Zaman telah banyak mengalami perubahan seiring
dengan perubahan peradaban serta tingkah laku manusia. Derasnya arus
modernisasi, berkembangnya ilmu pengetahuan dan semakin berkembangnya pola
pikir manusia jelas mempunyai dampak tersendiri bagi kehidupan manusia, baik
itu sisi negatif dan sisi positif.
Islam membenarkan pengembangan dengan jual
beli. Islam sangat memuji orang orang yang berjalan di permukaan bumi untuk
berdagang. Akan tetapi islam menutup pintu bagi siapa yang berusaha akan
mengembangkan uangnya itu dengan jalan riba.
Perkembangan ekonomi zaman sekarang sangat
cepat dan semakin canggih. Hal ini membuat
samar dan tidak begitu jelas permasalahan riba bagi orang yang awam, Apakah
perbuatan itu termasuk riba atau tidak, apakah hasil dari perbuatan itu haram
atau halal. maka perlu diketahui lebih dalam mengenai persoalan riba dan apa
saja macam-macamnya.
A.
Pengertian Riba
Riba secara etimologis berarti ziyadah (tambahan). Hal ini
sebagaimana firman Allah : أن تَكُونَ أُمَّةٌ
هِىَ أَرْبَىٰ مِنْ أُمَّةٍ ۚ
“Disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari
golongan yang lain.” (An-Nahl:
92)
Maksud arba dalam ayat diatas adalah yang lebih bayak jumlahnya.
Dikatakan: arba fulan ‘ala fulan, fulan melebih fulan.Adapun riba
secara terminologis adalah tambahan sesuatu yang dikhususkan.Maksudnya adalah
tambahan pada modal pokok.[1]
Allah berfirman:
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا
يَرْبُو عِنْدَ اللَّه
“Dan sesuatu
riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka
riba itu tidak menambah pada sisi Allah…”(Ar-Ruum: 39)
Menurut Syeikh Yusuf
al Qardawi, setiap pinjaman yang mensyaratkan didalamnya terdapat tambahan
adalah riba. Sedangkan menurut Qadi Abu
Bkar Ibnu Al-Arabi, riba adalah setiap kebihanan antara nilai barang yang
diberikan dengan nilai barang yang
diterima.
Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin dalam Syarah Bulughul
Maram, bahwa makna riba adalahpenambahan pada dua perkara
yang diharamkan dalam syariat adanya tafadhul (penambahan) antara keduanya
dengan ganti (bayaran), dan adanya ta`khir (tempo) dalam menerima sesuatu yang
disyaratkan qabdh (serah terima di tempat).
Riba berarti
menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan
persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam.Secara
umum, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara
batil, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam yang bertentangan
dengan prinsip muamalah dalam Islam. Allah SWT menyebutkan dalam Al-Qur’an:
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوٰلَكُم بَيْنَكُم بِالْبٰطِلِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil...” (An-Nisaa’: 29)
B.
Dasar Hukum Riba
Riba
dengan segala bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar
Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوا۟ ٱلرِّبَوٰٓا۟
أَضْعَٰفًۭا مُّضَٰعَفَةًۭ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan. QS Ali Imran : 130.
ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟
لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ
ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟
ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ فَمَن جَآءَهُۥ
مَوْعِظَةٌۭ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى
ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا
خَٰلِدُونَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal
di dalamnya. QS:2: 275,
يَمْحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَيُرْبِى ٱلصَّدَقَٰتِ ۗ وَٱللَّهُ
لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat
dosa. QS Al-Baqarah : 276.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا
بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. QS Al-Baqarah : 278.
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا۟ فَأْذَنُوا۟ بِحَرْبٍۢ مِّنَ ٱللَّهِ
وَرَسُولِهِۦ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَٰلِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ
وَلَا تُظْلَمُونَ
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. QS Al-Baqarah : 279.
وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن رِّبًۭا لِّيَرْبُوَا۟ فِىٓ أَمْوَٰلِ
ٱلنَّاسِ فَلَا يَرْبُوا۟ عِندَ ٱللَّهِ ۖ وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن زَكَوٰةٍۢ
تُرِيدُونَ وَجْهَ ٱللَّهِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُضْعِفُونَ
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya). QS. Rum : 39.
Dalam as-Sunnah banyak sekali didapatkan hadits-hadits yang
mengharamkan riba. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Jabir
Radhiyallahu anhu, ia berkata:
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : آكِلَ الرِّبَا ، وَمُوكِلَهُ ، وَكَاتِبَهُ
، وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ : هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir r.a Rasulullah SAW telah melaknat (mengutuk)
orang yang makan riba, wakilnya, penulisnya dan dua saksinya. HR. Muslim.
Dalam hadits yang sudah disepakati
keshahihannya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ! وَذَكَرَ مِنْهُنَّ: آكِلَ
الرِّبَا.
“Jauhilah tujuh perkara yang membawa kehancuran,” dan beliau
menyebutkan di antaranya, “Memakan riba.”
Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa
besar. Keadaan-nya seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah t sebagai
berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yang
disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”[2]Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram di negara
Islam secara mutlak, antara muslim dengan muslim, muslim dengan kafir dzimmi,
muslim dengan kafir harbi.
C.
Macam-Macam Riba
1.
Riba Nasi’ah
Nasi’ah artinya mengakhirkan dan menangguhkan
yaitu memberi tambahan pada suatu barang dari dua barang yang ditukar
(dijualbelikan) sebagai imbalan dari diakhirkannya pembayaran. Riba Nasiah
adalah tambahan baik berupa tunai, benda, maupun jasa yang mengharuskan pihak
peminjam untuk membayarselain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang
meminjamkan pada hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu.
Misalnya, seseorang yang menjual barang dagangan
kepada orang lain dengan pembayaran kredit, jika sudah sampai jatuh tempo dan
pembeli belum melunasi pembayaran, maka ia terkena penambahan harga sebagai
komponsasi penguluran waktu. Demikian ini telah dipraktekkan pada zaman
Jahiliah, yakni seseorang yang telah habis masa pembayaran hutangnya dan belum
dapat membayarnya, maka ia wajib membayar beberapa kali lipat dengan diberikan
beberapa waktu lagi. Demikian telah disinggung dalam al Quran:
يٰٓأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوا۟ الرِّبَوٰٓا۟ أَضْعٰفًا مُّضٰعَفَةً ۖ
وَاتَّقُوا۟ اللَّـهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda.” (al-Imran:130)
2. Riba Fadhl
Riba Fadhladalah menjual sesuatu dengan alat
tukar sejenis dengan adanya penambahan salah satunya tanpa tenggang waktu. Kelebihan yang terdapat dalam tukar menukar antara
tukar menukar benda-benda sejenis dengan tidak sama ukurannya, seperti satu
gram emas dengan seperempat gram emas,maupun perak dengan perak. Hal ini sesuai
dengan hadist nabi saw. sebagai berikut:
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا
بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
“Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan
perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah atau meminta tambahan,
maka (tambahannya) itu adalah riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Contohnya Anda menjual atau meminjamkan biji-bijian atau uang
kepada seseorang dengan syarat orang tersebut harus mengembalikannya dengan
barang yang sejenis seperti emas dengan emas atau biji dengan biji-bijian
dengan disertai tambahan dari barang yang semisal. Dan barang tersebut adalah
barang-barang ribawi yang apabila diberi tambahan dari barang semisal akan
menjadi riba. Dalam hadits
dijelaskan:
اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ
وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ
وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَداً بِيَدٍ فَإِذَ
اخْتَلَفَتْ هذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا
بِيَدٍ.
“(Jual
beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan
sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, ukurannya harus sama, dan
harus dari tangan ke tangan (dilakukan dengan kontan). Jika jenis-jenisnya
tidak sama, maka juallah sesuka kalian asalkan secara kontan.”
3. Riba Qardl
Riba
Qardhi adalah riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam
meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang
berhutang seperti rentenir yang meminjamkan uangnya dengan pengembalian bebrapa
persen. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu
juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus
ribu rupiah).
Terhadap bentuk transaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba,
seperti sabda Rasulullah Saw.:
كُلُّ قَرْضٍ
جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَرِبًا
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi).
4. Riba Yad
Riba Yad
yaitu jika salah satu diantara
dua pihak yang melakukan transaksi (muta’aqqidain) meninggalkan
transaksi sebelum serah terima. Riba Yad dikenal pada
kalangan Syafi’iyah.Hanafih memasukkan riba Yad pada Riba Nasi’ah.
Menurut Wahbah Zuhaili Riba Nasi’ah adalah jual beli atau
tukar menukar dengan cara mengakhirkan penerimaan kedua barang yang ditukarkan
atau salah satunya tanpa menyebutkan masanya. Yakni
terjadinya juam beli atau tukar menukar
dua barang yang berbeda jenis, seperti gandum dengan jagung tanpa
dilakukan penyerahan di majelis akad. Dari definisi ersebut, dapat dipahami
bahwa dalam riba Yad jual beli atau penukaran tanpa adanya kelebihan, tetapi
salah satu pihak meninggalkan majelis akad sebelum terjadi penyerahan barang
atau harga.
Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah
dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum
ditimbang apakah cukup atau tidak.
D.
Hal-hal yang menimbulkan riba
Hal-hal yang menimbulkan riba diantaranya
adalah :
1.
Tidak sama nilainya (tamsul)
2.
Tidak sama ukurannya menurut syara’, baik timbangan, takaran maupun ukuran
3.
Tidak tunai (taabut) di
majelis akad
Berikut ini merupakan contoh riba
penukaran :
a.
Seseorang
menukar uang kertas Rp 10.000 dengan uang receh Rp.9.950 uang Rp.50 tidak ada
imbangannya atau tidak tamasul, maka uang receh Rp.50 adalah riba.
b.
Seseoarang
meminjamkan uang sebanyak Rp. 100.000 dengan syarat dikembalikan ditambah 10
persen dari pokok pinjaman, maka 10 persen dari pokok pinjman dalah riba sebab
tidak ada imbangannya.
c.
Seseorang
menukarkan seliter beras ketan dengan dua liter beras dolog, maka pertukaran tersebut adalah riba,
seabab beras harus ditukar dengan beras yang sejenis dan tidak boleh dilebihkan
salah satunya. Jalan keluarnya ialah beras ketan dijual terlebih dahulu dan
uangnya digunakan untuk membeli beras dolog.
d.
Seseorang yang
akan membangun rumah membeli batu bata, uangnya diserahkan tanggal 5 Desember
2006, sedangkan batu batanya diambil nanti ketika pembangunan rumah dimulai,
maka perbuatan tersebut adalah perbuatan riba sebab terlambat salah satu nya
dan berpisah sebelum serah terima barang.
e.
Seseorang yang
menukarkan 5 gr emas 22 karat dengan 5 gremas 12 karat termasuk riba walaupun
sama ukurannya namun berbeda nilai (harga).[3]
E.
Pengaruh Riba dalam Transaksi
Mayoritas
Fuqaha’ erpendapat bahwa transaksi yang bercampur dengan riba adalah batal, tidak sah, dan
tidak boleh diteruskan. Barang siapa
memraktikkan riba, maka transaksinya ditolak meskipun ia tidak tahu karna ia
telah berbuat sesuatu yang diharamkan Allah SWT. Larangan dalam riba
menunjukkan hukum haram dan rusak.
Rosulullah SAW telah bersabda:
مَن
عَمِلَ عَمَلاً لَيسَ عَليهِ اَمرُنَا فهُو رَدٌّ
“Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak
berdasar pada agamakami, maka perbuatannya itu ditolah”.(HR.Muslim)
Hanafiah berpendapat bahwa mensyaratkan adanya riba dalam jual beli dapat merusak transaksi tersebut. Akan
tetapi, mereka membedakan antara fasid dengan batil dalam urusan
muamalah. Oleh karena itu barang dagangan dalam jual beli yang fasid dapat dimiliiki setelah diterima. Adaapun
barang dagangan dalam jual beli yang batil tidak dapat dimiliki meskipun
telah diterima.
Jual beli yang
mengandung riba termasuk jual beli yang fasid,
maka seseorang dapat memilikinya setelah
menerimanya dan ia wajib mengembalikan kelebihan harga atau nilainya jika
barangnya telah rusak[4].
F. Hikmah Keharaman Riba
Menurut Yusuf Qardhawi,
para ulama telah menyebutkan panjang lebar hikmah diharamkan riba secara rasional, antara lain:
1. Riba berarti mengambil
harta orang lain tanpa hak
2. Riba dapat melemahkan
kreativitas manusia dalam bekerja, sehingga manusia akan lalai akan
perdagangannya atau perusahaannya,
3. Riba menghilangkan
nilai kebaikan dan keadilan dalam utang piutang.
4. Biasanya orang yang
memberi utang adalah orang kaya dan yang berutang adalah orang miskin.
Mengambil kelebihan dalam utang orang miskin sangat bertentangan dengan Rahman
Allah.[5]
Menurut Sayyid Sabiq sebagai berikut:
1. Menimbulkan permusuhan
dan menghilangkan semangat tolong menolong.
2. Riba mendorong
terbentuknya kelas elite, yang tanpa bekerja mereka mendapatharta.
3. Mnimbulkan penimbunan
harta tanpa usaha
4. Riba sebagai salah satu
cara menjajah dalam bidang ekonomi.
5. Islam mendorong umatnya
untuk memberikan pinjaman kepada orang yang embutuhkan dengan prinsip “qardhul
hasan atau pinjaman tanpa Bungan.[6]
G. Bunga Bank dan Riba
Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang
dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di perhitungkan dari
pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut berdasarkan
tempo waktu yang diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya
berdasarkan persentase.
Ada beberapa pengertian lain dari bunga, diantaranya yaitu:
a.
Sebagai batas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan
prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya.
b.
Sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki
simpanan) dengan yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah yang
memperoleh pinjaman).
c.
Bunga adalah tambahan yang diberikan oleh bank atas
simpanan atau yang di ambil oleh bank atas hutang.
1. Kedudukan Bunga Bank
Mengenai kedudukan bunga bank ini berdasarkan dapat dilihat dari
illat diharamkannya riba, antara lain;[7]
a.
Adanya kedzaliman, yaitu adanya keuntungan yang tidak sebanding.
Sebenarnya kelebihan ini bukan seab diharamkannya riba, melaikan pada unsur
kedzalimannya.
b.
Adanya esksploitasi dalam kebutuhan pokok adanya gharar,
ketidakpastian, dan spekulasi yang tinggi. Oleh karena itu riba tidak
diharamkan jika tidak mengandung kedua unsur tersebut. لاَتَظْلمُونَ وَلاَتُظْلمُوْنَ
2. Pandangan Ulama tentang Bunga Bank
Di antara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang
diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang.
Hal tersebut disebabkan karena salah satu
elemen dari penentuan harga adalah suku
bunga. Semakin tinggi suku bunga,
semakin tinggi juga harga yang
akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak
lainnya adalah bahwa utang, dengan rendahnya
tingkat penerimaan peminjam dan tingginya
biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak
pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila
bunga atas utang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata
adalah utang negara-negara berkembang kepada
negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak,
artinya dengan suku bunga rendah,
pada akhirnya negara-negara
pengutang harus berutang lagi untuk membayar bunga dan
pokoknya. Akibatnya, terjadilah utang yang terus-menerus. Ini yang menjelaskan
proses terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa
lebih dari separoh masyarakat dunia.[8]
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para
pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang
lain agar berusaha dan mengembalikan, misalnya, dua puluh lima persen lebih
tinggi dari jumlah yang dipinjamkannya. Persoalannya, siapa yang
bisa menjamin bahwa usaha yang
dijalankan oleh orang itu
nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima persen?
Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapa pun tidak bisa memastikan
apa yang terjadi besok atau lusa. Siapa pun tahu bahwa berusaha memiliki dua
kemungkinan: berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, orang sudah
memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir
tidak dapat menghindari diri dari bermuamalah
dengan bank konvensional, yang memakai sistem bunga dalam segala
aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya.
Misalnya; ibadah haji di Indonesia, umat Islam harus memakai jasa
bank. Tanpa jasa bank, perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju
seperti sekarang ini. Para ulama dan cendekiawan muslim
masih tetap berbeda pendapat tentang hukum
bermuamalah dengan bank konvensional dan
hukum bunga bank. Perbedaan pendapat
mereka seperti yang disimpulkan
Masjfuk Zuhdi adalah sebagai berikut;
a.
Pendapat Syekh Abu Zahrah, Guru Besar pada Fakultas Hukum
Universitas Cairo, Abul A'la Al-Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah
Al-Arabi, penasihat hukum pada Islamic
Congress Cairo, dan lain-lain, menyatakan bahwa bunga
bank termasuk riba nasi'ah yang dilarang oleh
Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak
boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali kalau
dalam keadaan darurat atau terpaksa. Mereka mengharapkan lahirnya bank Islam
yang tidak memakai sistem bunga sama sekali.33
b.
Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis),
bahwa bunga bank, seperti di negara Indonesia ini bukan riba yang
diharamkan karena tidak bersifat ganda
sebagaimana dinyatakan dalam surat Ah Imran ayat 130.
c.
Tarjih Muhammadiyah di
Sidoarjo Jawa Timur
tahun 1968 memutuskan bahwa
bunga bank yang diberikan oleh
bank-bank negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya,
termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya belum jelas
halal dan haramnya. Sesuai dengan petunjuk
hadis, umat Islam harus
berhati-hati menghadapi masalah yang masih syubhat. Oleh karena
itu, jika dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan hajat,
artinya keperluan yang mendesak/penting, barulah
diperbolehkan bermuamalah dengan bank dengan sistem bunga itu sekedarnya saja.
d.
Menurut Mustafa Ahmad Az-Zarqa, Guru Besar Hukum Islam dan Hukum
Perdata Universitas Syiria bahwa sistem
perbankan yang kita terima sekarang ini
merupakan realitas yang tak dapat dhindari.
Oleh karena itu, umat Islam boleh bermuamalah dengan bank konvensional
atas pertimbangan dalam keadaan darurat dan
bersifat sementara. Hal ini karena, umat
Islam harus berusaha mencari
jalan keluar dengan mendirikan bank
tanpa sistem bunga untuk menyelamatkan umat Islam dari cengkeraman
bank bunga (conventional bank).
e.
Menurut Wahbah al-Zuhaily dalam Al-Fiqh alIslamy wa Adillatuhu,
bunga bank adalah haram. Riba atau bunga bank adalah riba nasi’ah, baik bunga
tersebut rendah maupun berganda. (Hal itu) karena kegiatan utama bank adalah
memberikan utang (pinjaman) dan menerima utang (pinjaman). Bahaya (madharat)
riba terwujud sempurna (terdapat secara penuh) dalam bunga bank. Bunga bank
hukumnya haram, sebagaimana riba. Dosa (karena bertransaksi) bunga sama dengan
dosa riba; alasan lain bahwa bunga bank berstatus riba adalah firman Allah SWT
“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu”
(QS. Al-Baqarah [2]: 279)
3. Fatwa MUI tentang Bunga (Interest /
Fa’idah)
Pertama :Pengertian Bunga (Interest) dan Riba
1. Bunga (interest/fa’idah) adalah
tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang
diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil
pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka,
dan pada umumnya berdasarkan persentase.
2. Riba adalah
tambahan (ziyadah) tanpa imbalan (بلاعوض) yang terjadi karena penangguhan dalam
pembayaran (زيادةالأجل) yang diperjanjikan sebelumnya, (اشترط مقدما). Dan inilah yang disebut riba
nasi’ah.
Kedua : Hukum Bunga (Interest)
1.
Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang
terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek
pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
2.
Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan
oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan
lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga : Bermu’amalah dengan
Lembaga KeuanganKonvensional
1.
Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan Lembaga Keuangan
Syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang
didasarkan kepada perhitungan bunga.
2.
Untuk wilayah yang belum ada kantor /jaringan Lembaga
Keuangan Syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga
keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/ hajat.
A. Kesimpulan
Riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara batil, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam yang
bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam. Riba telah diharamkana dalam
Islam sebagaimana disebutkan dalam beberapadalil Al-Quran dan Hadits.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا
بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. QS Al-Baqarah : 278.
Riba terdiri dari empat macam, yaitu:
1.
Riba Nasi’ah
2.
Riba Fadhl
3.
Riba Qardhi
4.
Riba Yad
Hal-hal yang menimbulkan riba
diantaranya adalah :
1.
Tidak sama nilainya (tamsul)
2.
Tidak sama ukurannya menurut syara’, baik timbangan, takaran maupun ukuran
3.
Tidak tunai (taabut) di
majelis akad
Hokum Riba jelas adalah haram.Mayoritas
Fuqaha’ berpendapat bahwa transaksi yang bercampur dengan ribaadalah batal, tidak sah, dan
tidak boleh diteruskan. Berikut adalah hikmah
diharamkannya riba:
a.
Riba berarti mengambil harta orang lain tanpa hak
b.
Riba dapat melemahkan kreativitas manusia dalam bekerja, sehingga manusia
akan lalai akan perdagangannya atau perusahaannya,
c.
Riba menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam utang piutang.
d.
Biasanya orang yang memberi utang adalah orang kaya dan yang berutang
adalah orang miskin. Mengambil kelebihan dalam utang orang miskin sangat
bertentangan dengan Rahman Allah.
3.
Jika membahas tentang riba maka tak jauh membahas pula
tentang bunga bank yang saat ini sedang banyak menjadi perdebatan tentang
hukumnya.Beberapa ulama ada yang membolehkan dan tidak mengaktegorikan riba.
Sebaliknya ulama Indonesia melalui Fatwa MUI mengeluarkan fatwa berbeda tentang
hokum bunga bank, yaitu Praktek pembungaan uang saat ini
telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba
nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang termasuk salah satu bentuk
riba, dan riba haram hukumnya.
[1]
Ath-Thayar Abdullah dkk, Esnsiklopedi Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4
Madzhab, (Yogyakarta: Muktabah al Hanif, 2014), h.105
[2]
Al-Mawardi dan An-Nawawi,Al-Majmu’,( Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi), h.294
[3]Sahrani Sohari dan Abdullah Ru’fah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia
Indonesngan dalam ria, 2011), h.60
[5]
QardhawiYusuf, al- Halal qal Haram, (Beirut: Maktabah al Islamy, 1994), h.
242-243
[6]Sabiq
Sayyid, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), h. 868
[7]Rachmat Syafe’i, Fiqih Muammalah,(Jakarta;
Pustaka Setia Bandung)2000, hal 276
[8]Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari’ah Dari
Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 67
No comments:
Post a Comment