Labels

8 Mar 2017

Bahaya Riba Dan Hubungannya Dengan Bunga Bank

Zaman telah banyak mengalami perubahan seiring dengan perubahan peradaban serta tingkah laku manusia. Derasnya arus modernisasi, berkembangnya ilmu pengetahuan dan semakin berkembangnya pola pikir manusia jelas mempunyai dampak tersendiri bagi kehidupan manusia, baik itu sisi negatif dan sisi positif. 
Islam membenarkan pengembangan dengan jual beli. Islam sangat memuji orang orang yang berjalan di permukaan bumi untuk berdagang. Akan tetapi islam menutup pintu bagi siapa yang berusaha akan mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba.
Perkembangan ekonomi zaman sekarang sangat cepat dan semakin canggih.  Hal ini membuat samar dan tidak begitu jelas permasalahan riba bagi orang yang awam, Apakah perbuatan itu termasuk riba atau tidak, apakah hasil dari perbuatan itu haram atau halal. maka perlu diketahui lebih dalam mengenai persoalan riba dan apa saja macam-macamnya.

A.    Pengertian Riba
Riba secara etimologis berarti ziyadah (tambahan). Hal ini sebagaimana firman Allah :                                                         أن تَكُونَ أُمَّةٌ هِىَ أَرْبَىٰ مِنْ أُمَّةٍ ۚ          
“Disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.” (An-Nahl: 92)
Maksud arba dalam ayat diatas adalah yang lebih bayak jumlahnya. Dikatakan: arba fulan ‘ala fulan, fulan melebih fulan.Adapun riba secara terminologis adalah tambahan sesuatu yang dikhususkan.Maksudnya adalah tambahan pada modal pokok.[1] Allah berfirman:
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّه
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah…”(Ar-Ruum: 39)
            Menurut Syeikh Yusuf al Qardawi, setiap pinjaman yang mensyaratkan didalamnya terdapat tambahan adalah riba. Sedangkan menurut  Qadi Abu Bkar Ibnu Al-Arabi, riba adalah setiap kebihanan antara nilai barang yang diberikan dengan  nilai barang yang diterima.
             Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin  dalam Syarah Bulughul Maram, bahwa makna riba adalahpenambahan pada dua perkara yang diharamkan dalam syariat adanya tafadhul (penambahan) antara keduanya dengan ganti (bayaran), dan adanya ta`khir (tempo) dalam menerima sesuatu yang disyaratkan qabdh (serah terima di tempat).
Riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam.Secara umum, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam yang bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam. Allah SWT menyebutkan dalam Al-Qur’an:
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوٰلَكُم بَيْنَكُم بِالْبٰطِلِ   
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil...” (An-Nisaa’: 29)
           
B.     Dasar Hukum Riba
Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوا۟ ٱلرِّبَوٰٓا۟ أَضْعَٰفًۭا مُّضَٰعَفَةًۭ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. QS Ali Imran : 130.
ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌۭ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya. QS:2: 275,

يَمْحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَيُرْبِى ٱلصَّدَقَٰتِ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. QS Al-Baqarah : 276.  

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. QS Al-Baqarah : 278.  

فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا۟ فَأْذَنُوا۟ بِحَرْبٍۢ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَٰلِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. QS Al-Baqarah : 279.

وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن رِّبًۭا لِّيَرْبُوَا۟ فِىٓ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرْبُوا۟ عِندَ ٱللَّهِ ۖ وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن زَكَوٰةٍۢ تُرِيدُونَ وَجْهَ ٱللَّهِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُضْعِفُونَ
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). QS. Rum : 39.
Dalam as-Sunnah banyak sekali didapatkan hadits-hadits yang mengharamkan riba. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata:
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : آكِلَ الرِّبَا ، وَمُوكِلَهُ ، وَكَاتِبَهُ ، وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ : هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir r.a Rasulullah SAW telah melaknat (mengutuk) orang yang makan riba, wakilnya, penulisnya dan dua saksinya. HR. Muslim.
Dalam hadits yang sudah disepakati keshahihannya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ! وَذَكَرَ مِنْهُنَّ: آكِلَ الرِّبَا.
“Jauhilah tujuh perkara yang membawa kehancuran,” dan beliau menyebutkan di antaranya, “Memakan riba.”
Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar. Keadaan-nya seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah t sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yang disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”[2]Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram di negara Islam secara mutlak, antara muslim dengan muslim, muslim dengan kafir dzimmi, muslim dengan kafir harbi.
C.    Macam-Macam Riba
1.      Riba Nasi’ah
Nasi’ah artinya mengakhirkan dan menangguhkan yaitu memberi tambahan pada suatu barang dari dua barang yang ditukar (dijualbelikan) sebagai imbalan dari diakhirkannya pembayaran. Riba Nasiah adalah tambahan baik berupa tunai, benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayarselain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu.
Misalnya, seseorang yang menjual barang dagangan kepada orang lain dengan pembayaran kredit, jika sudah sampai jatuh tempo dan pembeli belum melunasi pembayaran, maka ia terkena penambahan harga sebagai komponsasi penguluran waktu. Demikian ini telah dipraktekkan pada zaman Jahiliah, yakni seseorang yang telah habis masa pembayaran hutangnya dan belum dapat membayarnya, maka ia wajib membayar beberapa kali lipat dengan diberikan beberapa waktu lagi. Demikian telah disinggung dalam al Quran:
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوا۟ الرِّبَوٰٓا۟ أَضْعٰفًا مُّضٰعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا۟ اللَّـهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (al-Imran:130)

2.      Riba Fadhl
Riba Fadhladalah menjual sesuatu dengan alat tukar sejenis dengan adanya penambahan salah satunya tanpa tenggang waktu. Kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar antara tukar menukar benda-benda sejenis dengan tidak sama ukurannya, seperti satu gram emas dengan seperempat gram emas,maupun perak dengan perak. Hal ini sesuai dengan hadist nabi saw. sebagai berikut:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
“Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Contohnya Anda menjual atau meminjamkan biji-bijian atau uang kepada seseorang dengan syarat orang tersebut harus mengembalikannya dengan barang yang sejenis seperti emas dengan emas atau biji dengan biji-bijian dengan disertai tambahan dari barang yang semisal. Dan barang tersebut adalah barang-barang ribawi yang apabila diberi tambahan dari barang semisal akan menjadi riba. Dalam hadits dijelaskan:
اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَداً بِيَدٍ فَإِذَ اخْتَلَفَتْ هذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ.
“(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, ukurannya harus sama, dan harus dari tangan ke tangan (dilakukan dengan kontan). Jika jenis-jenisnya tidak sama, maka juallah sesuka kalian asalkan secara kontan.”
3.      Riba Qardl
Riba Qardhi adalah riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang seperti rentenir yang meminjamkan uangnya dengan pengembalian bebrapa persen. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu rupiah). 
Terhadap bentuk transaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah Saw.:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَرِبًا

“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi).

4.      Riba Yad
Riba Yad  yaitu  jika salah satu diantara dua pihak yang melakukan transaksi (muta’aqqidain) meninggalkan transaksi sebelum serah terima. Riba Yad dikenal pada kalangan Syafi’iyah.Hanafih memasukkan riba Yad pada Riba Nasi’ah.

Menurut Wahbah Zuhaili Riba Nasi’ah adalah jual beli atau tukar menukar dengan cara mengakhirkan penerimaan kedua barang yang ditukarkan atau salah satunya tanpa menyebutkan masanya. Yakni terjadinya juam beli atau tukar menukar  dua barang yang berbeda jenis, seperti gandum dengan jagung tanpa dilakukan penyerahan di majelis akad. Dari definisi ersebut, dapat dipahami bahwa dalam riba Yad jual beli atau penukaran tanpa adanya kelebihan, tetapi salah satu pihak meninggalkan majelis akad sebelum terjadi penyerahan barang atau harga.
Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak.

D.    Hal-hal yang menimbulkan riba

Hal-hal yang menimbulkan riba diantaranya adalah :

1.      Tidak sama nilainya (tamsul)
2.      Tidak sama ukurannya menurut syara’, baik timbangan, takaran maupun ukuran
3.      Tidak tunai (taabut) di majelis akad

Berikut ini merupakan contoh riba penukaran :

a.       Seseorang menukar uang kertas Rp 10.000 dengan uang receh Rp.9.950 uang Rp.50 tidak ada imbangannya atau tidak tamasul, maka uang receh Rp.50 adalah riba.
b.      Seseoarang meminjamkan uang sebanyak Rp. 100.000 dengan syarat dikembalikan ditambah 10 persen dari pokok pinjaman, maka 10 persen dari pokok pinjman dalah riba sebab tidak ada imbangannya.
c.       Seseorang menukarkan seliter beras ketan dengan dua liter beras  dolog, maka pertukaran tersebut adalah riba, seabab beras harus ditukar dengan beras yang sejenis dan tidak boleh dilebihkan salah satunya. Jalan  keluarnya  ialah beras ketan dijual terlebih dahulu dan uangnya digunakan untuk membeli beras dolog.
d.      Seseorang yang akan membangun rumah membeli batu bata, uangnya diserahkan tanggal 5 Desember 2006, sedangkan batu batanya diambil nanti ketika pembangunan rumah dimulai, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan riba sebab terlambat salah satu nya dan berpisah sebelum serah terima barang.
e.       Seseorang yang menukarkan 5 gr emas 22 karat dengan 5 gremas 12 karat termasuk riba walaupun sama ukurannya namun berbeda nilai (harga).[3]

E.     Pengaruh Riba dalam Transaksi
Mayoritas Fuqaha’ erpendapat bahwa transaksi yang bercampur dengan riba adalah batal, tidak sah, dan tidak boleh diteruskan. Barang  siapa memraktikkan riba, maka transaksinya ditolak meskipun ia tidak tahu karna ia telah berbuat sesuatu yang diharamkan Allah SWT. Larangan dalam riba menunjukkan hukum  haram dan rusak. Rosulullah SAW telah bersabda:
مَن عَمِلَ عَمَلاً لَيسَ عَليهِ اَمرُنَا فهُو رَدٌّ
“Barang siapa  yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak berdasar pada agamakami, maka perbuatannya itu ditolah”.(HR.Muslim)
Hanafiah berpendapat bahwa mensyaratkan adanya riba dalam jual beli  dapat merusak transaksi tersebut. Akan tetapi, mereka membedakan antara fasid dengan batil dalam urusan muamalah. Oleh karena itu barang dagangan dalam jual beli yang fasid  dapat dimiliiki setelah diterima. Adaapun barang dagangan dalam jual beli yang batil tidak dapat dimiliki meskipun telah diterima.
Jual beli yang mengandung  riba termasuk jual beli yang fasid, maka seseorang dapat  memilikinya setelah menerimanya dan ia wajib mengembalikan kelebihan harga atau nilainya jika barangnya telah rusak[4].
F.     Hikmah Keharaman Riba
Menurut Yusuf Qardhawi, para ulama telah menyebutkan panjang lebar hikmah diharamkan  riba secara rasional, antara lain:
1.      Riba berarti mengambil harta orang lain tanpa hak
2.      Riba dapat melemahkan kreativitas manusia dalam bekerja, sehingga manusia akan lalai akan perdagangannya atau perusahaannya,
3.      Riba menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam utang piutang.
4.      Biasanya orang yang memberi utang adalah orang kaya dan yang berutang adalah orang miskin. Mengambil kelebihan dalam utang orang miskin sangat bertentangan dengan Rahman Allah.[5]
Menurut Sayyid Sabiq sebagai berikut:
1.      Menimbulkan permusuhan dan menghilangkan semangat tolong menolong.
2.      Riba mendorong terbentuknya kelas elite, yang tanpa bekerja mereka mendapatharta.
3.      Mnimbulkan penimbunan harta tanpa usaha
4.      Riba sebagai salah satu cara menjajah dalam bidang ekonomi.
5.      Islam mendorong umatnya untuk memberikan pinjaman kepada orang yang embutuhkan dengan prinsip “qardhul hasan atau pinjaman tanpa Bungan.[6]

G.    Bunga Bank dan Riba
Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di perhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut  berdasarkan tempo waktu yang diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan persentase.
Ada beberapa pengertian lain dari bunga, diantaranya yaitu:
a.                   Sebagai batas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya.
b.                  Sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dengan yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman).
c.                     Bunga adalah tambahan yang diberikan oleh bank atas simpanan atau yang di ambil oleh bank atas hutang.
1.      Kedudukan Bunga Bank
Mengenai kedudukan bunga bank ini berdasarkan dapat dilihat dari illat diharamkannya riba, antara lain;[7]
a.                   Adanya kedzaliman, yaitu adanya keuntungan yang tidak sebanding. Sebenarnya kelebihan ini bukan seab diharamkannya riba, melaikan pada unsur kedzalimannya.
b.                  Adanya esksploitasi dalam kebutuhan pokok adanya gharar, ketidakpastian, dan spekulasi yang tinggi. Oleh karena itu riba tidak diharamkan jika tidak mengandung kedua unsur tersebut. لاَتَظْلمُونَ وَلاَتُظْلمُوْنَ
2.      Pandangan Ulama tentang Bunga Bank
Di antara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan  oleh  bunga  sebagai  biaya  uang.  Hal  tersebut  disebabkan karena  salah  satu  elemen  dari  penentuan  harga  adalah  suku  bunga. Semakin   tinggi  suku  bunga,   semakin   tinggi  juga  harga  yang  akan ditetapkan  pada  suatu  barang.  Dampak  lainnya  adalah  bahwa  utang, dengan  rendahnya  tingkat  penerimaan  peminjam  dan  tingginya  biaya bunga,  akan  menjadikan  peminjam  tidak  pernah  keluar  dari ketergantungan,  terlebih lagi bila bunga atas utang tersebut dibungakan. Contoh  paling  nyata  adalah  utang  negara-negara  berkembang  kepada negara-negara  maju.  Meskipun  disebut  pinjaman  lunak,  artinya  dengan suku   bunga   rendah,   pada   akhirnya   negara-negara   pengutang   harus berutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Akibatnya, terjadilah utang yang terus-menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya kemiskinan   struktural  yang  menimpa   lebih  dari  separoh   masyarakat dunia.[8]
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil  riba menggunakan  uangnya untuk memerintahkan  orang lain agar berusaha dan mengembalikan, misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjamkannya.  Persoalannya,  siapa yang bisa menjamin   bahwa   usaha   yang   dijalankan   oleh   orang   itu   nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima persen? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapa pun tidak bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Siapa pun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan: berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, orang sudah memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak  dapat  menghindari  diri  dari  bermuamalah  dengan  bank konvensional, yang memakai sistem bunga dalam segala aspek kehidupannya,  termasuk  kehidupan  agamanya.  Misalnya;  ibadah haji di Indonesia, umat Islam harus memakai jasa bank. Tanpa jasa bank, perekonomian  Indonesia tidak selancar dan semaju seperti sekarang ini. Para  ulama  dan  cendekiawan  muslim  masih  tetap  berbeda  pendapat tentang  hukum  bermuamalah   dengan  bank  konvensional  dan  hukum bunga   bank.   Perbedaan   pendapat   mereka   seperti   yang   disimpulkan Masjfuk Zuhdi adalah sebagai berikut;
a.                   Pendapat Syekh Abu Zahrah, Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Cairo, Abul A'la Al-Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah  Al-Arabi,  penasihat  hukum  pada  Islamic  Congress  Cairo, dan lain-lain,  menyatakan  bahwa bunga bank termasuk  riba nasi'ah yang  dilarang  oleh  Islam.  Oleh  karena  itu, umat  Islam  tidak  boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali kalau dalam keadaan darurat atau terpaksa. Mereka mengharapkan lahirnya bank Islam yang tidak memakai sistem bunga sama sekali.33
b.                  Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis), bahwa bunga bank, seperti di negara Indonesia  ini bukan riba yang diharamkan   karena  tidak  bersifat   ganda  sebagaimana   dinyatakan dalam surat Ah Imran ayat 130.
c.                   Tarjih    Muhammadiyah    di   Sidoarjo    Jawa   Timur    tahun    1968 memutuskan   bahwa  bunga  bank  yang  diberikan   oleh  bank-bank negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya, termasuk syubhat atau mutasyabihat,  artinya belum jelas halal dan haramnya. Sesuai   dengan   petunjuk   hadis,   umat   Islam   harus   berhati-hati menghadapi masalah yang masih syubhat. Oleh karena itu, jika dalam keadaan  terpaksa  atau dalam keadaan  hajat,  artinya  keperluan  yang mendesak/penting,  barulah diperbolehkan bermuamalah dengan bank dengan sistem bunga itu sekedarnya saja.
d.                  Menurut Mustafa Ahmad Az-Zarqa, Guru Besar Hukum Islam dan Hukum  Perdata  Universitas  Syiria  bahwa  sistem  perbankan  yang  kita terima  sekarang  ini  merupakan  realitas  yang  tak  dapat  dhindari.  Oleh karena itu, umat Islam boleh bermuamalah dengan bank konvensional atas pertimbangan  dalam  keadaan  darurat  dan  bersifat  sementara.  Hal  ini karena,   umat   Islam   harus   berusaha   mencari   jalan   keluar   dengan mendirikan  bank tanpa sistem bunga untuk  menyelamatkan  umat Islam dari cengkeraman bank bunga (conventional bank).
e.                   Menurut Wahbah al-Zuhaily dalam Al-Fiqh alIslamy wa Adillatuhu, bunga bank adalah haram. Riba atau bunga bank adalah riba nasi’ah, baik bunga tersebut rendah maupun berganda. (Hal itu) karena kegiatan utama bank adalah memberikan utang (pinjaman) dan menerima utang (pinjaman). Bahaya (madharat) riba terwujud sempurna (terdapat secara penuh) dalam bunga bank. Bunga bank hukumnya haram, sebagaimana riba. Dosa (karena bertransaksi) bunga sama dengan dosa riba; alasan lain bahwa bunga bank berstatus riba adalah firman Allah SWT “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu” (QS. Al-Baqarah [2]: 279)
3.      Fatwa MUI tentang Bunga (Interest / Fa’idah)
Pertama :Pengertian Bunga (Interest) dan Riba
1.    Bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.
2.    Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan (بلاعوض) yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran (زيادةالأجل) yang diperjanjikan sebelumnya, (اشترط مقدما).  Dan inilah yang disebut riba nasi’ah.
Kedua : Hukum Bunga (Interest)
1.      Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
2.      Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga :  Bermu’amalah    dengan    Lembaga    KeuanganKonvensional
1.      Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan Lembaga Keuangan Syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga.
2.      Untuk wilayah yang belum ada kantor /jaringan  Lembaga Keuangan Syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/ hajat.

A.      Kesimpulan
            Riba adalah  pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam yang bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam. Riba telah diharamkana dalam Islam sebagaimana disebutkan dalam beberapadalil Al-Quran dan Hadits.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. QS Al-Baqarah : 278.  
Riba terdiri dari empat macam, yaitu:
1.      Riba Nasi’ah
2.      Riba Fadhl
3.      Riba Qardhi
4.      Riba Yad
Hal-hal yang menimbulkan riba diantaranya adalah :
1.      Tidak sama nilainya (tamsul)
2.      Tidak sama ukurannya menurut syara’, baik timbangan, takaran maupun ukuran
3.      Tidak tunai (taabut) di majelis akad
Hokum Riba jelas adalah haram.Mayoritas Fuqaha’ berpendapat bahwa transaksi yang bercampur dengan ribaadalah batal, tidak sah, dan tidak boleh diteruskan. Berikut adalah hikmah diharamkannya riba:
a.         Riba berarti mengambil harta orang lain tanpa hak
b.        Riba dapat melemahkan kreativitas manusia dalam bekerja, sehingga manusia akan lalai akan perdagangannya atau perusahaannya,
c.         Riba menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam utang piutang.
d.        Biasanya orang yang memberi utang adalah orang kaya dan yang berutang adalah orang miskin. Mengambil kelebihan dalam utang orang miskin sangat bertentangan dengan Rahman Allah.
3.                  Jika membahas tentang riba maka tak jauh membahas pula tentang bunga bank yang saat ini sedang banyak menjadi perdebatan tentang hukumnya.Beberapa ulama ada yang membolehkan dan tidak mengaktegorikan riba. Sebaliknya ulama Indonesia melalui Fatwa MUI mengeluarkan fatwa berbeda tentang hokum bunga bank, yaitu Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.

[1] Ath-Thayar Abdullah dkk, Esnsiklopedi Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta: Muktabah al Hanif, 2014), h.105
[2] Al-Mawardi dan An-Nawawi,Al-Majmu’,( Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi), h.294
[3]Sahrani Sohari dan Abdullah Ru’fah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesngan dalam ria, 2011), h.60
[5] QardhawiYusuf, al- Halal qal Haram, (Beirut: Maktabah al Islamy, 1994), h. 242-243
[6]Sabiq Sayyid, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), h. 868
[7]Rachmat Syafe’i, Fiqih Muammalah,(Jakarta; Pustaka Setia Bandung)2000, hal 276
[8]Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 67

No comments: