Jual beli merupakan bagian dari ta’awun.Bagi pembeli menolong penjual yang membutuhkan uang sedangkan penjual menolong pembeli yang membutuhkan barang.Karenanya , jual beli merupakan perbuatan yang mulia dan pelakunya mendapat keridhaan Allah.
Jual beli (al-bay’) secara bahasa artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti.Menurut Sayyid Sabiq jual beli adalah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan.
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya.Mengatur
hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan hablumminallah
dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan hablumminannas.Nah,
hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam
yang dikenal dengan Fiqih muamalah.Aspek kajiannya adalah sesuatu yang
berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat yang
lainnya.Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti
melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual
menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu
dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.Jika zaman
dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah
pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang
saja.Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah
pihak dapat bertransaksi dengan lancar.
A.
Definisi Jual Beli
Jual beli dalam istilah fiqh disebut (al-bai’), secara etimologi
artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti.[1]Ba’i dapat pula diartikan mengambil sesuatu dan memberi sesuatu meskipun dalam bentuk ’ariyah
(sewa) dan wadi’ah (penitipan).Jual beli juga memiliki kata lainseperti
al-mubadalah, al-tijarah, danasy-syira’. Berkenaan dengan kata al-tijarah
dalam Al-Qur’an sebagaimana termaktub dalam surat Fathir ayat 29, sebagai
berikut :
…يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ
“…mereka itu mengharapkan perniagaan
yang tidak akan merugi,”
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang
dikemukakan oleh ulama[2],
antara lain :
1.
Menurut Sayyid Sabiq
مبا
دلة مال بمال على سبيل التراضى, او نقل ملك بعوض على الوجه المأذون فيه
“Jual beli ialah pertukaran harta dengan harta
atas dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat
dibenarkan”
Dalam definisi di atas yang dimaksud “dapat dibenarkan “agar dapat
dibedakan dengan jual beli yang terlarang.
2.
Menurut ulama Hanafiyah:
مبا
دلة مال بمال على وجه مخصوص
“Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus
(diperbolehkan)”
Dalam definisi di atas yang dimaksud “cara yang khusus” ialah
melalui ijab dan Kabul, atau juga boleh melalui
saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli
3.
Menurut Imam Nawawi :
مبا
دلة مال بمال تمليكا
“Pertukaran harta (benda) dengan harta dalam bentuk pemindahan
milik”
4.
Menurut Ibnu Qudamah :
مبا
دلة مال بمال تمليكا وتملكا
“Pertukaran harta (benda) dengan harta dalam bentuk pemindahan
milik dan kepemilikan”
Dalam definisi di atas yang ditekankan kata “milik dan pemilikan” ,
karena ada juga tukar-menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki ,
seperti sewa-menyewa.
Dari segi tashrif berasal dari kata ba’ahu (dia
menjualnya).Mashdarnya ba’iatan dan mabi’an.Ism maf’ul-nya
mabyu’ atau mabi’ (sesuatu yang dijual).Al biya’ah artinya
komoditi.Ibta’tuhu artinya aku menawarkan untuk menjualnya.Ibta’ahu artinya
aku membelinya.[3]
B.
Landasan Syara’dan Hukum Jual Beli
1.
Landasan Syara’
Jual beli mempunyai landasan yang kuat dalam al-qur’an, sunnah
rasulullah, dan Ijma’.
a.
Al-Qur’an antara lain :
1)
Surat Al-Baqarah ayat 275
…وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ …
“Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba .”
2)
Surat An-Nisa’ ayat 29
…إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ…
“ … kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka diantara kamu…”
3)
Surat Al-Baqarah ayat 198
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا
فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْۚ
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil
perniagaan) dari Tuhanmu”
b.
As-Sunnah antara lain :
1)
Hadis Rasulullah SAW dari al-Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn Hibban :
و
إنما البيع عن تراضعمل
“sesungguhnya jual beli itu atas
dasar ridha” .
2)
Hadis yang diriwayatkan oleh Rifa’I bn Rafi’ :
سئل
النبي: أي الكسب أطيب؟ فقال : عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور
Ketika ditanya tentang usaha apa yang paling utama, Rasulullah
menjawab : “Usaha seseorang dengan tangannya sendiri, dan setiap jual beli
yang mabrur”.
Jual beli yang mabrur adalah setiap jual beli
yang tidak ada dusta dan khianat, sedangkan dusta itu adalah penyamaran dalam
barang yang dijual, danpenyamaran itu adalah menyembunyikan aibbarang dari
penglihatan pembeli. Adapun
makna khianat ia lebih umum dari itu sebab
selain menyamarkan bentuk barangyang dijual, sifat atau hal-hal luar
seperti dia menyifatkan dengan sifat yang tidak benar atau memberi tahu harga
yang dusta.[4]
c.
Ijma’
Ulama’ telah sepakat bahwa jual beli
diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan
dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik
orang lain yang dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lainnya yang
sesuai.[5]
2.
Hukum Jual Beli
Para ulama fiqih menyatakan hukum asal jual beli yaitu mubah
(boleh).Tetapi, dalam kondisi dan situasi tertentu, Imam Al Syatibi, pakar
fiqih Maliki, hukumnya boleh berubah wajib. Imam As Syatibi memberi contoh
ketika terjadi praktik ihtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dari
pasar dan harga melonjak naik). Apabila sesorang melakukan ihtikar dan
mengakibtakan melonjkanya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka menurutnya, pihak
pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai dengan
harga sebelum terjadinya pelonjakan harga. Dalam hal ini menurutnya pedagang
itu wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah.[6]
C.
Rukun Jual Beli dan Syarat Sah Jual Beli
1.
Rukun Jual Beli
Rukun adalah hal-hal yang harus ada untuk terwujudnya suatu akad
dari sisi luar. Adapun rukun jual beli antara lain :
a.
Pihak yang berakad (aqidain).
Dua pihak yang melakukan transaksi (penjual & pembeli).Mereka
inilah dua pihak yang melakukan akad (transaksi) karena transaksi tidak diakui
legalitasnya tanpa duapihak ini.
b.
Yang diakadkan (ma’qud ‘alaih). Harta yang diperjualbelikan.
Tidak boleh menjual barang yang tidak mampu
diserahkan seperti menjual burung di udara, ikan di dalam air, unta yang lari,
kuda yang hilang atau harta yang dirampas, sesuai hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairoh : “Nabi melarang menjual barang yang ada unsur menipu”.
c.
Lafal (Sighat)
Sighat adalah ijab dan qabul.Ijab diambil dari kata aujaba
yang artinya meletakkan dari pihak penjual yaitu pemberian hak milik, dan qabul
yaitu orang yang menerima hak milik.
Jika
penjual berkata: “bi’tuka” (saya jual kepadamu) buku ini dengan ini dan
ini, maka ini adalah ijab , dan ketika pihak lain berkata qabiltu (saya
terima), maka inilah qabul.Dan jika pembeli berkata : juallah buku ini
kepadaku dengan haraga begini. Lalu penjual berkata : saya jual kepadamu. Maka
yang pertama adalah qabul dan yang kedua adalah ijab.Jadi dalam
akad jual beli penjual selalu menjadi yang ber-ijab dan pembeli menjadi
penerima baik diawalkan atau diakhirkan lafalnya.[7]
Berikut pengertian lebih rinci mengenai ijab qabul
menurut para ulama :
1)
Pengertian ijab menurut Hanafiah
إثبات
الفعل الخاص الدال على الرضا الواقع اولاً من احد المتعاقدين
“menetapkan perbuatan yang khusus yang
menunjukan kerelaan, yang timbul pertama dari salah satu pihak yang melakukan
akad”[8]
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa ijab adalah pernyataan yang disampaikan pertama
oleh satu pihak yang menunjukan kerelaan, baik dinyatakan oleh si penjual,
maupun si pembeli.
