimat yang dipergunakan atau isi sumpah. Jika berdasarkan ungkapan kalimat, kafaratnya sejumlah sifat Allah yang disebut jamlah sumpah tersebut. Namun jika berdasarkan isi, kafaratnya hanya sekali selama isi simpah hanya menyangkut satu hal.











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

B.     Saran
Masih diperlukan banyak referensi dalam pembuatan makalah ini. Sumber yang di gunakan sebaiknya banyak dari buku yang berbahasa arab karena lebih detil pembahasannya.


















DAFTAR PUSTAKA

Ghazali Said, Imam. 2007.     Bidayatul Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid). Jakarta: Pustaka Amani.
Al-Faifi, Sulaiman. 2014. Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq. Jakarta: Beirut Publishing.
Tim Pembukuan ANFA’ 2015. 2015. Menyingkap Sejuta Permasalahan FATH AL-QARIB. Jakarta: Anfa’ Press.
Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, al-Allamah. 2012. Fiqih Empat Madzhab. Bandung: Hasyimi.
Al-Jaza’iri, Abu Bakar. 2014. Minhajul Muslim. Madinah: Mu’tabatul Ulum wal Hikam.






[1]Tim Pembukuan ANFA’ 2015. Menyingkap Sejuta Permasalahan FATH AL-QARIB(Jakarta, Anfa’ Press, 2015), hal. 692
[2]SulaimanAl-Faifi. Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq(Jakarta, Beirut Publishing, 2014), hal. 748

[3]Sulaiman Al-Faifi. Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq(Jakarta, Beirut Publishing, 2014), hal. 751
[4]Tim Pembukuan ANFA’ 2015. Menyingkap Sejuta Permasalahan FATH AL-QARIB(Jakarta, Anfa’ Press, 2015), hal. 693
[5]Imam Ghazali Said..Bidayatul Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid)(Jakarta, Pustaka Amani, 2007), hal. 242
[6]al-AllamahMuhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Madzhab(Bandung, Hasyimi, 2012), hal. 366
[7]Tim Pembukuan ANFA’ 2015. Menyingkap Sejuta Permasalahan FATH AL-QARIB(Jakarta, Anfa’ Press, 2015), hal. 694
[8]al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Madzhab(Bandung, Hasyimi, 2012), hal. 369
[9]al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Madzhab(Bandung, Hasyimi, 2012), hal. 370
[10]Sulaiman Al-Faifi. Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq(Jakarta, Beirut Publishing, 2014), hal. 756
[11]Imam Ghazali Said..Bidayatul Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid)(Jakarta, Pustaka Amani, 2007), hal. 235
[12]al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Madzhab(Bandung, Hasyimi, 2012), hal 375
[13]Imam Ghazali Said..Bidayatul Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid)(Jakarta, Pustaka Amani, 2007), hal. 245

[14]al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Madzhab(Bandung, Hasyimi, 2012), hal 379
[15]Abu BakarAl-Jaza’iri. Minhajul Muslim(Madinah, Mu’tabatul Ulum wal Hikam, 2014), hal. 208

No comments: