Hadis ini menyatakan bahwa wanita adalah
partner atau rekan dari laki-laki,
karena pada hakikatnya ada pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan oleh laki-laki
begitu juga sebaliknya. Laki-laki dan perempuan harus bekerja sama dalam
menciptakan kerukunan dan ketentraman didalam rumah tangga.
Kenyataannya, sekarang banyak wanita yang
menjadi fitnah bagilaki-laki karena kebebasan mengumbar aurat dan perjuangan
emansipasi yang kebablasan, tidak lagi memperjuangkan kehormatan bagi perempuan
akan tetapi memperjuangkan penguasaan perempuan. Hal-hal ini sudah keluar dari
jalur syariat agama Islam.
Hadis Pertama
Hadis tentang Penciptaan Perempuan.
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ وَمُوسَى بْنُ حِزَامٍ قَالَا حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ
عَنْ زَائِدَةَ عَنْ مَيْسَرَةَ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ
ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ
تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ
“Saling berpesanlah kalian (bermakna: tawasau)
untuk berbuat baik kepada kaum perempuan, karena perempuan diciptakan dari
tulang rusuk dan bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian paling
atas. Maka jika kamu berusaha untuk meluruskannya, kamu akan mematahkannya, dan
jika kamu membiarkan sebagaimana adanya maka ia akan tetap dalam keadaan
bengkok. Maka saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik kepada kaum
perempuan”.[1]
Hadis Kedua
2. Penjelasan hadis " perempuan adalah syaqoiqnya (separuhnya)
laki-laki. "
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الرَّجُلِ يَجِدُ الْبَلَلَ وَلَا يَذْكُرُ احْتِلَامًا قَالَ يَغْتَسِلُ وَعَنْ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدْ احْتَلَمَ وَلَمْ يَجِدْ بَلَلًا قَالَ لَا غُسْلَ عَلَيْهِ قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ تَرَى ذَلِكَ غُسْلٌ قَالَ نَعَمْ إِنَّ النِّسَاءَ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
dari aisyah
berkata : Rasululloh shollallohu alaihi wasalam ditanyai tentang seseorang yang
melihat sesuatu yang basah (mani) tapi tidak ingat dia bermimpi basah, maka
Rasul menjawab :" Ia wajib mandi." Dan beliau juga ditanya tentang
seorang laki-laki bermimpi namun tak mendapatkan sesuatu yang basah (mani),
beliau menjawab: "Ia tak wajib mandi." Ummu Salamah bertanya, Wahai
Rasulullah, jika seorang wanita bermimpi seperti itu apakah ia juga harus
mandi? beliau menjawab: "Ya, karena wanita adalah syaqoiqnya
laki-laki" (HR abu dawud,
at turmudzi, imam Ahmad dan Addarimi).
Hadist Ketiga
Perempuan
Menjadi Pemimpin.
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ
الحَسَنْ عَنْ أَبِيْ بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ
سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ
الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ
مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ
يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Al Haitsam
telah menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Abu Bakroh mengatakan :
Allah memberikan manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat yang aku dengar dari
Rasulullah SAW pada hari perang jamal, setelah aku hampir membenarkan mereka
Ashabul Jamal dan berperang bersama mereka, ketika sampai kabar kepada
Rasulullah SAW bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin,
beliau bersabda: Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan
(pemerintahan) mereka kepada seorang wanita-wanita "[2] ( HR. Al Bukhori ).
Penjelasan Hadis 1
Analisis Sanad
Para mufassir yang yakin bahwasannya Hawa
diciptakan dari tulang rusuk Adam membangun keyakinannya tersebut berdasarkan
beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Akan tetapi, misalnya
Riffat Hasan (yang menolak), menyatakan bahwa semua hadis-hadis tersebut
dinyatakan dla’if karena dalam pandangannya, dalam sanad hadis tersebut
terdapat beberapa Rawi yang dianggap tidak tsiqah, yaitu Abu Zinad, Maisarah
al-Asyja’i, Haramalah dan Zaidah. Riffat mendasarkan penilaiannya itu kepada
adz-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal.
Menurut hasil penelitian ulang dari penulis, perawi-perawi yang dianggap dla’if
oleh Riffat, sebenarnya sama sekali tidak pernah dinilai dla’if oleh
adz-Dzahabi, sebagaimana pengakuan Riffat. Berikut ini penjelasan mengenai
masing-masing dari mereka:
Pertama, ada tiga nama Zaidah yang dinilai dla’if oleh al-Dzahabi,
mereka adalah (1) Zaidah bin Salim yang meriwayatkan dari ‘Imran bin ‘Umair,
(2) Zaidah bin Abi Riqad yang meriwayatkan dari Ziyad an-Numairi, dan (3)
Zaidah lain yang meriwayatkan dari Sa’ad. Adapun nama Zaidah yang terakhir ini
telah dinilai dla’if oleh al-Bukhari sendiri, ini berarti tidak mungkin Bukhari
memakai riwayat tersebut yang menurutnya dianggap dla’if. Dengan demikian, nama
Zaidah yang dianggap dla’if oleh al-Dzahabi bukanlah Zaidah yang meriwayatkan
hadis dari Maisarah sebagaimana yang terdapat dalam riwayat al-Bukhari dan
Muslim.
Kedua, Zaidah yang meriwayatkan dari Maisarah adalah bernama Zaidah bin
Qudamah al-Tsaqafi Abu al-Shalah al-Kufi, ia adalah orang yang tsiqah,
mempunyai murid Ibnu Mubarak, Abu Usamah dan Husain ibnu Ali. Adapun Maisarah
yang dinilai dla’if oleh al-Dzahabi adalah Maisarah bin ‘Abd Rabbih al-Farisi,
seorang pemalsu hadis. Dia meriwaytakan hadis dari Laits bin Abi Sulaim, Ibnu
Juraji, Musa bin Ubaidahdan al-Auza’I. sedangkan murid-murid Maisarah bin Abd
Rabbih al-Farisi sendiri adalah Syu’aib bin Harb, Yahya bin Ghilan, dll. Adapun
Maisarah yang terdapat dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim adalah bernama
Maisarah bin ‘Imarah al-Asyja’i al-Kufi, bukan orang yang dianggap dla’if oleh
al-Dzahabi.[3]
Ketiga, nama Abu Zinad, yang terdapat dalam sanad Bukhari dan Muslim
adalah Abdullah bin Zakwan yang oleh al-Dzahabi sendiri dinilai sebagai seorang
yang tsiqah syahir (orang yang terkenal terpercaya). Mengapa tsiqah syahir
termasuk derajat yang kemudian dipahami oleh Riffat menjadi dla’if? Padahal
dalam ilmu Jarh wa at-Ta’dil gelar tsiqah syahir termasuk derajat yang tinggi,
dibawah yang tertinngi. Begitupula dengan Harmalah bin Yahya, nama lengkapnya
adalah Haramalah bin Yahya bin Abdillah bin Imran Abu Hafs at-Taji
al-Mishri, Harmalah bin Yahya ini, oleh al-Dzahabi tidak dianggap dla’if,
bahkan dinilai Ahadu al-A’immah ats-Tsiqat (salah seorang imam yang
terpercaya). Mengapa Riffat menilainya sebagai gahiru tsiqah (tidak terpercaya)?
Dengan demikian, dapat disimpulkan, keempat perawi, yaitu Zaidah, Maisarah
al-Asyja’i, Abu Zinad dan Harmalah bin Yahya yang dinilai dla’if oleh Riffat
Hassan adalah tidak terbukti. Riffat telah keliru dan kurang cermat dalam
melakukan kritik sanad. Berarti, hadis mengenai penciptaan perempuan riwayat
Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Abu Hurairah ditinjau dari segi
sanad-nya adalah tetap shahih.
Analisis Matan
Hadistentangpenciptaan Hawa dari tulang rusuk
memilikimatan yang berbeda-beda. Secara garis besar, matan hadis yang
berbeda-beda memiliki dua arti jika dimaknai secara tekstual, yaitu perempuan
diciptakan dari tulang rusuk, atau perempuan seperti tulang rusuk-sulit untuk
ditentukan mana yang lebih kuat (rajih) karena sanadnya sama-sama sahih dan
sama kuatnya.
Bagaimana dengan isi redaksi hadis tersebut?
Dalam metodologi kritik matn (an-Naqd al-Dakhili), al-Adlabi, salah seorang
tokoh ahli Hadis telah memberikan kriteria mengenai matn yang dinilai dla’if,
yaitu:
(1) bertentangan dengan al-Qur’an
(2) bertentangan dengan rasionalitas akal
sehat
(3) bertentangan dengan sejarah, dan
(4) susunannya tidak menunjukkan
ciri-ciri sebagai sabda kenabian.
Menurut penulis, hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tidaklah
bertentangan dengan al-Qur’an, akal sehat, bila difahami secara metaforis (majazi).[4]
Secara majazi, hadis tersebut membawa pesan moral agar kaum lelaki
dapat bersikap bijaksana ketika menghadapi perempuan, karena ada sifat,
karakter, dan kecenderungan perempuan yang tidak sama dengan lelaki, dimana
jika hal itu tidak disadari akan dapat mengantarkan kaum lelaki bersikap tidak
wajar. Mereka tidak akan mampu merubah karakter dan sifat bawaan perempuan,
kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan
tulang rusuk yang bengkok.
Pesan utama hadis itu adalah bagaimana seharusnya dan sebaiknya para suami
memperlakukan istrinya, terutama mengenai metode memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan oleh istri. Kata Rasulullah
memesankan, laki-laki (suami) harus mewasiatkan kepada dirinya sendiri untuk
selalu berbuat baik kepada istrinya. Apabila ingin meluruskan kesalahan istri,
luruskanlah dengan bijaksana, jangan dengan kasar dan keras sehingga
mengakibatkan perceraian, atau jangan pula dibiarkan saja istri bersalah.
Kemudian Rasulullah memanfaatkan penciptaan perempuan (Hawa) dari tulang rusuk
yang bengkok untuk menjelaskan bahwa betapa laki-laki (suami) harus hati-hati
dan bijaksana meluruskan kesalahan-kesalahan perempuan. Karena meluruskan
kesalahan perempuan ibarat meluruskan tulang yang bengkok, kalau tidak
hati-hati dan bijaksana bisa menyebabkan tulang itu patah. Menurut Ibnu Hajar,
mulut perempuan ibarat bagian atas tulang rusuk yang paling bengkok. Kalau
suami tidak pandai-pandai menghadapi mulut istri (tentu tidak semua istri
seperti itu) tentu bisa menyebabkan perceraian. Dalam hadis lain disebutkan
secara eksplisit bahwa yang dimaksud dengan patahnya tulang itu adalah
perceraian.[5]
Jika dalam memahami hadis tersebut terlalu tekstualis, akan menimbulkan asumsi-asumsi
misogyny terhadap perempuan, seharusnya pun perlu memahami ideal moral dari
hadis tersebut, sehingga tidak terjebak dibalik ungkapan legal formalnya yang
ada dalam bingkai teks hadis tersebut.
Pandangan Ulama tentang Matan Hadis
Mengenai hadis yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang
rusuk-karena merupakan hadis Ahad (walaupun sanadnya sahih)-pada ulama dan
sarjana masih berbeda pendapat mengenai keotentikan hadis tersebut sebagai
sabda Nabi SAW. Apabila dicermati, secara umum mereka terbagi menjadi dua
kelompok. Pertama, kelompok yang menganggap hadis tersebut shahih baik sanad,
maupun matannya, sehingga menerimanya sebagai sabda Nabi, dan kedua kelompok
yang berpendapat bahwa matan hadis tersebut tidak sahih sehingga harus ditolak.
kelompok yang menerima hadis, terbagi menjadi dua pandangan. Pandangan pertama,
memahami hadis tersebut secara tekstual, sehingga menurut mereka perempuan
(Hawa) benar-benar diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Hadis ini
bahkan dijadikan sebagai argumen untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran tentang
awal penciptaan manusia, khususnya an-Nisa’ ayat 1:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ
نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا
وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ﴿النساء:١﴾
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”[6]
Dalam menafsirkan kata nafs wahidah dalam
ayat tersebut, mereka mengartikannya dengan Adam, dan kata zaujaha dengan
Hawwa. Kemudian sesuai informasi hadis diatas yang dipahami secara tekstual,
mereka berpendapat bahwa penciptaan Hawwa tersebut adalah
dari tulang rusuk Adam.
Ketika menafsirkan hadis nabi tentang penciptaan perempuan dari tulang
rusuk (yang bengkok), misalnya, Syeikh Athiyah Shaqar menyatakan bahwa “ Yang
dimaksud dengan tulang bagian atas yang bengkok adalah akal dan pikirannya
perempuan.”
Berbeda dengan pandangan mayoritas mufassir, Riffat Hassan memahami bahwa
perempuan (Hawa) itu diciptakan bukan dari tulang rusuk Adam, melainkan dari
nafs wahidah yang oleh Riffat sendiri ditafsirkan dengan a single source
(sumber yang satu). Asumsi dasar yang dibangun Riffat adalah, jika perempuan
(Hawa) itu berasal dari Adam, berarti secara ontologis maupun filosopis
perempuan itu hanya derivasi dari laki-laki dan berarti pula perempuan tidak
setara dengan laki-laki. Sebagai implikasinya, Riffat kemudian menolak argumentasi
jumhur ulama dan juga hadis yang dijadikan landasan mereka.
Analisis Makna Hadis.
Dalam teks hadis yang menyatakan bahwa
perempuan diciptakan dari tulang rusuk, tidak dijelaskan siapa perempuan yang
dimaksud dan diciptakan dari tulang rusuk siapa. Namun, teks hadis inilah yang
berkembang di masyarakat, bahkan mereka memberikan penafsiran lebih lanjut
bahwa perempuan yang dimaksud dalam teks hadis itu adalah perempuan pertama,
yaitu Hawa, dan dia diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang merupakan manusia
pertama. Apalagi ditambah dengan matan hadis yang menggunakan kata “perempuan”
dalam bentuk plural “an-nisa”, yang berarti seluruh kaum perempuan, tidak hanya
perempuan pertama (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk. Secara tekstual, hadis
ini bertentangan dengan ayat-ayat mengenai proses reproduksi kejadian manusia.
Apabila dicermati konteks hadis-hadis ini sebenarnya berisi anjuran, atau
bahkan perintah Nabi kepada laki-laki pada waktu itu supaya saling menasehati satu
sama lain untuk berbuat baik kepada istri-istri mereka atau kaum perempuan
secara umum.[7]
Sabda Nabi tersebut hanya ditujukan kepada kaum laki-laki, ini sesuai dengan
konteks masyarakat Arab ketika itu.Sabda Nabi ini secara implisit menunjukkan
bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan ketika itu (bahkan sampai dengan
sekarang) sangat kuat dan kaum perempuan tersubordinasi, bahkan dapat dikatakan
dalam keadaan tertindas sehingga Nabi merasa perlu untuk memerintahkan kaum
laki-laki supaya memandang perempuan sebagai mitra yang sejajar. Nabi kemudian
berusaha merombak budaya semacam itu dan berupaya meningkatkan derajat dan
martabat kaum perempuan dengan mengibaratkan perempuan seperti tulang rusuk
yang tidaklah dapat diubah-ubah seenaknya mengikuti kemauan laki-laki. Dengan
tanpa menggunakan kekerasan laki-laki justru akan dapat saling mengisi dan
hidup berdampingan secara baik dengan perempuan.
Pandangan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa para penulis kitab hadis menempatkan
hadis-hadis ini pada pembahasan mengenai anjuran untuk berbuat baik kepada
istri, bukan pada pembahasan mengenai awal penciptaan manusia. Al-Bukhari,
disamping pada kitab al-hadis al-anbiya’ (yang hanya satu hadis), mnempatkan
hadis-hadis ini pada kitab an-nikah, bab al-mudarah ma’a an-nisa’ (bab berbuat
sopan dan lemah lembut kepada kaum perempuan) dan bab al-wusat bi an-nisa (bab
wasiat mengenai kaum perempuan), sama halnya dengan An-Nawawi dalam syarah
Shahih Muslimnya. Sementara itu asy-Syaukani menempatkan pada bab ihsan
al-isyrah wa bayan haqq az-zaujain (bab berlaku baik dalam pergaulan (suami
isti).
Secara normatif, hadis tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk sama sekali
tidak mengandung unsure misoginik. Sekalipun diciptakan secara berbeda, esensi
kemanusiaan masing-masing tidak berbeda. Hawa yang diciptakan dari tulang
rusuk, Isa yang diciptakan hanya lewat seorang ibu, dan manusia lainnya
diciptakan dengan proses reproduksi, semuanya berasal dari Adam, dan Adam
berasal dari tanah. Dengan demikian secara esensi semua manusia berasal dari
asal ysang sama. Tapi secara histories, bisa saja hadis ini dipahami lepas dari
konteksnya, sehingga terkesan melecehkan kaum perempuan atau memojokkan kaum
perempuan yang diidentikkan dengan kebengkokan.[8]
Penjelasan
Hadis ke 2
Dalam kitab syarah abi dawud oleh badruddin al aini disebutkan:
Sabda Rasul " syaqoiqnya lelaki " artinya adalah sepadan
mereka dan semisal mereka dalam akhlak dan watak, seolah-olah perempuan adalah
pecahan dari lelaki, dan karena sesungguhnya ibu hawa diciptakan dari Nabi
Adam.
Dalam kitab tuhfatul ahwadzi syarah sunan turmudzi olae almubarokfuri disebutkan:
sabda rasul " perempuan adalah syaqoiqnya (separuhnya)
laki2" ini adalah jumlah permulaan yg mengandung makna ta'lil/alasan. ibnu
atsir berkata " artinya adalah sepadan mereka dan semisal mereka seolah2
perempuan adalah pecahan dari lelaki, dan karena sesungguhnya ibu hawa
diciptakan dari nabi adam alaihimas salam. syaqiqnya lelaki adalah saudaranya
seayah dan seibu, karena syaqq adalah keturunananya dari keturunannya,
maksudnya adalah wajib mandi bagi seorang perempuan sebab melihat sesuatu yg
basah (mani) setelah bangun tidur seperti wajibnya lelaki. selesai.
Asbabul Wurud
Aisyah menceritakan: Rasulullah
ditanya orang mengenai seorang laki-laki yang melihat pakaian atau celananya
basah setelah tidur, tapi dia tidak ingat apakah dia mimpi berhubungan seks
atau tidak. Beliau menetapkan orang itu harus mandi wajib. Kemudian beliau
ditanya pula tetang laki-laki yang bermimpi(seks) tapi tidak melihat ada basah
pada pakaiannya. Maka beliau memjelaskan dia tidak wajib mandi. Ummu Sulaim
bertanya tentang hal yang sama bila dialami oleh seorang perempuan. Nabi
menjawab bahwa perempuan itu wajib mandi (bila melihat basahan) dan tidak wajib
mandi (bila tidak melihat basahan). Nabi menjelaskan karena “wanita itu belahan
laki-laki”. Hadis yang sama juga diriwayatkan dari Ummu Sulaim yang bertanya
pada nabi mengenai perempuan yang melihat seperti yang dilihat oleh laki-laki
dalam mimpinya. Nabi menjelaskan bila dia melihat air (basahan) hendaklah ia
mandi. Ummu Sulaim bertanya lagi: apakah perempuan ada air? Nabi menjawab:
benar, karena perempuan belahan laki-laki. Riwayat Ibnu Qoththan dari Aisyah,
sanadnya Dhaif, sedangkan riwayat dari anas, sanatnya shahih.[9]
Pemahaman Hadis
Laki-laki dan wanita adalah dua jenis mahkluk
yang terlihat pada lahirnya berlawanan, tetapi kalau dicermati dengan seksama
maka akan dilihat bahwa keduanya bagaikan tangan kanan dan tangan kiri. Tangan
kanan tidak akan dapat melakukan pekerjaannya dengan sempurna tanpa dibantu
oleh tangan kiri, begitu juga sebaliknya.
Laki-laki memiliki pekerjaan yang tidak dapat
dilakukan oleh wanita, begitu juga wanita, memiliki beberapa pekerjaan yang
tidak bisa dikerjakan oleh laki-laki dan untuk kesejahteraan bersama keduanya
harus saling tolong menolong. Oleh karena itu kedua makhluk ini tidak boleh
berpisah, bersifat nafsi-nafsi dan tidak perduli satu sama lain.
a. Laki-laki
Laki-laki adalah satu jenis manusia yang
kebanyakannya bertenaga kuat, berkemauan keras,bersifat gagah, berani, sanggup
menanggung berbagai macam kepahitan dan kepayahan hidup, suka menolong makhluk
apa saja yang teraniaya dan rajin mencari nafkah untuk kebutuhan anak dan
istrinya.
Dengan kecerdasan akalnya ia dapat menaklukkan
segala isi dunia, benda-benda keras dapat dilunakkan, binatang buas dapat
ditangkap dan dijinakkan, dsb. Disamping sifat utama dan mulia laki-laki juga
ada padanya sifat jahat, kejam, aniaya,menipu, dan mengecoh. Semua sifat ini
tidak dapat dihindari kecuali dengan menyucikan diri dengan didikan sejati,
didikan Islam.
b. Wanita
Wanita adalah salah satu jenis manusia yang
cantik rupa, lembut bagunannya dan menarik hati laki-laki, wanita menjadi perhiasan
dunia, tempat kesenangan laki-laki bahkan wanita adalah salah satu karunia
Tuhan yang tidak ternilai harganya bagi laki-laki.
Dengan kelebihan-kelebihannya itu wanita
menjadi tempat penghibur laki-laki saat susah dan duka, bahkan ada kalanya wanita
menjadi penguasa atas hati laki-laki sehingga laki-laki akan menuruti
keinginannya.
Wanita hidup disamping laki-laki, tabiat wanita
lemah lembut, halus, mudah tertipu dan sering teraniaya karena percaya pada apa
yang dilihatnya. Juga ada satu sifat yang rata-rata dimiliki oleh wanita yaitu
riya, sifat ingin dipuji oleh karena itu kebanyakan suka menampakkan kecantikan
dan perhiasan.
c. Laki-laki
adalah pelindung bagi Wanita
Dengan perantara nikah yang dibenarkan oleh
agama Islam, seorang laki-laki dapat memperisteri seorang wanita, sekaligus
menjadi penolong dalam waktu susah dan senang dan dalam waktu lapang dan
sempit. Keduanya hidup saling mengasihi,sama-sama menikmati kesenangan dan
sama-sama menanggung kesusahan, memelihara pergaulan dunia dan agama.Seperti
yang disabdakan Nabi saw:
“Sesungguhnya wanita-wanita itu adalah rekan
dari laki-laki”
Juga firman Allah swt:
“merekaadalah pakaian bagimu, dan kamupun
adalah pakaian bagi mereka”.
Imam alKhathabi menjelaskan hadits ini dengan
mengatakan bahwa wanita adalah pendamping dan representasi pria, lahir dan
batin, bahkan seakan bagian yang tak terpisahkan dari tubuh lelaki itu sendiri.
Lantaran hubungan suami-isteri itu terlalu
dekat sehingga Allah mengumpamakan sebagai pakaian yang melekat pada badan.
Laki-laki menjaga dan memelihara diri wanita dari segala bahaya yang akan
menimpa dirinya, menyediakan tempat tinggal dan memberi nafkah belanja dan
pakaian. Boleh dikatakan bahwa seorang suami adalah pengganti orangtuanya,
tempat wanita bertanya, tempat menyerahkan segala urusan, tempat berlindung dan
meminta pertolongan.
Pabila keduanya berjalan menurut peraturan yang
ditetapkan oleh agama, saling mencintai, saling percaya dan ikhlas maka rumah
tangga akan berjalan dengan baik.
Jika wanita adalah belahan atau bandingan dan
semisal laki-laki berarti wanita pun mempunyai peran nyata dalam kehidupan
ini.Keduanya saling melengkapi. Apa yang tidak ada pada wanita maka ada pada
laki-laki, demikian pula sebaliknya. Namun yang sangat disesalkan wanita kini menjadi
korban jargon “emansipasi” dan “kebebasan” yang tidak terbatas telah membawa
mereka menyongsong malapetaka dan bencana dunia.
Dikarenakan tuntutan emansipasi yang kelewatan
dan kebebasan yang terlalu bebas sehingga wanita shalihah yang menjadi sebaik-baik
perhiasan dunia akhirnya menjadi sampah dunia karena hanya menyebarkan fitnah
bagi laki-laki dengan mengumbar aurat dengan alasan kebebasan. Sehingga ada
ungkapan yang menyatakan bahwa “rusak atau tidaknya sebuah negara dilihat dari
kaum wanitanya”.
Penjelasan Hadis 3
Asbab al-Wurud Hadis
Da’wah Islamiyah yang dilakukan
Rosulullah ke berbagai daerah dan negara di antaranya dilakukan dengan
mengirimkan surat kepada pembesar-pembesar kerajaan. Salah satu kerajaan yang
mendapatkan surat dari Nabi adalah Kisra Persia. Berikut kisahnya: ” Rasulullah
mengutus ’Abdullah bin Hudzafah as-Sami untuk mengirimkan surat kepada pembesar
Bahrain. Setelah itu pembesar Bahrain menyampaikan surat tersebut kepada Kisra.
Setelah membaca surat dari Rosulullah, ia menolak dan bahkan menyobek-nyobek
surat Rosul. Peristiwa ini didengar Rosulullah, kemudian beliau bersabda:”Siapa
saja yang telah merobek-robek surat saya, dirobek-robek (diri dan kerajaan)
orang itu”.
Selang beberapa waktu kemudian,
terjadi suksesi dan pertumpahan darah yang menyebabkan kematian sang raja.
Kerajaan tersebut mengalami kekacauan selama kurang lebih tiga tahun. Pada
akhirnya, diangkatlah Buwaran binti Syairawaih bi Kisra (cucu Kisra) sebagai
ratu karena ayah dan saudara laki-lakinya terbunuh dalam peristiwa tersebut.
Hal ini terjadi sekitar tahun 9 H. Mendengar hal ini, Rosulullah bersabda:
”Tidak akan beruntung suatu kaum yang diperintah perempuan”.
Kandungan Hadis
Hadis tersebut menjelaskan, bahwa
suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita, tidak akan
mendapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan
menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama
berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan
tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ini, menurut al-Qâdhi Abû Bakr
ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para ulama.
Sedangkan untuk kekuasaan yang
cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan
wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya
perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk
bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam
Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam
lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik
dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan
hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang
seorang wanita menjadi pemimpin. Sedangkan Abu Hanifah seorang perempuan
dibolehkan menjadi hakim, tetapi tidak boleh menjadi hakim dalam perkara
pidana.[10]
Imam Al Baghowi berpendapat bahwa
seorang perempuan tidak patut menjadi imam,kepala negara dan qodli. Dengan
alasan seorang imam wajib baginya keluar dari istana untuk mengatur dan
melaksanakan jihad. Sedangkan qodli harus keluar rumah dalam memutuskan
perkara. Padahal dalam hal ini perempuan dianggap aurot yang mana pekerjaan
semacam itu tidak pas,layak dan patut baginya karena perempuan lemah dalam
beberapa pekerjaan. Adapun Ibnu jarir At-tobari membolehkan wanita menjadi
pemimpin secara mutlak.
Begitu juga Yusuf Al-Qordhawi
memperbolehkan wanita dalam berpolitik. Beliau menjelaskankan bahwa penafsiran
terhadap surat an-nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita
dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika ditinjau tafsir surat An-Nisa
ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai orang dewasa
terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidiknya tatkala dia melakukan
penyimpangan. “Karena Allah telah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian
yang lain. Yakni, karena kaum laki-laki itu lebih unggul dan lebih baik
daripada wanita. Oleh karena itu kenabian hanya diberikan kepada kaum
laki-laki.[11]
Wanita yang menduduki posisi jabatan
kepala negara tidaklah bertentangan dengan syariah karena Al-Quran memuji
wanita yang menempati posisi ini dalam sejumlah ayat tentang Ratu Balqis dari
Saba. Dan bahwasanya apabila hal itu bertentangan dengan syariah, maka niscaya Al-Quran
akan menjelaskan hal tersebut dalam kisah ini. Adapun tentang sabda Nabi bahwa
“Suatu kaum tidak akan berjaya apabila diperintah oleh wanita” Tantawi berkata:
bahwa hadits ini khusus untuk peristiwa tertentu yakni kerajaan Farsi dan Nabi
tidak menyebutnya secara umum. Oleh karena itu, maka wanita boleh menduduki
jabatan sebagai kepala negara, hakim, menteri, duta besar, dan menjadi anggota
lembaga legislatif. Hanya saja perempuan tidak boleh menduduki jabatan Syaikh
Al-Azhar karena jabatan ini khusus bagi laki-laki saja karena ia berkewajiban
menjadi imam shalat yang secara syariah tidak boleh bagi wanita.
Pendapat ini disetujui oleh Yusuf
Qardhawi. Ia menegaskan bahwa perempuan berhak menduduki jabatan kepala negara
(riasah daulah), mufti, anggota parlemen, hak memilih dan dipilih atau posisi
apapun dalam pemerintahan ataupun bekerja di sektor swasta karena sikap Islam
dalam soal ini jelas bahwa wanita itu memiliki kemampuan sempurna (tamam al
ahliyah).[12]Menurut
Qaradawi tidak ada satupun nash Quran dan hadits yang melarang wanita untuk menduduki jabatan
apapun dalam pemerintahan. Namun, ia mengingatkan bahwa wanita yang bekerja di
luar rumah harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariah seperti a)
tidak boleh ada khalwat (berduaan dalam ruangan tertutup) dengan lawan jenis
bukan mahram, 2) tidak boleh melupakan tugas utamanya sebagai seorang ibu yang
mendidik anak-anaknya, dan 3) harus tetap menjaga perilaku islami dalam
berpakaian, berkata, berperilaku, dan lain-lain.
Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab,
mufti Mesir saat ini, termasuk di antara ulama berpengaruh yang membolehkan
wanita menjadi kepala negara dan jabatan tinggi apapun seperti hakim, menteri,
anggota DPR, dan lain-lain. Namun, ia sepakat dengan Yusuf Qardhawi bahwa
kedudukan Al-Imamah Al-Udzma yang membawahi seluruh umat Islam dunia harus
dipegang oleh laki-laki karena salah satu tugasnya adalah menjadi imam shalat.
Ali Jumah menyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam berbagai
posisi sudah sering terjadi dalam sejarah Islam. Tak kurang dari 90 perempuan
yang pernah menjabat sebagai hakim dan kepala daerah terutama di era Khilafah
Utsmaniyah. Bagi Jumah, keputusan wanita untuk emenempati jabatan publik adalah
keputusan pribadi antara dirinya dan suaminya.
[1].Dr. Hj Ummi Sumbulah M.ag, Studi Al Quran dan Hadist, (Cet. 1,
Malang: Uin Press, 2014), h. 271.
[2]H.R. Al Bukhori
[3].Sumbulah M.ag, Studi, h. 272
[4].Sumbulah M.ag, Studi, h. 273
[5].Hussein Muhammad, Islam Ramah Perempuan, (Yogyakarta: LKiS,
2004) h. 183-184.
[6] Q.S. An-Nisa : 1
[7]http://pasaronlineforall.blogspot.co.id/2010/12/hadis-nabi-tentang-penciptaan-wanita.html
diakses tanggal 1Desember 2016
[8]Nurjannah Ismail, Perempuan
dalam Pasungan Bias Laki-laki dalam Penafsiran,(Yogyakarta:LkiS, 2003), h. 8-9
[9]Ibnu Hamzah al Husaini al Hanafi ad
damsyiqi, Asbabul Wurud, Terj. H. M. Suwarta
Wijaya, B.AdanDrs. Zafrullah Salim, (Jakarta: Kalam Mulia,
2009), h. 114
[10]Taqiyuddin Abil Fath, Ikhkamul Akhkam, Kitabul Aiman wan-Nadar,
Berut, Darul Alamiyyah,2008 hlm. 139.
[11]Yusuf Al Qardhawi, Meluruskan
Dikotomi Agama & Politik “Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan
Liberalisme”, Jakarta, Pustaka
Al-Kautsar, 2008, hlm 126.
[12]Fatwa Qardawi pada suatu program “Fiqh al-Hayat” yang diadakan
tanggal 29 Agustus 2009. Fatwa serupa juga ditulis di kitabnya Fatawa
Muashirah. Juga dimuat di situs resminya: http://goo.gl/P3k8Nt
No comments:
Post a Comment