Adapun
pengertian qabul adalah
ما
ذُكر ثانياً من كلامِ أحدِ المتعاقدين
“pernyataan
yang disebutkan kedua dari pembicara salah satu pihak yang melakukan akad”
Dari
definisi ijab dan qabul menurut Hanafiah tersebut dapat
dikemukakan bahwa penetapan nama ijab dan nama qabul tergantung kepada
siapa yang lebih dahulu menyatakan. Apabila yang menyatakan terlebih dahulu si
penjual, misalnya ”saya jual barang ini kepada Anda dengan harga Rp 50.000”
maka pernyataan penjual itulah yang dinamakan ijab, sedangkan pernyataan
pembeli “saya terima beli atau saya beli barang yang anda jual..” adalah
qabul. Sebaliknya, apabila yang menyatakan lebih dahulu si pembeli maka
pernyataan pembeli itulah ijab, sedangkan pernyataan penjual adalah qabul.
2)
Menurut jumhur ulama , selain Hanafiah, pengertian ijab adalah
sebagai berikut
الايجاب
هو ما صدر ممنْ منهُ التمليكُ وإنْ جاء متأخراً
“Ijab
adalah pernyataan yang timbul dari orang
yang memberikan kepemilikan, meskipun keluarnya belakangan”
Sedangkan
pengertian qabul adalah sebagai berikut.
والقبول
هو ما صدرِ ممنْ يصيرُ لهُ الملكُ وإن صدرِ أولآً
“Qabul adalah pernyataan yang timbul dari
orang yang akan menerima hak milik meskipun keluarnya pertama.[9]
Dari
pengertian ijab dan qabul yang dikemukakan oleh jumhur ulama
tersebut dapat dipahami bahwa penentuan ijab dan qabul bukan
dilihat dari siapa yang lebih dahulu menyatakan, melainkan dari siapa yang
memiliki dan siapa yang akan memiliki. Dalam konteks jual beli, yang memiliki
barang adalah penjual, sedangkan yang akan memilikinya adalah pembeli. Dengan
demikian, pernyataan yang dikeluarkan oleh penjual adalah ijab,
meskipun datangnya belakangan, sedangkan pernyataan yang dikeluarkan oleh pembeli
adalah qabul, meskipun dinyatakan pertama kali.[10]
2.
Syarat Sah Jual Beli
Fuqaha’ berbeda pendapat dalam menetapkan
syarat sah jual beli, adapun syarat sah jual beli , antara lain :
a.
Syarat Kelangsungan Jual Beli (Syarat Nafadz)
Untuk
kelangsungan jual beli diperlukan dua syarat sebagai berikut.
Kepemilikan atau
kekuasaan
Pengertian
kepemilikan atau hak milik adalah menguasai sesuatu dan mampu men-tasarru-katanya
sendiri, karena tidak ada penghalang yang ditetapkan oleh syara’.Sedangkan
wilayah atau kekuasaan adalah kewenangan yang diberikan oleh syara’ sehingga
adanya kewenengan itu maka akad yang dilakukanya hukumnya sah dan dapat
dilasungkan.Kekuasaan itu adakalanya asli, yakni orag yang bersangkutan
menguasai
b.
Syarat Terjadinya Aqad (In’qad)
Syarat
in’qad adalah syarat harus terpenuhi agar akad jual beli dipandang sah
menurut syara’.Apabila syarat ini tidak terpenuhi, maka akad jual beli menjadi
batal.Di kalangan ulama tidak ada kesepakatan mengenai syarat in’qad.[11]
Hanafiah
mengemukakan empat macam syarat untuk keabsahan jual beli :
1)
Syarat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang melakukan akad);
2)
Syarat berkaitan dengan akad itu sendiri;
3)
Syarat berkaitan dengan tempat akad;
4)
Syarat berkaitan dengan objek akad (ma’qud ‘alaih)
c.
syarat sahnya jual beli berkenaan denganbarang yang ditransaksikan(ma’qud ‘alaih), ada enam yaitu
:
1)
Barang yang ditransaksikan harus ada saat terjadi transaksi. Fuqaha sepakat bahwa tidak sah jual beli komoditi yang tidak ada
pada saat transaksi, seperti menjual buah-buahan yang belum nyata (belum
berbuah dan belum jelas baik buruknya karena masih terlalu dini). Demikian pula
tidak sah jual beli janin hewan yang masih dalam kandungan induknya (malaqih).
Jual beli seperti ini dilarang karena mengandung gharar (penipuan) dan
mengandung al-jahalah (tradisi orang jahiliyah)
2)
Barang yang ditransaksikan berupa harta yang bermanfaat. Harta yang dimaksud adalah sesuatu yang menjadi kecenderungan
(disukai) oleh tabiat manusia, dapat diberikan dan dapat ditahan, serta
bermanfaat. Sesuatu yang tidak bemanfaat tidak ddapat dikategorikan sebagai
harta. Kriteria sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai harta dalam syariat
islam adalah sesuatu yang boleh dimanfaatkan. Sesuatu yang dilarang
pemanfaatannya tidak dikategorikan sebagai harta (mal) seperti bangkai, darah ,
dsb.
3)
Barang yang ditransaksi menjadi hak milik penjual. Karena itu, tidak sah melakukan transaksi sesuatu yang tidak
menjadi hak milik seorang penjual secara penuh saat transaksi jual beli.
4)
Barang yang ditransaksikan dapat diserahterimakan saat transaksi. Oleh karena itu itu tidak sah menjual unta yang melarikan diri atau
burung yang masih terbang di udara. Memperjualbelikan ikan yang masih berada di
air juga tidak sah kecuali jika ikan tersebut berada dalam kolam yang jernih
sehingga dapat dilihat kondisinya, dan kolam tersebut tidak bersambung langsung
ke sungai sehingga bisa menyebabkan ikan tersebut lari ke sungai.
5)
Barang yang diperjualbelikan harus dapat diketahui secara jelas
oleh kedua pihak yang melakukan transaksi. Tidak sah menjualbelikan sesuatu yang tidakk dapat dilihat dengan
jelas.
6)
Malikiyyah dan Syafiiyah menambah syarat barang yang ditransaksikan
yaitu :
·
Dzat (substansi) barang harus suci. Jadi tidak sah menjual babi, anjing, minuman keras, dsb.
·
Barang yang ditransaksikan
bukan termasuk barang yang dilarang untuk diperjualbelikan.
·
Jual beli tersebut tidak tergolong perbuatan haram. Seperti memperjualbelikan barang curian, hasil rampasan, atau jual
beli karena ada paksaan
d.
syarat yang berkenaan dengan dua pihak yang bertransaksi (muta’aqidain)ada
dua :
1)
Aqid harus
berakal yakni mumayyiz.
Maka tidak sah akad yang dilakukan oleh orang gila, dan anak yang belum berakal
(belum mumayyiz).
Hanafiah dan Malikiyah tidak mensyaratkan ‘aqid
harus baligh. Dengan demikian, akad yang dilakukan oleh anak yang mumayyiz
(mulai umur tujuh tahun) hukumnya sah.[12]Sedangkan
menurut Syafi’iyah dan Hanabilah baligh merupakan syarat in’iqad (keabsahan
jual beli).
2)
Dua pihak yang bertransaksi harus dengan kemauan sendiri dan bukan
paksaan.
3)
Aqid (orang
yang melakukan akad) harus berbilang (tidak sendirian).Dengan demikian, akad yang dilakukan oleh satu orang yang mewakili
dua pihak hukumnyatidak sah, kecuali apabila dilakukan oleh ayah yang membeli
barang dari anaknya yang masih di bawah umur dengan harga pasaran. Hal ini
dalam jual beli terdapat dua hak yang berlawanan, yaitu menerima dan
menyerahkan. Danmerupakan hal yang mustahil, pada saat yang sama satu orang
bertindak sebagai penjual yang menyerahkan barang dan sekaligus menjadi pembeli
yang menerima barang.[13]
e.
Syarat Akad (Ijab dan Qabul)
Syarat akad
yang sangat penting adalah bahwa qabul harus sesuai dengan ijab,
dalam arti pembeli menerima apa yang di-ijab-kan (dinyatakan) oleh
penjual. Apabila terdapat perbedaan anatar qabul dan ijab,
misalnya pembeli menerima barang yang tidak sesuai dengan yang dinyatakan oleh
penjual, maka akad jual beli tidak sah.[14]
f.
Syarat Tempat Akad
Syarat yang berkaitan dengan tempat akad adalah ijab dan qabul
harus terjadi dalam satu majelis.Apabila ijab dan qabul berbeda
majelisnya, maka akad jual beli tidak sah.
D.
Macam-Macam Jual Beli dan Jual Beli Yang Dilarang
1.
Macam-Macam Jual Beli
a.
Ditinjau dari segi barang dagangan.
1)
Jual beli mutlak. Yaitu jual beli yang tidak membutuhkan batasan.
Ini adalah bentuk jual beli paling popular diantara berbagai macam bentuk jual beli
lainnya. Dengan jual beli seperti ini, seseorang dapat melakukan tukar menukar
(jual beli) dengan uang untuk mendaptkan barang
yang dibutuhkan, dan jual beli menjadi berakhir ketika ia pergi.
2)
Jual beli pemesanan (salam). Jual beli sesuatu dengan ciri-ciri
tertentu yang akan diserahkan pada waktu tertentu. [15]
3)
Jual beli muqayyadah (barter). Melakukan barter suatu barang
dengan barang yang lain, dengan kata lain barter harta benda dengan harta benda
selain emas dan perak.
Syarat
jual beli muqayyadah :
-
Barter tidak memakai uang
-
Barang yang dibarterkan berupa barang yang dapat dilihat
-
Kontan (tidak ditunda)
-
Tidak mengandung riba
4)
Jual beli saham. Saham adalah surat bukti pemilikan atas sebuah
perusahaan yang melakukan penawaran umum dalam nominal atau presentase tertentu.
[16]
b.
Ditinjau dari segi penentuan harga
1)
Jual beli musawwamah, yaitu tawar menawar antara penjual dan
pembeli terhadap barang dagangan tertentu dan dalam hal penetapan harga. Dalam
hal jual beli seperti ini, penjual tidak memasang bandrol barang dagangannya.
Seorang yang hendak membeli barang menanyakan harga harganya kepada penjual
sehingga keduanya terlibat saling menawar untuk menetapkan harga. Jual beli
sepertiini diperbolehkan selama memenuhi syarat jual beli yang telah ditentukan
syara’ dan tidak termasuk jual beli yang terlarang.
2)
Disebut juga jual beli dalalah dan munadah . secara
etimologi berarti bersaing (tanafus) dalam menambah harga barang
dagangan yang ditawarkan untuk dijual.jadi, muzayadah adalah jika seorang
penjual menawarkan barang dagangannya dalam pasar (dihadapan para calon
pembeli), kemudian para calon pembeli saling bersaing dalam menambah harga, kemudian
barang dagangan itu diberikan kepada orang yang paling tinggi dalam memberikan
harga.
3)
Jual beli at-taurid atau al-munaqashah .dapat disebut
juga tender. Yaitu orang yang hendak membeli mengumumkan kepada
orang-orang tentang keinginannya untuk membeli barang dagangan atau
melaksanakan suatu proyek agar para penjual atau kontraktor bersaing untuk
mengajukan penawaran dengan patokan harga yang lebih murah.
2.
Jual Beli Yang Dilarang
Dalam jual beli yang dilarang tebagi menjadi
dua: pertama, jual beli yang dilarang dan hukumnya tidak sah, hal ini
dikarenakan syarat dan rukunnya tidak terpenuhi. Kedua, jual beli yang
hukummnya sah akan tetapi dilarang, jual beli ini telah memenuhi syarat dan
rukun tetapi ada beberapa faktor yang mengahalangi kebolehan dalam proses jual
beli
a.
Jual beli yang tidah memenuhi syarat dan rukun
1)
Jual beli yang mengandung riba. Riba nasiah dan riba fadhl adalah
fasid menurut ulama Hanafiyah, tetapi batal menurut jumhur ulama’.
2)
Jual beli gharar. Jual beli yang samar dan didalamnya mengandung
ketidakjelasan.[17]
3)
Jual beli yang zatnya haram, najis atau tidak diperjualbelikan.
4)
Jual beli bersyarat. Jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan
syarat tertentu yang tidak ada kaitannya jual beli da nada unsur merugikan dan
dilarang agama.
5)
Jual beli yang menimbulkan kemudharatan. Jual beli yang
dilakukan akan menimbulkan kemudharatan, kemaksiatan atau bahkan kemusyrikan
seperti jual beli patung, salib , dan buku-buku porno.
6)
Jual beli dilarang karena aniaya. Misal, menjual anak binatang yang
masih membutuhkan induknya.
7)
Jual beli muhaqalah. Menjual tanaman yang masih di sawah
atau di ladang. Dilarang karena mengandung unsur penipuan dan samar.
8)
Jual beli mukhadarah. Menjual buah-buahan yang masih hijau
atau belum siap dipanen karena dalam artian bisa saja jatuh tertiup angina atau
layu sebelum diambil oleh pemiliknya.
9)
Jual beli mulamasah. Jual beli secara sentuh menyentuh. Misal,
seseorang menyentuh sehelai kain , maka orang yang menyentuh berarti telah
membeli kain ini. Ini dilarang karena mengandung penipuan dan merugikan salah
satu pihak.
10)
Jual beli muzaabanah , yaitu menjual buah yang basah dengan
buah yang kering. Seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah sedang
ukurannya dengan ditimbang sehingga kan merugikan pemilik padi kering.
b.
Jual beli terlarang karena adanya pihak yang
merasa dirugikan
1) Jual beli dari
orang yang masih dalam tawar menawar. Bila dua pihak masih tawar-menawar atas suatu barang
terlarang untuk orang lain membeli barang itu sebelum tawar-menawar diputuskan.
2) Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun,
kemudian akan dijual ketika harga naik karena kelangkaan.
3)
Jual beli barang curian yang telah diketahui.Ibnu Qudamah
menyatakan bahwa jika seseorang membeli sesuatu dari orang yang hartanya ada
yang haram dan ada yang halal, seperti perampok, pencuri, orang yang dzalim dan
rentenir, maka jika ia mengetahui bahwa barang yang ia beli adalah barang
halal, maka halal membelinya. Dan
juga sebaliknya. Jika tidak mengetahui barang yang ia beli, apakah halal atau
haram, maka makruh membelinya karena mungkin saja ia membeli barang haram.
Namun demikian jual belinya tetap sah karena ada kemungkinan halal.
4) Jual beli urbun
(uang muka).Yang dimaksud
ialah mengambil uang muka secara kontan di awal transaksi jual beli.
E.
Badan Perantara dan Pembatalan dalam Jual Beli
1.
Badan Perantara dalam Jual beli
Pada realiatas
yang terjadi dalam jual beli sering
kali ada perantara (simsar), ialah seseorang yang menjualkan barang orang lain
atas dasar upah dari pemilik barang dengan usaha yang telah dilakukan.
Disebut pula dengan maklar.agen, pialang,
hal ini sesuai pada hukum yang berlaku. Merekalah yang bertugas sebaga badan
perantara baik atas nama dirinya sendiri, nama perseorangan atau perusahaan
pemilik barang. Berdagang secara perantara diperbolehkan asalkan tidak
menyimpang dari ketentuan Jual beli berdasarkan syari’ah.
2.
Pembatalan dalam Jual beli
Apabila dalam proses
jual beli telah terjadi ketidakcocokan, maka hal ini dapat dibatalkan (iqalah)
dan merupakan sunnah jika salah dari pembeli dan penjual memintanya, karena
Rasulullah saw. bersabda: “barangsiapa menerima pembatalan jual beli orang
muslim, Allah menerima pembatalan kesalahannya”[18]
(HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim). Pembatalan dalam jual beli dilakukan
agar dalam jual beli tidak ada yang dikecewakan, baik dari pihak penjual dan
pihak pembeli.
Secara lebih rinci, hukum-hukum pembatalan
sebagaimana berikut :
a. Dipersilahkan melakukan iqalah pada
jual beli yang pertama, hal ini merupakan pendapat yang dikemukakan oleh Imam
Ahmad, Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, akan tetapi menurut Imam Malik bahwa iqalah
dilakukan pada jual beli yang baru.
b. Iqalah boleh dilakukan jika sebagian barang
mengalami kerusakan
c. Tidak boleh ada kenaikan atau pengurangan
harga pada iqalah.
F.
Bai’ Al Ghaib
(Menjual Barang Yang Tidak Ada Saat Jual Beli)
Menurut pendapat yang unggul tidak boleh menjual barang yang ghaib
yaitu barang yang tidak dilihat oleh
kedua orang yang berakad atau salah satunya.
Jika penjual mengatakan: “saya jual kepadamu baju yang terbuat dari
Yaman yang ada didalam rumahku, atau saya jual kepadamu kuda hitam yang ada
dikandangku” ada djua pendapat ulama :
Dalam qaul kadim-nya Imam
Syafii mengatakan : jual beli demikian sah, dan si pembeli berhak melakukan khiyar
ketika dia melihatnya, dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu
Mulaikah bahwa Usmanra membeli sebidang tanah dari Thalhah di Madinah dengan
bayaran sebidang tanah di Kufah kemudian Usman ra berkata : “Aku menjual
tanahku dengan tanahmu sedang saya belum melihatnya, “ lalu Thalhah berkata :
“yang berhak melihat itu adalah saya sebab saya membeli sesuatu yang belum saya
lihat sedang kamu sudah melihat apa yang kamu beli”. Lalu keduanya mengadukan masalah
itu kepada Jubair bin Muth’im, dan Jubair memutuskan kepada Usman ra bahwa jual
beli sah dan Thalhah berhak melihat karena dia membelisesuatu yang ghaib dankarena
ia satu bentuk akad terhadap benda, makaboleh walaupun ada yang tidak diketahui
tentang sifatnya sama seperti nikah.
Sedangkan dalam qaul jadid-nya
Imam Syafii menyatakannya tidak sah, dengan dalil hadis Abu Huroiroh ra, bahwa
Rasulullah SAW melarang menjual sesuatu yang tidak diketahui. Alasan
lain, dalam akad ini ada unsur gharar, sebab ia termasuk dalam jual
beli, maka tidak sah jika ada yang tidak diketahui dari sifatnya sama seperti
jual beli system salam (ordering) .
G.
Menjual Barang Yang Akan Digunakan Untuk Berbuat Haram
1.
Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hal itu tidak
boleh dan termasuk kategori jual beli yang haram.
2.
Sebagian fuqaha’ berpendapat bahwa itu boleh
Pendapat yang paling benar adalah
jika seseorang yakin bahwa pembeli akan menggunakan barang yang dibelinya untuk
berbuat haram , maka jual beli seperti ini haram dan bathil.
H.
Manfaat Dan Hikmah Jual Beli
1.
Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang
menghargai hak milik orang lain.
2.
Penjual dan pembeli dapat memnuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan.
3.
Jual beli adalah sarana untuk saling bantu membantu antara dua
pihak dalam memenuhi kebutuhan sehari hari
4.
Menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barrang yang haram
(bathil). Sesuai An Nisa : 29
5.
Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
6.
Penjual dan pembeli mendapat rahmat dariAllah SWT
7.
Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram.
Adapun hikmah Allah mensyariatkan adanya jual
beli sebagai pemberian keluangan dan keluasan kepada hamba-hambanya, karena
seluruh manusia di dunia ini mempunyai kebutuhan seperti sandang, pangan dan
papan. Dan kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi dari dirinya sendiri, karena
itulah kita dituntut untuk saling berhubungan dengan satu sama lain. Dalam
hubungan ini tak ada hal yang paling sempurna dari pada saling tukar menukar
sesuatu yang dibutuhkan, diaman seseorang memberikan sesuatu yang ia miliki
unutuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai
dengan kebutuhan masing-masing.
I. Melaksanakan Jual
Beli Yang Benar Dalam Kehidupan
Jual beli merupakan bagian dari tolong
menolong. Penjual menolong pembeli yang menbutuhkan sesuatu, begitu pula
sebaliknya pembeli menolong penjual yang menbutuhkan uang(keuntungan). Jual
beli merupakan perbuatan yang mulia dan mendapat keridhaan dari Allah bagi yang
melakukan transaksi jual beli secara benar. Lain halnya jika dalam jual beli
mengandung unsur-unsur kedzaliman, seperti berdusta, mengurangi timbangan atau
ukuran, hal ini bukan lagi ibadah melainkan sebuah dosa. Tak mudah melaksanakan jual beli dengan benar, jual beli dengan benar
harus memiliki beberapa landasan yang dimiliki oleh mua’qadain diantaranya
adalah, niat suci, kejujuran, takwa, kerja keras, istiqomah, tawakkal, serta
tak lupa pula dengan modal, dan alat-alat pendukung dalam jual beli. Jadi,
apabila kita melakukan transaksi jual beli dengan baik dan benar akan
mendatangkan keberuntunagn, kebahagaan dan keridhaan dari Allah.
[1]Abdul
Aziz Muhammad Azam,Fiqih Muamalat (Sistem Transaksi
dalam Islam). (Jakarta: Amzah, 2010),h. 23
[3] Al
Fairus Abadi: al-qamus al-muhith, Beirut: Dar al Fikr
[5]Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah , (Cet : III; Bandung: Pustaka Setia,
2006), h. 75
[7] Abdul Aziz Muhammad Azam, h. 29
[10]‘Alauddin Al-Kasani, Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-Syarai’, Juz 4, CD
Room,Silsilah Al-‘Iim An-Nafi’,Seri 9, Al-Fiq ‘Ala-Madzahibah Al-Arba’ah,
Al-Ishdar Al-Awwal, 1426 H, hlm.320 dalam Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat
(Jakarta: Sinar Grafika,2010), h. 181
[11]
Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat (Jakarta: Sinar Grafika,2010), h. 187
[12] ‘Alauddin Al-Kasani, Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-Syarai’, Juz 4, CD
Room,Silsilah Al-‘Iim An-Nafi’,Seri 9, Al-Fiq ‘Ala-Madzahibah Al-Arba’ah,
Al-Ishdar Al-Awwal, 1426 H, hlm.320 dalam Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat
(Jakarta: Sinar Grafika,2010), h. 188
[15]Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Cet. 1; Bogor:
Ghalia Indonesia, 2012), Hal 125
[18]Ismail Nawawi, h. 83
No comments:
Post a Comment