Labels

5 Mar 2017

Hukum Jual Beli Dalam Islam

    Jual beli merupakan bagian dari taawun.Bagi pembeli menolong penjual yang membutuhkan uang sedangkan penjual menolong pembeli yang membutuhkan barang.Karenanya , jual beli merupakan perbuatan yang mulia dan pelakunya mendapat keridhaan Allah.
Jual beli (al-bay’) secara bahasa artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti.Menurut Sayyid Sabiq jual beli adalah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan.

Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya.Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan hablumminallah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan hablumminannas.Nah, hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah.Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya.Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja.Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.

A.                Definisi Jual Beli

Jual beli dalam istilah fiqh disebut (al-bai’), secara etimologi artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti.[1]Ba’i dapat pula diartikan mengambil sesuatu dan memberi sesuatu meskipun dalam bentuk ’ariyah (sewa) dan wadi’ah (penitipan).Jual beli juga memiliki kata lainseperti al-mubadalah, al-tijarah, danasy-syira’. Berkenaan dengan kata al-tijarah dalam Al-Qur’an sebagaimana termaktub dalam surat Fathir ayat 29, sebagai berikut :
يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ
“…mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,”

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan oleh ulama[2], antara lain :
1.    Menurut Sayyid Sabiq
مبا دلة مال بمال على سبيل التراضى, او نقل ملك بعوض على الوجه المأذون فيه
“Jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan”
Dalam definisi di atas yang dimaksud “dapat dibenarkan “agar dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang.
2.    Menurut ulama Hanafiyah:
مبا دلة مال بمال على وجه مخصوص
“Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (diperbolehkan)”
Dalam definisi di atas yang dimaksud “cara yang khusus” ialah melalui ijab dan Kabul, atau juga boleh melalui  saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli
3.    Menurut Imam Nawawi :
مبا دلة مال بمال تمليكا
“Pertukaran harta (benda) dengan harta dalam bentuk pemindahan milik”

4.    Menurut Ibnu Qudamah :

مبا دلة مال بمال تمليكا وتملكا
“Pertukaran harta (benda) dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan”
Dalam definisi di atas yang ditekankan kata “milik dan pemilikan” , karena ada juga tukar-menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki , seperti sewa-menyewa.
Dari segi tashrif berasal dari kata ba’ahu (dia menjualnya).Mashdarnya ba’iatan dan mabi’an.Ism maf’ul-nya mabyu’ atau mabi’ (sesuatu yang dijual).Al biya’ah artinya komoditi.Ibta’tuhu artinya aku menawarkan untuk menjualnya.Ibta’ahu artinya aku membelinya.[3]

B.                 Landasan Syara’dan Hukum Jual Beli
1.    Landasan Syara’
Jual beli mempunyai landasan yang kuat dalam al-qur’an, sunnah rasulullah, dan Ijma’.
a.       Al-Qur’an antara lain :


1)      Surat Al-Baqarah ayat 275

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ 
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba .”
2)      Surat An-Nisa’ ayat 29
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ

“ … kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu…”

3)      Surat Al-Baqarah ayat 198
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْۚ 
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”
b.         As-Sunnah antara lain :
1)      Hadis Rasulullah SAW dari al-Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn Hibban :
و إنما البيع عن تراضعمل
sesungguhnya jual beli itu atas dasar ridha” .
2)   Hadis yang diriwayatkan oleh Rifa’I bn Rafi’ :
سئل النبي: أي الكسب أطيب؟ فقال : عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور
Ketika ditanya tentang usaha apa yang paling utama, Rasulullah menjawab : “Usaha seseorang dengan tangannya sendiri, dan setiap jual beli yang mabrur”.

Jual beli yang mabrur adalah setiap jual beli yang tidak ada dusta dan khianat, sedangkan dusta itu adalah penyamaran dalam barang yang dijual, danpenyamaran itu adalah menyembunyikan aibbarang dari penglihatan pembeli. Adapun makna khianat ia lebih umum dari itu sebab  selain menyamarkan bentuk barangyang dijual, sifat atau hal-hal luar seperti dia menyifatkan dengan sifat yang tidak benar atau memberi tahu harga yang dusta.[4]
c.         Ijma’
Ulama’ telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.[5]
2.    Hukum Jual Beli
Para ulama fiqih menyatakan hukum asal jual beli yaitu mubah (boleh).Tetapi, dalam kondisi dan situasi tertentu, Imam Al Syatibi, pakar fiqih Maliki, hukumnya boleh berubah wajib. Imam As Syatibi memberi contoh ketika terjadi praktik ihtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik). Apabila sesorang melakukan ihtikar dan mengakibtakan melonjkanya harga barang yang ditimbun dan  disimpan itu, maka menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga. Dalam hal ini menurutnya pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah.[6]
           
C.                Rukun Jual Beli dan Syarat Sah Jual Beli
1.    Rukun Jual Beli
Rukun adalah hal-hal yang harus ada untuk terwujudnya suatu akad dari sisi luar. Adapun rukun jual beli antara lain :
a.         Pihak yang berakad (aqidain).
Dua pihak yang melakukan transaksi (penjual & pembeli).Mereka inilah dua pihak yang melakukan akad (transaksi) karena transaksi tidak diakui legalitasnya tanpa duapihak ini.
b.         Yang diakadkan (ma’qud ‘alaih). Harta yang diperjualbelikan.
Tidak boleh menjual barang yang tidak mampu diserahkan seperti menjual burung di udara, ikan di dalam air, unta yang lari, kuda yang hilang atau harta yang dirampas, sesuai hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh : “Nabi melarang menjual barang yang ada unsur menipu”.
c.         Lafal (Sighat)
Sighat adalah ijab dan qabul.Ijab diambil dari kata aujaba yang artinya meletakkan dari pihak penjual yaitu pemberian hak milik, dan qabul yaitu orang yang menerima hak milik.
Jika penjual berkata: “bi’tuka” (saya jual kepadamu) buku ini dengan ini dan ini, maka ini adalah ijab , dan ketika pihak lain berkata qabiltu (saya terima), maka inilah qabul.Dan jika pembeli berkata : juallah buku ini kepadaku dengan haraga begini. Lalu penjual berkata : saya jual kepadamu. Maka yang pertama adalah qabul dan yang kedua adalah ijab.Jadi dalam akad jual beli penjual selalu menjadi yang ber-ijab dan pembeli menjadi penerima baik diawalkan atau diakhirkan lafalnya.[7]
Berikut pengertian lebih rinci mengenai ijab qabul menurut para ulama :
1)        Pengertian ijab menurut Hanafiah
إثبات الفعل الخاص الدال على الرضا الواقع اولاً من احد المتعاقدين
“menetapkan perbuatan yang khusus yang menunjukan kerelaan, yang timbul pertama dari salah satu pihak yang melakukan akad”[8]
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ijab  adalah pernyataan yang disampaikan pertama oleh satu pihak yang menunjukan kerelaan, baik dinyatakan oleh si penjual, maupun si pembeli.
Adapun pengertian qabul adalah
ما ذُكر ثانياً من كلامِ أحدِ المتعاقدين
“pernyataan yang disebutkan kedua dari pembicara salah satu pihak yang melakukan akad”
Dari definisi ijab dan qabul menurut Hanafiah tersebut dapat dikemukakan bahwa penetapan nama ijab dan nama qabul tergantung kepada siapa yang lebih dahulu menyatakan. Apabila yang menyatakan terlebih dahulu si penjual, misalnya ”saya jual barang ini kepada Anda dengan harga Rp 50.000” maka pernyataan penjual itulah yang dinamakan ijab, sedangkan pernyataan pembeli “saya terima beli atau saya beli barang yang anda jual..” adalah qabul. Sebaliknya, apabila yang menyatakan lebih dahulu si pembeli maka pernyataan pembeli itulah ijab, sedangkan pernyataan penjual adalah qabul.
2)        Menurut jumhur ulama , selain Hanafiah, pengertian ijab adalah sebagai berikut
الايجاب هو ما صدر ممنْ منهُ التمليكُ وإنْ جاء متأخراً
“Ijab adalah pernyataan yang timbul dari orang  yang memberikan kepemilikan, meskipun keluarnya belakangan”
Sedangkan pengertian qabul adalah sebagai berikut.
والقبول هو ما صدرِ ممنْ يصيرُ لهُ الملكُ وإن صدرِ أولآً
“Qabul adalah pernyataan yang timbul dari orang yang akan menerima hak milik meskipun keluarnya pertama.[9]
Dari pengertian ijab dan qabul yang dikemukakan oleh jumhur ulama tersebut dapat dipahami bahwa penentuan ijab dan qabul bukan dilihat dari siapa yang lebih dahulu menyatakan, melainkan dari siapa yang memiliki dan siapa yang akan memiliki. Dalam konteks jual beli, yang memiliki barang adalah penjual, sedangkan yang akan memilikinya adalah pembeli. Dengan demikian, pernyataan yang dikeluarkan oleh penjual adalah ijab, meskipun datangnya belakangan, sedangkan pernyataan yang dikeluarkan oleh pembeli adalah qabul, meskipun dinyatakan pertama kali.[10]

2.    Syarat Sah Jual Beli
Fuqaha’ berbeda pendapat dalam menetapkan syarat sah jual beli, adapun syarat sah jual beli , antara lain :
a.       Syarat Kelangsungan Jual Beli (Syarat Nafadz)
Untuk kelangsungan jual beli diperlukan dua syarat sebagai berikut.
Kepemilikan atau kekuasaan
Pengertian kepemilikan atau hak milik adalah menguasai sesuatu dan mampu men-tasarru-katanya sendiri, karena tidak ada penghalang yang ditetapkan oleh syara’.Sedangkan wilayah atau kekuasaan adalah kewenangan yang diberikan oleh syara’ sehingga adanya kewenengan itu maka akad yang dilakukanya hukumnya sah dan dapat dilasungkan.Kekuasaan itu adakalanya asli, yakni orag yang bersangkutan menguasai 
b.      Syarat Terjadinya Aqad (In’qad)
Syarat in’qad adalah syarat harus terpenuhi agar akad jual beli dipandang sah menurut syara’.Apabila syarat ini tidak terpenuhi, maka akad jual beli menjadi batal.Di kalangan ulama tidak ada kesepakatan mengenai syarat in’qad.[11]
Hanafiah mengemukakan empat macam syarat untuk keabsahan jual beli :
1)   Syarat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang melakukan akad);
2)   Syarat berkaitan dengan akad itu sendiri;
3)   Syarat berkaitan dengan tempat akad;
4)   Syarat berkaitan dengan objek akad (ma’qud ‘alaih)

c.         syarat sahnya jual beli berkenaan denganbarang yang ditransaksikan(ma’qud ‘alaih), ada enam yaitu :
1)        Barang yang ditransaksikan harus ada saat terjadi transaksi. Fuqaha sepakat bahwa tidak sah jual beli komoditi yang tidak ada pada saat transaksi, seperti menjual buah-buahan yang belum nyata (belum berbuah dan belum jelas baik buruknya karena masih terlalu dini). Demikian pula tidak sah jual beli janin hewan yang masih dalam kandungan induknya (malaqih). Jual beli seperti ini dilarang karena mengandung gharar (penipuan) dan mengandung al-jahalah (tradisi orang jahiliyah)
2)        Barang yang ditransaksikan berupa harta yang bermanfaat. Harta yang dimaksud adalah sesuatu yang menjadi kecenderungan (disukai) oleh tabiat manusia, dapat diberikan dan dapat ditahan, serta bermanfaat. Sesuatu yang tidak bemanfaat tidak ddapat dikategorikan sebagai harta. Kriteria sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai harta dalam syariat islam adalah sesuatu yang boleh dimanfaatkan. Sesuatu yang dilarang pemanfaatannya tidak dikategorikan sebagai harta (mal) seperti bangkai, darah , dsb.
3)        Barang yang ditransaksi menjadi hak milik penjual. Karena itu, tidak sah melakukan transaksi sesuatu yang tidak menjadi hak milik seorang penjual secara penuh saat transaksi  jual beli.
4)        Barang yang ditransaksikan dapat diserahterimakan saat transaksi. Oleh karena itu itu tidak sah menjual unta yang melarikan diri atau burung yang masih terbang di udara. Memperjualbelikan ikan yang masih berada di air juga tidak sah kecuali jika ikan tersebut berada dalam kolam yang jernih sehingga dapat dilihat kondisinya, dan kolam tersebut tidak bersambung langsung ke sungai sehingga bisa menyebabkan ikan tersebut lari ke sungai.
5)      Barang yang diperjualbelikan harus dapat diketahui secara jelas oleh kedua pihak yang melakukan transaksi. Tidak sah menjualbelikan sesuatu yang tidakk dapat dilihat dengan jelas.
6)      Malikiyyah dan Syafiiyah menambah syarat barang yang ditransaksikan yaitu :
·      Dzat (substansi) barang harus suci. Jadi tidak sah menjual babi, anjing, minuman keras, dsb.
·      Barang yang ditransaksikan bukan termasuk barang yang dilarang untuk diperjualbelikan.
·      Jual beli tersebut tidak tergolong perbuatan haram. Seperti memperjualbelikan barang curian, hasil rampasan, atau jual beli karena ada paksaan
d.        syarat yang berkenaan dengan dua pihak yang bertransaksi (muta’aqidain)ada dua :

1)        Aqid harus berakal yakni mumayyiz. Maka tidak sah akad yang dilakukan oleh orang gila, dan anak yang belum berakal (belum mumayyiz).
Hanafiah  dan Malikiyah tidak mensyaratkan ‘aqid harus baligh. Dengan demikian, akad yang dilakukan oleh anak yang mumayyiz (mulai umur tujuh tahun) hukumnya sah.[12]Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah baligh merupakan syarat in’iqad (keabsahan jual beli).
2)        Dua pihak yang bertransaksi harus dengan kemauan sendiri dan bukan paksaan.
3)        Aqid (orang yang melakukan akad) harus berbilang (tidak sendirian).Dengan demikian, akad yang dilakukan oleh satu orang yang mewakili dua pihak hukumnyatidak sah, kecuali apabila dilakukan oleh ayah yang membeli barang dari anaknya yang masih di bawah umur dengan harga pasaran. Hal ini dalam jual beli terdapat dua hak yang berlawanan, yaitu menerima dan menyerahkan. Danmerupakan hal yang mustahil, pada saat yang sama satu orang bertindak sebagai penjual yang menyerahkan barang dan sekaligus menjadi pembeli yang menerima barang.[13]

e.         Syarat Akad (Ijab dan Qabul)
Syarat akad yang sangat penting adalah bahwa qabul harus sesuai dengan ijab, dalam arti pembeli menerima apa yang di-ijab-kan (dinyatakan) oleh penjual. Apabila terdapat perbedaan anatar qabul dan ijab, misalnya pembeli menerima barang yang tidak sesuai dengan yang dinyatakan oleh penjual, maka akad jual beli tidak sah.[14]
f.         Syarat Tempat Akad
Syarat yang berkaitan dengan tempat akad adalah ijab dan qabul harus terjadi dalam satu majelis.Apabila ijab dan qabul berbeda majelisnya, maka akad jual beli tidak sah.

D.                Macam-Macam Jual Beli dan Jual Beli Yang Dilarang
1.    Macam-Macam Jual Beli
a.         Ditinjau dari segi barang dagangan.
1)      Jual beli mutlak. Yaitu jual beli yang tidak membutuhkan batasan. Ini adalah bentuk jual beli paling popular diantara berbagai macam bentuk jual beli lainnya. Dengan jual beli seperti ini, seseorang dapat melakukan tukar menukar (jual beli) dengan uang untuk mendaptkan barang yang dibutuhkan, dan jual beli menjadi berakhir ketika ia pergi.
2)      Jual beli pemesanan (salam). Jual beli sesuatu dengan ciri-ciri tertentu yang akan diserahkan pada waktu tertentu. [15]
3)      Jual beli muqayyadah (barter). Melakukan barter suatu barang dengan barang yang lain, dengan kata lain barter harta benda dengan harta benda selain emas dan perak.
Syarat jual beli muqayyadah :
-             Barter tidak memakai uang
-             Barang yang dibarterkan berupa barang yang dapat dilihat
-             Kontan (tidak ditunda)
-             Tidak mengandung riba
4)      Jual beli saham. Saham adalah surat bukti pemilikan atas sebuah perusahaan yang melakukan penawaran umum dalam nominal atau presentase tertentu. [16]
b.         Ditinjau dari segi penentuan harga
1)      Jual beli musawwamah, yaitu tawar menawar antara penjual dan pembeli terhadap barang dagangan tertentu dan dalam hal penetapan harga. Dalam hal jual beli seperti ini, penjual tidak memasang bandrol barang dagangannya. Seorang yang hendak membeli barang menanyakan harga harganya kepada penjual sehingga keduanya terlibat saling menawar untuk menetapkan harga. Jual beli sepertiini diperbolehkan selama memenuhi syarat jual beli yang telah ditentukan syara’ dan tidak termasuk jual beli yang terlarang.
2)      Disebut juga jual beli dalalah dan munadah . secara etimologi berarti bersaing (tanafus) dalam menambah harga barang dagangan yang ditawarkan untuk dijual.jadi, muzayadah adalah jika seorang penjual menawarkan barang dagangannya dalam pasar (dihadapan para calon pembeli), kemudian para calon pembeli saling bersaing dalam menambah harga, kemudian barang dagangan itu diberikan kepada orang yang paling tinggi dalam memberikan harga.
3)      Jual beli at-taurid atau al-munaqashah .dapat disebut juga tender. Yaitu orang yang hendak membeli mengumumkan kepada orang-orang tentang keinginannya untuk membeli barang dagangan atau melaksanakan suatu proyek agar para penjual atau kontraktor bersaing untuk mengajukan penawaran dengan patokan harga yang lebih murah.

2.    Jual Beli Yang Dilarang
Dalam jual beli yang dilarang tebagi menjadi dua: pertama, jual beli yang dilarang dan hukumnya tidak sah, hal ini dikarenakan syarat dan rukunnya tidak terpenuhi. Kedua, jual beli yang hukummnya sah akan tetapi dilarang, jual beli ini telah memenuhi syarat dan rukun tetapi ada beberapa faktor yang mengahalangi kebolehan dalam proses jual beli
a.         Jual beli yang tidah memenuhi syarat dan rukun
1)   Jual beli yang mengandung riba. Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama Hanafiyah, tetapi batal menurut jumhur ulama’.
2)   Jual beli gharar. Jual beli yang samar dan didalamnya mengandung ketidakjelasan.[17]
3)   Jual beli yang zatnya haram, najis atau tidak diperjualbelikan.
4)   Jual beli bersyarat. Jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat tertentu yang tidak ada kaitannya jual beli da nada unsur merugikan dan dilarang agama.
5)   Jual beli yang menimbulkan kemudharatan. Jual beli yang dilakukan akan menimbulkan kemudharatan, kemaksiatan atau bahkan kemusyrikan seperti jual beli patung, salib , dan buku-buku porno.
6)   Jual beli dilarang karena aniaya. Misal, menjual anak binatang yang masih membutuhkan induknya.
7)   Jual beli muhaqalah. Menjual tanaman yang masih di sawah atau di ladang. Dilarang karena mengandung unsur penipuan dan samar.
8)   Jual beli mukhadarah. Menjual buah-buahan yang masih hijau atau belum siap dipanen karena dalam artian bisa saja jatuh tertiup angina atau layu sebelum diambil oleh pemiliknya.
9)   Jual beli mulamasah. Jual beli secara sentuh menyentuh. Misal, seseorang menyentuh sehelai kain , maka orang yang menyentuh berarti telah membeli kain ini. Ini dilarang karena mengandung penipuan dan merugikan salah satu pihak.
10)    Jual beli muzaabanah , yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering. Seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah sedang ukurannya dengan ditimbang sehingga kan merugikan pemilik padi kering.
b.        Jual beli terlarang karena adanya pihak yang merasa dirugikan
1)      Jual beli dari orang yang masih dalam tawar menawar. Bila dua pihak masih tawar-menawar atas suatu barang terlarang untuk orang lain membeli barang itu sebelum tawar-menawar diputuskan.
2)      Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik karena kelangkaan.
3)      Jual beli barang curian yang telah diketahui.Ibnu Qudamah menyatakan bahwa jika seseorang membeli sesuatu dari orang yang hartanya ada yang haram dan ada yang halal, seperti perampok, pencuri, orang yang dzalim dan rentenir, maka jika ia mengetahui bahwa barang yang ia beli adalah barang halal, maka halal membelinya. Dan juga sebaliknya. Jika tidak mengetahui barang yang ia beli, apakah halal atau haram, maka makruh membelinya karena mungkin saja ia membeli barang haram. Namun demikian jual belinya tetap sah karena ada kemungkinan halal.
4)      Jual beli urbun (uang muka).Yang dimaksud ialah mengambil uang muka secara kontan di awal transaksi jual beli.

E.     Badan Perantara dan Pembatalan dalam Jual Beli
1.    Badan Perantara dalam Jual beli
Pada realiatas yang terjadi dalam jual beli sering kali ada perantara (simsar), ialah seseorang yang menjualkan barang orang lain atas dasar upah dari pemilik barang dengan usaha yang telah dilakukan. Disebut pula dengan maklar.agen, pialang, hal ini sesuai pada hukum yang berlaku. Merekalah yang bertugas sebaga badan perantara baik atas nama dirinya sendiri, nama perseorangan atau perusahaan pemilik barang. Berdagang secara perantara diperbolehkan asalkan tidak menyimpang dari ketentuan Jual beli berdasarkan syari’ah.
2.    Pembatalan dalam Jual beli
               Apabila dalam proses jual beli telah terjadi ketidakcocokan, maka hal ini dapat dibatalkan (iqalah) dan merupakan sunnah jika salah dari pembeli dan penjual memintanya, karena Rasulullah saw. bersabda: “barangsiapa menerima pembatalan jual beli orang muslim, Allah menerima pembatalan kesalahannya”[18] (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim). Pembatalan dalam jual beli dilakukan agar dalam jual beli tidak ada yang dikecewakan, baik dari pihak penjual dan pihak pembeli.
Secara lebih rinci, hukum-hukum pembatalan sebagaimana berikut :
a.    Dipersilahkan melakukan iqalah pada jual beli yang pertama, hal ini merupakan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ahmad, Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, akan tetapi menurut Imam Malik bahwa iqalah dilakukan pada jual beli yang baru.
b.    Iqalah boleh dilakukan jika sebagian barang mengalami kerusakan
c.    Tidak boleh ada kenaikan atau pengurangan harga pada iqalah.

F.     Bai’ Al Ghaib (Menjual Barang Yang Tidak Ada Saat Jual Beli)
Menurut pendapat yang unggul tidak boleh menjual barang yang ghaib  yaitu barang yang tidak dilihat oleh kedua orang yang berakad atau salah satunya.
Jika penjual mengatakan: “saya jual kepadamu baju yang terbuat dari Yaman yang ada didalam rumahku, atau saya jual kepadamu kuda hitam yang ada dikandangku” ada djua pendapat ulama :
            Dalam qaul kadim-nya Imam Syafii mengatakan : jual beli demikian sah, dan si pembeli berhak melakukan khiyar ketika dia melihatnya, dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Mulaikah bahwa Usmanra membeli sebidang tanah dari Thalhah di Madinah dengan bayaran sebidang tanah di Kufah kemudian Usman ra berkata : “Aku menjual tanahku dengan tanahmu sedang saya belum melihatnya, “ lalu Thalhah berkata : “yang berhak melihat itu adalah saya sebab saya membeli sesuatu yang belum saya lihat sedang kamu sudah melihat apa yang kamu beli”. Lalu keduanya mengadukan masalah itu kepada Jubair bin Muth’im, dan Jubair memutuskan kepada Usman ra bahwa jual beli sah dan Thalhah berhak melihat karena dia membelisesuatu yang ghaib dankarena ia satu bentuk akad terhadap benda, makaboleh walaupun ada yang tidak diketahui tentang sifatnya sama seperti nikah.
            Sedangkan dalam qaul jadid-nya Imam Syafii menyatakannya tidak sah, dengan dalil hadis Abu Huroiroh ra, bahwa Rasulullah SAW melarang menjual sesuatu yang tidak diketahui. Alasan lain, dalam akad ini ada unsur gharar, sebab ia termasuk dalam jual beli, maka tidak sah jika ada yang tidak diketahui dari sifatnya sama seperti jual beli system salam (ordering) .

G.    Menjual Barang Yang Akan Digunakan Untuk Berbuat Haram
1.    Syafiiyah  dan Hanabilah berpendapat bahwa hal itu tidak boleh dan termasuk kategori jual beli yang haram.
2.    Sebagian fuqaha’ berpendapat bahwa itu boleh
Pendapat yang paling benar adalah jika seseorang yakin bahwa pembeli akan menggunakan barang yang dibelinya untuk berbuat haram , maka jual beli seperti ini haram dan bathil.
H.                Manfaat Dan Hikmah Jual Beli
1.    Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
2.    Penjual dan pembeli dapat memnuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan.
3.    Jual beli adalah sarana untuk saling bantu membantu antara dua pihak dalam memenuhi kebutuhan sehari hari
4.    Menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barrang yang haram (bathil). Sesuai An Nisa : 29
5.    Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
6.    Penjual dan pembeli mendapat rahmat dariAllah SWT
7.    Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram.
Adapun hikmah Allah mensyariatkan adanya jual beli sebagai pemberian keluangan dan keluasan kepada hamba-hambanya, karena seluruh manusia di dunia ini mempunyai kebutuhan seperti sandang, pangan dan papan. Dan kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi dari dirinya sendiri, karena itulah kita dituntut untuk saling berhubungan dengan satu sama lain. Dalam hubungan ini tak ada hal yang paling sempurna dari pada saling tukar menukar sesuatu yang dibutuhkan, diaman seseorang memberikan sesuatu yang ia miliki unutuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
I.       Melaksanakan Jual Beli Yang Benar Dalam Kehidupan
Jual beli merupakan bagian dari tolong menolong. Penjual menolong pembeli yang menbutuhkan sesuatu, begitu pula sebaliknya pembeli menolong penjual yang menbutuhkan uang(keuntungan). Jual beli merupakan perbuatan yang mulia dan mendapat keridhaan dari Allah bagi yang melakukan transaksi jual beli secara benar. Lain halnya jika dalam jual beli mengandung unsur-unsur kedzaliman, seperti berdusta, mengurangi timbangan atau ukuran, hal ini bukan lagi ibadah melainkan sebuah dosa. Tak mudah melaksanakan jual beli dengan benar, jual beli dengan benar harus memiliki beberapa landasan yang dimiliki oleh mua’qadain diantaranya adalah, niat suci, kejujuran, takwa, kerja keras, istiqomah, tawakkal, serta tak lupa pula dengan modal, dan alat-alat pendukung dalam jual beli. Jadi, apabila kita melakukan transaksi jual beli dengan baik dan benar akan mendatangkan keberuntunagn, kebahagaan dan keridhaan dari Allah.



[1]Abdul Aziz Muhammad Azam,Fiqih Muamalat (Sistem Transaksi dalam Islam). (Jakarta: Amzah, 2010),h. 23
[2]Abdul Rahman Ghazaly, FIQH MUAMALAT, (Jakarta: Kencana,  2015),h.67
[3] Al Fairus Abadi: al-qamus al-muhith, Beirut: Dar al Fikr
[4]Abdul Aziz Muhammad Azam, h. 27
[5]Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah , (Cet : III; Bandung: Pustaka Setia, 2006), h.  75
[6]Abdul Rahman Ghazaly, h.  70
[7] Abdul Aziz Muhammad Azam, h.  29
[8]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Juz 4 (Jakarta: DarulFikir, 2011), h. 347
[9]Wahbah Az-Zuhaili, Juz 4 h.347
[10]‘Alauddin Al-Kasani, Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-Syarai’, Juz 4, CD Room,Silsilah Al-‘Iim An-Nafi’,Seri 9, Al-Fiq ‘Ala-Madzahibah Al-Arba’ah, Al-Ishdar Al-Awwal, 1426 H, hlm.320 dalam Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat (Jakarta: Sinar Grafika,2010), h. 181
[11] Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat (Jakarta: Sinar Grafika,2010), h. 187
[12] ‘Alauddin Al-Kasani, Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-Syarai’, Juz 4, CD Room,Silsilah Al-‘Iim An-Nafi’,Seri 9, Al-Fiq ‘Ala-Madzahibah Al-Arba’ah, Al-Ishdar Al-Awwal, 1426 H, hlm.320 dalam Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat (Jakarta: Sinar Grafika,2010), h. 188
[13]Wahbah Az-Zuhaili, h. 35-355
[14] Wahbah Az-Zuhaili, h. 356
[15]Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Cet. 1; Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), Hal 125
[16]Ismail Nawawi, h. 132
[17]Ismail Nawawi, h. 79
[18]Ismail Nawawi, h. 83

No comments: