Labels

5 Mar 2017

Laki-laki dan perempuan harus bekerja sama dalam menciptakan kerukunan dan ketentraman didalam rumah tangga

https://loronghki.blogspot.co.id/

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam At-tirmidzi, AhmadAddarimi, Imam Ahmad dan Abu Daud.
Hadis ini menyatakan bahwa wanita adalah partner atau rekan dari laki-laki, karena pada hakikatnya ada pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan oleh laki-laki begitu juga sebaliknya. Laki-laki dan perempuan harus bekerja sama dalam menciptakan kerukunan dan ketentraman didalam rumah tangga.
Kenyataannya, sekarang banyak wanita yang menjadi fitnah bagilaki-laki karena kebebasan mengumbar aurat dan perjuangan emansipasi yang kebablasan, tidak lagi memperjuangkan kehormatan bagi perempuan akan tetapi memperjuangkan penguasaan perempuan. Hal-hal ini sudah keluar dari jalur syariat agama Islam.

Hadis Pertama
Hadis tentang Penciptaan Perempuan.

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَمُوسَى بْنُ حِزَامٍ قَالَا حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ مَيْسَرَةَ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ

“Saling berpesanlah kalian (bermakna: tawasau) untuk berbuat baik kepada kaum perempuan, karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk dan bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian paling atas. Maka jika kamu berusaha untuk meluruskannya, kamu akan mematahkannya, dan jika kamu membiarkan sebagaimana adanya maka ia akan tetap dalam keadaan bengkok. Maka saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik kepada kaum perempuan”.[1]

Hadis Kedua
2. Penjelasan hadis " perempuan adalah syaqoiqnya (separuhnya) laki-laki. "

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الرَّجُلِ يَجِدُ الْبَلَلَ وَلَا يَذْكُرُ احْتِلَامًا قَالَ يَغْتَسِلُ وَعَنْ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدْ احْتَلَمَ وَلَمْ يَجِدْ بَلَلًا قَالَ لَا غُسْلَ عَلَيْهِ قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ تَرَى ذَلِكَ غُسْلٌ قَالَ نَعَمْ إِنَّ النِّسَاءَ شَقَائِقُ الرِّجَالِ

dari aisyah berkata : Rasululloh shollallohu alaihi wasalam ditanyai tentang seseorang yang melihat sesuatu yang basah (mani) tapi tidak ingat dia bermimpi basah, maka Rasul menjawab :" Ia wajib mandi." Dan beliau juga ditanya tentang seorang laki-laki bermimpi namun tak mendapatkan sesuatu yang basah (mani), beliau menjawab: "Ia tak wajib mandi." Ummu Salamah bertanya, Wahai Rasulullah, jika seorang wanita bermimpi seperti itu apakah ia juga harus mandi? beliau menjawab: "Ya, karena wanita adalah syaqoiqnya laki-laki" (HR abu dawud, at turmudzi, imam Ahmad dan Addarimi).
Hadist Ketiga
Perempuan Menjadi Pemimpin.

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الحَسَنْ عَنْ أَبِيْ بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Al Haitsam telah menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Abu Bakroh mengatakan : Allah memberikan manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat yang aku dengar dari Rasulullah SAW pada hari perang jamal, setelah aku hampir membenarkan mereka Ashabul Jamal dan berperang bersama mereka, ketika sampai kabar kepada Rasulullah SAW bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, beliau bersabda: Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita-wanita "[2] ( HR. Al Bukhori ).

Penjelasan Hadis 1
Analisis Sanad
                Para mufassir yang yakin bahwasannya Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam membangun keyakinannya tersebut berdasarkan beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Akan tetapi, misalnya Riffat Hasan (yang menolak), menyatakan bahwa semua hadis-hadis tersebut dinyatakan dla’if karena dalam pandangannya, dalam sanad hadis tersebut terdapat beberapa Rawi yang dianggap tidak tsiqah, yaitu Abu Zinad, Maisarah al-Asyja’i, Haramalah dan Zaidah. Riffat mendasarkan penilaiannya itu kepada adz-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal fi Naqd ar-Rijal.
                Menurut hasil penelitian ulang dari penulis, perawi-perawi yang dianggap dla’if oleh Riffat, sebenarnya sama sekali tidak pernah dinilai dla’if oleh adz-Dzahabi, sebagaimana pengakuan Riffat. Berikut ini penjelasan mengenai masing-masing dari mereka:
                Pertama, ada tiga nama Zaidah yang dinilai dla’if oleh al-Dzahabi, mereka adalah (1) Zaidah bin Salim yang meriwayatkan dari ‘Imran bin ‘Umair, (2) Zaidah bin Abi Riqad yang meriwayatkan dari Ziyad an-Numairi, dan (3) Zaidah lain yang meriwayatkan dari Sa’ad. Adapun nama Zaidah yang terakhir ini telah dinilai dla’if oleh al-Bukhari sendiri, ini berarti tidak mungkin Bukhari memakai riwayat tersebut yang menurutnya dianggap dla’if. Dengan demikian, nama Zaidah yang dianggap dla’if oleh al-Dzahabi bukanlah Zaidah yang meriwayatkan hadis dari Maisarah sebagaimana yang terdapat dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim.
                Kedua, Zaidah yang meriwayatkan dari Maisarah adalah bernama Zaidah bin Qudamah al-Tsaqafi Abu al-Shalah al-Kufi, ia adalah orang yang tsiqah, mempunyai murid Ibnu Mubarak, Abu Usamah dan Husain ibnu Ali. Adapun Maisarah yang dinilai dla’if oleh al-Dzahabi adalah Maisarah bin ‘Abd Rabbih al-Farisi, seorang pemalsu hadis. Dia meriwaytakan hadis dari Laits bin Abi Sulaim, Ibnu Juraji, Musa bin Ubaidahdan al-Auza’I. sedangkan murid-murid Maisarah bin Abd Rabbih al-Farisi sendiri adalah Syu’aib bin Harb, Yahya bin Ghilan, dll. Adapun Maisarah yang terdapat dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim adalah bernama Maisarah bin ‘Imarah al-Asyja’i al-Kufi, bukan orang yang dianggap dla’if oleh al-Dzahabi.[3]
                Ketiga, nama Abu Zinad, yang terdapat dalam sanad Bukhari dan Muslim adalah Abdullah bin Zakwan yang oleh al-Dzahabi sendiri dinilai sebagai seorang yang tsiqah syahir (orang yang terkenal terpercaya). Mengapa tsiqah syahir termasuk derajat yang kemudian dipahami oleh Riffat menjadi dla’if? Padahal dalam ilmu Jarh wa at-Ta’dil gelar tsiqah syahir termasuk derajat yang tinggi, dibawah yang tertinngi. Begitupula dengan Harmalah bin Yahya, nama lengkapnya adalah Haramalah bin Yahya bin Abdillah bin Imran Abu Hafs at-Taji al-Mishri, Harmalah bin Yahya ini, oleh al-Dzahabi tidak dianggap dla’if, bahkan dinilai Ahadu al-A’immah ats-Tsiqat (salah seorang imam yang terpercaya). Mengapa Riffat menilainya sebagai gahiru tsiqah (tidak terpercaya)?
                Dengan demikian, dapat disimpulkan, keempat perawi, yaitu Zaidah, Maisarah al-Asyja’i, Abu Zinad dan Harmalah bin Yahya yang dinilai dla’if oleh Riffat Hassan adalah tidak terbukti. Riffat telah keliru dan kurang cermat dalam melakukan kritik sanad. Berarti, hadis mengenai penciptaan perempuan riwayat Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Abu Hurairah ditinjau dari segi sanad-nya adalah tetap shahih.

Analisis Matan
                Hadistentangpenciptaan Hawa dari tulang rusuk memilikimatan yang berbeda-beda. Secara garis besar, matan hadis yang berbeda-beda memiliki dua arti jika dimaknai secara tekstual, yaitu perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau perempuan seperti tulang rusuk-sulit untuk ditentukan mana yang lebih kuat (rajih) karena sanadnya sama-sama sahih dan sama kuatnya.
                Bagaimana dengan isi redaksi hadis tersebut? Dalam metodologi kritik matn (an-Naqd al-Dakhili), al-Adlabi, salah seorang tokoh ahli Hadis telah memberikan kriteria mengenai matn yang dinilai dla’if, yaitu:
(1)  bertentangan dengan al-Qur’an
(2)  bertentangan dengan rasionalitas akal sehat
(3)  bertentangan dengan sejarah, dan
(4)  susunannya tidak menunjukkan ciri-ciri sebagai sabda kenabian.
                Menurut penulis, hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tidaklah bertentangan dengan al-Qur’an, akal sehat, bila difahami secara metaforis (majazi).[4]
                 Secara majazi, hadis tersebut membawa pesan moral agar kaum lelaki dapat bersikap bijaksana ketika menghadapi perempuan, karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan perempuan yang tidak sama dengan lelaki, dimana jika hal itu tidak disadari akan dapat mengantarkan kaum lelaki bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu merubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
                Pesan utama hadis itu adalah bagaimana seharusnya dan sebaiknya para suami memperlakukan istrinya, terutama mengenai metode memperbaiki kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan oleh istri. Kata Rasulullah memesankan, laki-laki (suami) harus mewasiatkan kepada dirinya sendiri untuk selalu berbuat baik kepada istrinya. Apabila ingin meluruskan kesalahan istri, luruskanlah dengan bijaksana, jangan dengan kasar dan keras sehingga mengakibatkan perceraian, atau jangan pula dibiarkan saja istri bersalah. Kemudian Rasulullah memanfaatkan penciptaan perempuan (Hawa) dari tulang rusuk yang bengkok untuk menjelaskan bahwa betapa laki-laki (suami) harus hati-hati dan bijaksana meluruskan kesalahan-kesalahan perempuan. Karena meluruskan kesalahan perempuan ibarat meluruskan tulang yang bengkok, kalau tidak hati-hati dan bijaksana bisa menyebabkan tulang itu patah. Menurut Ibnu Hajar, mulut perempuan ibarat bagian atas tulang rusuk yang paling bengkok. Kalau suami tidak pandai-pandai menghadapi mulut istri (tentu tidak semua istri seperti itu) tentu bisa menyebabkan perceraian. Dalam hadis lain disebutkan secara eksplisit bahwa yang dimaksud dengan patahnya tulang itu adalah perceraian.[5]
                Jika dalam memahami hadis tersebut terlalu tekstualis, akan menimbulkan asumsi-asumsi misogyny terhadap perempuan, seharusnya pun perlu memahami ideal moral dari hadis tersebut, sehingga tidak terjebak dibalik ungkapan legal formalnya yang ada dalam bingkai teks hadis tersebut.

Pandangan Ulama tentang Matan Hadis
                Mengenai hadis yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk-karena merupakan hadis Ahad (walaupun sanadnya sahih)-pada ulama dan sarjana masih berbeda pendapat mengenai keotentikan hadis tersebut sebagai sabda Nabi SAW. Apabila dicermati, secara umum mereka terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang menganggap hadis tersebut shahih baik sanad, maupun matannya, sehingga menerimanya sebagai sabda Nabi, dan kedua kelompok yang berpendapat bahwa matan hadis tersebut tidak sahih sehingga harus ditolak.
                kelompok yang menerima hadis, terbagi menjadi dua pandangan. Pandangan pertama, memahami hadis tersebut secara tekstual, sehingga menurut mereka perempuan (Hawa) benar-benar diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Hadis ini bahkan dijadikan sebagai argumen untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran tentang awal penciptaan manusia, khususnya an-Nisa’ ayat 1:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً  وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ  إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا  ﴿النساء:١﴾

               “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”[6]

Dalam menafsirkan kata nafs wahidah dalam ayat tersebut, mereka mengartikannya dengan Adam, dan kata zaujaha dengan Hawwa. Kemudian sesuai informasi hadis diatas yang dipahami secara tekstual, mereka berpendapat bahwa penciptaan Hawwa tersebut adalah dari tulang rusuk Adam.
                 Ketika menafsirkan hadis nabi tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk (yang bengkok), misalnya, Syeikh Athiyah Shaqar menyatakan bahwa “ Yang dimaksud dengan tulang bagian atas yang bengkok adalah akal dan pikirannya perempuan.”
                Berbeda dengan pandangan mayoritas mufassir, Riffat Hassan memahami bahwa perempuan (Hawa) itu diciptakan bukan dari tulang rusuk Adam, melainkan dari nafs wahidah yang oleh Riffat sendiri ditafsirkan dengan a single source (sumber yang satu). Asumsi dasar yang dibangun Riffat adalah, jika perempuan (Hawa) itu berasal dari Adam, berarti secara ontologis maupun filosopis perempuan itu hanya derivasi dari laki-laki dan berarti pula perempuan tidak setara dengan laki-laki. Sebagai implikasinya, Riffat kemudian menolak argumentasi jumhur ulama dan juga hadis yang dijadikan landasan mereka.




Analisis Makna Hadis.

                Dalam teks hadis yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, tidak dijelaskan siapa perempuan yang dimaksud dan diciptakan dari tulang rusuk siapa. Namun, teks hadis inilah yang berkembang di masyarakat, bahkan mereka memberikan penafsiran lebih lanjut bahwa perempuan yang dimaksud dalam teks hadis itu adalah perempuan pertama, yaitu Hawa, dan dia diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang merupakan manusia pertama. Apalagi ditambah dengan matan hadis yang menggunakan kata “perempuan” dalam bentuk plural “an-nisa”, yang berarti seluruh kaum perempuan, tidak hanya perempuan pertama (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk. Secara tekstual, hadis ini bertentangan dengan ayat-ayat mengenai proses reproduksi kejadian manusia.
                Apabila dicermati konteks hadis-hadis ini sebenarnya berisi anjuran, atau bahkan perintah Nabi kepada laki-laki pada waktu itu supaya saling menasehati satu sama lain untuk berbuat baik kepada istri-istri mereka atau kaum perempuan secara umum.[7]
                Sabda Nabi tersebut hanya ditujukan kepada kaum laki-laki, ini sesuai dengan konteks masyarakat Arab ketika itu.Sabda Nabi ini secara implisit menunjukkan bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan ketika itu (bahkan sampai dengan sekarang) sangat kuat dan kaum perempuan tersubordinasi, bahkan dapat dikatakan dalam keadaan tertindas sehingga Nabi merasa perlu untuk memerintahkan kaum laki-laki supaya memandang perempuan sebagai mitra yang sejajar. Nabi kemudian berusaha merombak budaya semacam itu dan berupaya meningkatkan derajat dan martabat kaum perempuan dengan mengibaratkan perempuan seperti tulang rusuk yang tidaklah dapat diubah-ubah seenaknya mengikuti kemauan laki-laki. Dengan tanpa menggunakan kekerasan laki-laki justru akan dapat saling mengisi dan hidup berdampingan secara baik dengan perempuan.
                Pandangan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa para penulis kitab hadis menempatkan hadis-hadis ini pada pembahasan mengenai anjuran untuk berbuat baik kepada istri, bukan pada pembahasan mengenai awal penciptaan manusia. Al-Bukhari, disamping pada kitab al-hadis al-anbiya’ (yang hanya satu hadis), mnempatkan hadis-hadis ini pada kitab an-nikah, bab al-mudarah ma’a an-nisa’ (bab berbuat sopan dan lemah lembut kepada kaum perempuan) dan bab al-wusat bi an-nisa (bab wasiat mengenai kaum perempuan), sama halnya dengan An-Nawawi dalam syarah Shahih Muslimnya. Sementara itu asy-Syaukani menempatkan pada bab ihsan al-isyrah wa bayan haqq az-zaujain (bab berlaku baik dalam pergaulan (suami isti).
                Secara normatif, hadis tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk sama sekali tidak mengandung unsure misoginik. Sekalipun diciptakan secara berbeda, esensi kemanusiaan masing-masing tidak berbeda. Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk, Isa yang diciptakan hanya lewat seorang ibu, dan manusia lainnya diciptakan dengan proses reproduksi, semuanya berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Dengan demikian secara esensi semua manusia berasal dari asal ysang sama. Tapi secara histories, bisa saja hadis ini dipahami lepas dari konteksnya, sehingga terkesan melecehkan kaum perempuan atau memojokkan kaum perempuan yang diidentikkan dengan kebengkokan.[8]

Penjelasan Hadis ke 2
Dalam kitab syarah abi dawud oleh badruddin al aini disebutkan:
Sabda Rasul " syaqoiqnya lelaki " artinya adalah sepadan mereka dan semisal mereka dalam akhlak dan watak, seolah-olah perempuan adalah pecahan dari lelaki, dan karena sesungguhnya ibu hawa diciptakan dari Nabi Adam.

Dalam kitab tuhfatul ahwadzi syarah sunan turmudzi olae almubarokfuri disebutkan:
sabda rasul " perempuan adalah syaqoiqnya (separuhnya) laki2" ini adalah jumlah permulaan yg mengandung makna ta'lil/alasan. ibnu atsir berkata " artinya adalah sepadan mereka dan semisal mereka seolah2 perempuan adalah pecahan dari lelaki, dan karena sesungguhnya ibu hawa diciptakan dari nabi adam alaihimas salam. syaqiqnya lelaki adalah saudaranya seayah dan seibu, karena syaqq adalah keturunananya dari keturunannya, maksudnya adalah wajib mandi bagi seorang perempuan sebab melihat sesuatu yg basah (mani) setelah bangun tidur seperti wajibnya lelaki. selesai.
Asbabul Wurud
            Aisyah menceritakan: Rasulullah ditanya orang mengenai seorang laki-laki yang melihat pakaian atau celananya basah setelah tidur, tapi dia tidak ingat apakah dia mimpi berhubungan seks atau tidak. Beliau menetapkan orang itu harus mandi wajib. Kemudian beliau ditanya pula tetang laki-laki yang bermimpi(seks) tapi tidak melihat ada basah pada pakaiannya. Maka beliau memjelaskan dia tidak wajib mandi. Ummu Sulaim bertanya tentang hal yang sama bila dialami oleh seorang perempuan. Nabi menjawab bahwa perempuan itu wajib mandi (bila melihat basahan) dan tidak wajib mandi (bila tidak melihat basahan). Nabi menjelaskan karena “wanita itu belahan laki-laki”. Hadis yang sama juga diriwayatkan dari Ummu Sulaim yang bertanya pada nabi mengenai perempuan yang melihat seperti yang dilihat oleh laki-laki dalam mimpinya. Nabi menjelaskan bila dia melihat air (basahan) hendaklah ia mandi. Ummu Sulaim bertanya lagi: apakah perempuan ada air? Nabi menjawab: benar, karena perempuan belahan laki-laki. Riwayat Ibnu Qoththan dari Aisyah, sanadnya Dhaif, sedangkan riwayat dari anas, sanatnya shahih.[9]

Pemahaman Hadis

Laki-laki dan wanita adalah dua jenis mahkluk yang terlihat pada lahirnya berlawanan, tetapi kalau dicermati dengan seksama maka akan dilihat bahwa keduanya bagaikan tangan kanan dan tangan kiri. Tangan kanan tidak akan dapat melakukan pekerjaannya dengan sempurna tanpa dibantu oleh tangan kiri, begitu juga sebaliknya.
Laki-laki memiliki pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh wanita, begitu juga wanita, memiliki beberapa pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan oleh laki-laki dan untuk kesejahteraan bersama keduanya harus saling tolong menolong. Oleh karena itu kedua makhluk ini tidak boleh berpisah, bersifat nafsi-nafsi dan tidak perduli satu sama lain.

a.     Laki-laki
Laki-laki adalah satu jenis manusia yang kebanyakannya bertenaga kuat, berkemauan keras,bersifat gagah, berani, sanggup menanggung berbagai macam kepahitan dan kepayahan hidup, suka menolong makhluk apa saja yang teraniaya dan rajin mencari nafkah untuk kebutuhan anak dan istrinya.
Dengan kecerdasan akalnya ia dapat menaklukkan segala isi dunia, benda-benda keras dapat dilunakkan, binatang buas dapat ditangkap dan dijinakkan, dsb. Disamping sifat utama dan mulia laki-laki juga ada padanya sifat jahat, kejam, aniaya,menipu, dan mengecoh. Semua sifat ini tidak dapat dihindari kecuali dengan menyucikan diri dengan didikan sejati, didikan Islam.
b.     Wanita
Wanita adalah salah satu jenis manusia yang cantik rupa, lembut bagunannya dan menarik hati laki-laki, wanita menjadi perhiasan dunia, tempat kesenangan laki-laki bahkan wanita adalah salah satu karunia Tuhan yang tidak ternilai harganya bagi laki-laki.
Dengan kelebihan-kelebihannya itu wanita menjadi tempat penghibur laki-laki saat susah dan duka, bahkan ada kalanya wanita menjadi penguasa atas hati laki-laki sehingga laki-laki akan menuruti keinginannya.
Wanita hidup disamping laki-laki, tabiat wanita lemah lembut, halus, mudah tertipu dan sering teraniaya karena percaya pada apa yang dilihatnya. Juga ada satu sifat yang rata-rata dimiliki oleh wanita yaitu riya, sifat ingin dipuji oleh karena itu kebanyakan suka menampakkan kecantikan dan perhiasan.

c.      Laki-laki adalah pelindung bagi Wanita
Dengan perantara nikah yang dibenarkan oleh agama Islam, seorang laki-laki dapat memperisteri seorang wanita, sekaligus menjadi penolong dalam waktu susah dan senang dan dalam waktu lapang dan sempit. Keduanya hidup saling mengasihi,sama-sama menikmati kesenangan dan sama-sama menanggung kesusahan, memelihara pergaulan dunia dan agama.Seperti yang disabdakan Nabi saw:
Sesungguhnya wanita-wanita itu adalah rekan dari laki-laki

Juga firman Allah swt:
“merekaadalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka”.
Imam alKhathabi menjelaskan hadits ini dengan mengatakan bahwa wanita adalah pendamping dan representasi pria, lahir dan batin, bahkan seakan bagian yang tak terpisahkan dari tubuh lelaki itu sendiri.
Lantaran hubungan suami-isteri itu terlalu dekat sehingga Allah mengumpamakan sebagai pakaian yang melekat pada badan. Laki-laki menjaga dan memelihara diri wanita dari segala bahaya yang akan menimpa dirinya, menyediakan tempat tinggal dan memberi nafkah belanja dan pakaian. Boleh dikatakan bahwa seorang suami adalah pengganti orangtuanya, tempat wanita bertanya, tempat menyerahkan segala urusan, tempat berlindung dan meminta pertolongan.
Pabila keduanya berjalan menurut peraturan yang ditetapkan oleh agama, saling mencintai, saling percaya dan ikhlas maka rumah tangga akan berjalan dengan baik.
Jika wanita adalah belahan atau bandingan dan semisal laki-laki berarti wanita pun mempunyai peran nyata dalam kehidupan ini.Keduanya saling melengkapi. Apa yang tidak ada pada wanita maka ada pada laki-laki, demikian pula sebaliknya. Namun yang sangat disesalkan wanita kini menjadi korban jargon “emansipasi” dan “kebebasan” yang tidak terbatas telah membawa mereka menyongsong malapetaka dan bencana dunia.
Dikarenakan tuntutan emansipasi yang kelewatan dan kebebasan yang terlalu bebas sehingga wanita shalihah yang menjadi sebaik-baik perhiasan dunia akhirnya menjadi sampah dunia karena hanya menyebarkan fitnah bagi laki-laki dengan mengumbar aurat dengan alasan kebebasan. Sehingga ada ungkapan yang menyatakan bahwa “rusak atau tidaknya sebuah negara dilihat dari kaum wanitanya”.

Penjelasan Hadis 3
Asbab al-Wurud Hadis
Da’wah Islamiyah yang dilakukan Rosulullah ke berbagai daerah dan negara di antaranya dilakukan dengan mengirimkan surat kepada pembesar-pembesar kerajaan. Salah satu kerajaan yang mendapatkan surat dari Nabi adalah Kisra Persia. Berikut kisahnya: ” Rasulullah mengutus ’Abdullah bin Hudzafah as-Sami untuk mengirimkan surat kepada pembesar Bahrain. Setelah itu pembesar Bahrain menyampaikan surat tersebut kepada Kisra. Setelah membaca surat dari Rosulullah, ia menolak dan bahkan menyobek-nyobek surat Rosul. Peristiwa ini didengar Rosulullah, kemudian beliau bersabda:”Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu”.
Selang beberapa waktu kemudian, terjadi suksesi dan pertumpahan darah yang menyebabkan kematian sang raja. Kerajaan tersebut mengalami kekacauan selama kurang lebih tiga tahun. Pada akhirnya, diangkatlah Buwaran binti Syairawaih bi Kisra (cucu Kisra) sebagai ratu karena ayah dan saudara laki-lakinya terbunuh dalam peristiwa tersebut. Hal ini terjadi sekitar tahun 9 H. Mendengar hal ini, Rosulullah bersabda: ”Tidak akan beruntung suatu kaum yang diperintah perempuan”.

Kandungan Hadis
Hadis tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita, tidak akan mendapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ini, menurut al-Qâdhi Abû Bakr ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para ulama.
Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin. Sedangkan Abu Hanifah seorang perempuan dibolehkan menjadi hakim, tetapi tidak boleh menjadi hakim dalam perkara pidana.[10]
Imam Al Baghowi berpendapat bahwa seorang perempuan tidak patut menjadi imam,kepala negara dan qodli. Dengan alasan seorang imam wajib baginya keluar dari istana untuk mengatur dan melaksanakan jihad. Sedangkan qodli harus keluar rumah dalam memutuskan perkara. Padahal dalam hal ini perempuan dianggap aurot yang mana pekerjaan semacam itu tidak pas,layak dan patut baginya karena perempuan lemah dalam beberapa pekerjaan. Adapun Ibnu jarir At-tobari membolehkan wanita menjadi pemimpin secara mutlak.
Begitu juga Yusuf Al-Qordhawi memperbolehkan wanita dalam berpolitik. Beliau menjelaskankan bahwa penafsiran terhadap surat an-nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika ditinjau tafsir surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidiknya tatkala dia melakukan penyimpangan. “Karena Allah telah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Yakni, karena kaum laki-laki itu lebih unggul dan lebih baik daripada wanita. Oleh karena itu kenabian hanya diberikan kepada kaum laki-laki.[11]
Wanita yang menduduki posisi jabatan kepala negara tidaklah bertentangan dengan syariah karena Al-Quran memuji wanita yang menempati posisi ini dalam sejumlah ayat tentang Ratu Balqis dari Saba. Dan bahwasanya apabila hal itu bertentangan dengan syariah, maka niscaya Al-Quran akan menjelaskan hal tersebut dalam kisah ini. Adapun tentang sabda Nabi bahwa “Suatu kaum tidak akan berjaya apabila diperintah oleh wanita” Tantawi berkata: bahwa hadits ini khusus untuk peristiwa tertentu yakni kerajaan Farsi dan Nabi tidak menyebutnya secara umum. Oleh karena itu, maka wanita boleh menduduki jabatan sebagai kepala negara, hakim, menteri, duta besar, dan menjadi anggota lembaga legislatif. Hanya saja perempuan tidak boleh menduduki jabatan Syaikh Al-Azhar karena jabatan ini khusus bagi laki-laki saja karena ia berkewajiban menjadi imam shalat yang secara syariah tidak boleh bagi wanita.
Pendapat ini disetujui oleh Yusuf Qardhawi. Ia menegaskan bahwa perempuan berhak menduduki jabatan kepala negara (riasah daulah), mufti, anggota parlemen, hak memilih dan dipilih atau posisi apapun dalam pemerintahan ataupun bekerja di sektor swasta karena sikap Islam dalam soal ini jelas bahwa wanita itu memiliki kemampuan sempurna (tamam al ahliyah).[12]Menurut Qaradawi tidak ada satupun nash Quran dan hadits  yang melarang wanita untuk menduduki jabatan apapun dalam pemerintahan. Namun, ia mengingatkan bahwa wanita yang bekerja di luar rumah harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariah seperti a) tidak boleh ada khalwat (berduaan dalam ruangan tertutup) dengan lawan jenis bukan mahram, 2) tidak boleh melupakan tugas utamanya sebagai seorang ibu yang mendidik anak-anaknya, dan 3) harus tetap menjaga perilaku islami dalam berpakaian, berkata, berperilaku, dan lain-lain.
Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab, mufti Mesir saat ini, termasuk di antara ulama berpengaruh yang membolehkan wanita menjadi kepala negara dan jabatan tinggi apapun seperti hakim, menteri, anggota DPR, dan lain-lain. Namun, ia sepakat dengan Yusuf Qardhawi bahwa kedudukan Al-Imamah Al-Udzma yang membawahi seluruh umat Islam dunia harus dipegang oleh laki-laki karena salah satu tugasnya adalah menjadi imam shalat.
Ali Jumah menyatakan bahwa kepemimpinan wanita dalam berbagai posisi sudah sering terjadi dalam sejarah Islam. Tak kurang dari 90 perempuan yang pernah menjabat sebagai hakim dan kepala daerah terutama di era Khilafah Utsmaniyah. Bagi Jumah, keputusan wanita untuk emenempati jabatan publik adalah keputusan pribadi antara dirinya dan suaminya.



















[1].Dr. Hj Ummi Sumbulah M.ag, Studi Al Quran dan Hadist, (Cet. 1, Malang: Uin Press, 2014), h. 271.
[2]H.R. Al Bukhori
[3].Sumbulah M.ag, Studi, h. 272
[4].Sumbulah M.ag, Studi, h. 273
[5].Hussein Muhammad, Islam Ramah Perempuan, (Yogyakarta: LKiS, 2004) h. 183-184.
[6] Q.S. An-Nisa : 1
[8]Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan Bias Laki-laki dalam Penafsiran,(Yogyakarta:LkiS, 2003), h. 8-9

[9]Ibnu Hamzah al Husaini al Hanafi ad damsyiqi, Asbabul Wurud, Terj. H. M. Suwarta Wijaya, B.AdanDrs. Zafrullah Salim, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 114

[10]Taqiyuddin Abil Fath, Ikhkamul Akhkam, Kitabul Aiman wan-Nadar, Berut, Darul Alamiyyah,2008 hlm. 139.
[11]Yusuf Al Qardhawi,  Meluruskan Dikotomi Agama & Politik “Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme”, Jakarta,  Pustaka Al-Kautsar, 2008, hlm 126.
[12]Fatwa Qardawi pada suatu program “Fiqh al-Hayat” yang diadakan tanggal 29 Agustus 2009. Fatwa serupa juga ditulis di kitabnya Fatawa Muashirah. Juga dimuat di situs resminya: http://goo.gl/P3k8Nt

No comments: