Keluarga adalah kesatuan masyarakat yang terdiri dari suami,
istri, dan anak yang berdiaman dalam satu tempat tinggal. Sebelum
terbentuknyasatu anggota keluarga yang terdiri dari suami istri dan anak maka
terdahulu terjadi sebuah ikatan baiak yaitu ikatan lahir maupun batin antar
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri yang biasanya disebut
dengan tali pernikahan. Pernikahan merupakan institusi yang sangat penting
dalam masyarakat. Eksistensi ini adalah melegalkan laki-laki dengan seorang
wanita. Pernikahan juga bertujuan membentuk keluarga yang bahagia baik lahir
maupun batin. Bahagia artinya ada kerukunan dalam hubungan antara suami maupun
istri dan anak-anak dalam rumah tangga.
Suatu keluarga dapat dikatakan bahagia apabialaterpenuhi duakebutuhan pokok,
yaitu kebutuhan jasmanai dan rohani.
Akan tetapi untuk mencapai sebuah tujuan pernikahan yang
diinginkan itu tidaklah mudah namun dibutuhkan pengorbanan atau upaya-upayayang
dapat menghantarkankepada tujuan itu..
Agama menginginkan pernikahan yang kekal antara suami istri kecuali oleh suatu sebab
yang tidak dapat dipertahankan. Apabila sudah terjadi perceraian maka masalah
hak asuh anak pada masa ikatan perkawinan mendapat perhatian lebih dari agama
lebih-lebih setelah perceraian dan termasuk dalam paket hukum keluarga. Para ahli fiqh
mendefinisi kan hadhonah sebagai melakukan pemeliharaan anak-anak yang
masih kecil, laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum
tamyiz, tanpa perintah darinya menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikanya,
menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknyadan mendidik jasmani,
rohanidan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul
tanggung jawab. Akan tetapi para fuqoha mengedepankan salah satu diantara
orang-orang yang berhakmengurus hadhonah anak berdasarkan kemaslahatan anak
yang dipelihara. Dalam hal ini mereka lebih mengutamakan kaum wanita untuk
mendapatkan hadhonah itu karena menurut para fuqoha seorang wanita mempunyai
sifat yang lembut, kasih sayang dan sabar dalam mendidik.
Dalam kitab-kitab fiqh pemeliharaan anak (hadhonah) pada
penafsiran hadhonah baik syarat, macam, maupun pengertian masih banyak simpang
siur untuk lebih jelasnya akan kami jelaskan pada makalah ini
b. a.
Pengertian dan dasar
hukum hadhonah
Kata الحضا نة diambil dari kata الحضّ yang artinya pendamping
karena seorang pengasuh akan senantiasa mendapingi anak yang ada dalam
asuhannya. Sedangkan jika kita tinjau dari segi syara’ maka artinya menjaga dan mengasuh anak kecil
atau yang senada dengannya dari segala hal yang membahayakan dan berusaha
mendidiknya dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk kebutuhan jasmani
dan rohani.Sedangkan para ahli fiqh mendefinisi kan hadhonah sebagai melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki ataupun perempuan atau yang
sudah besar tetapi belum tamyiz, tanpa perintah darinya menyediakan sesuatu
yang menjadikan kebaikanya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan
merusaknyadan mendidik jasmani, rohanidan akalnya agar mampu berdiri sendiri
menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. Pemeliharaan disini mencangkup
urusan makanan, pakaian, urusan tidur, membersihkan, memandikan, mencuci
pakaian, dan sejenisnya
Dasar hukum mengasuh
anak-anak yang masih kecil adalah wajib, sebab mengabaikannya berarti
menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Sedangkan
dalam syariat hukum islam telah ditetapkan mengenai hukum mengasuh mereka,
menyayangi mereka, menjaga dan memenuhi kebutuhannya, serta berbuat baik
kepadanya. Karena jika mereka ditinggalkan begitu saja tanpa ada mendapatkan
bahaya. Padahal agama kita adalah agama yang mengajarkan kasih sayang , saling
memikul beban, dan mengajarkan tentang sebuah kebersamaan. Islam adalah agama
yang melarang kita untuk menyia-nyiakan mereka dan wajib menanggung kehidupan mereka
dan kewajiban ini sudah menjadi hak asuh yang harus didapatkan dari
keluarganya. Sedangkan seorang pengasuh memiliki kedudukan yang sama
sebagaimana seorang wali yang bertanggung jawab. Hadhonah membutuhkan sikap
yang arif, perhatian yang penuh dan kesabaran sehingga seseorang makruh
memanggil anaknya ketika dalam hadhonah.
b.
Yang berhak melakukan hadonah
Pendidikanyang paling
penting ialah pendidikan anak kecil dalam pangkuan ibu bapaknya. Hal ini dikarenan
pengawasan dan perlakuan mereka kepadanya secara baik akan menumbuhkan jasmani
dan akalnya, membersihkan jiwanya, serata mempersiapkan diri anak yang
mengahadapi kehidupannya di masa mendatang. Jika terjadi perpisahan antara ibu
dan bapak sedangkan mereka mempunyai
anak, ibulah yang paling berhak terhadap anak itu dari pada ayahnya, selama
tidak ada suatu alasan yang mencegah ibu
melakukan pekerjaan hadhonah tersebut dan selama anak belum mampu memilih
apakah mau ikut ibu atau bapaknya.Ibu lebih diutamakan karena dialah
yangbberhak untuk melakukan hadhonah dikarenakan seorang ibu lebih mengetahui
dan mampu mendidik anaknya, dan juga dikarenakan ibu mempunyai rasa kesabaran
untuk melakukan tugas yang tidak dimiliki oleh bapak. Ibu juga lebih mempunyai
waktu untuk mengasuh anaknya dari pada seorang bapak. Karena semua ini dalam
mengatur kemaslahatan anak ibu di
utamakan. Seperti sebuah hadits yang berbunyi :
عَنْ عَبْدِ الله بْنِ عَمْرٍو أَنَّ
امْرَأةً قَا لَت : يَا رَسُوْلُ الله اِنَّ اِبْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَحِجْرِي
لَهُ حِوَاءً وَثَدْيي لَهُ سِقَاءً
وَزَعَمَ أَبُوْهُ أَنَّهُ
يَنْتَزِعُهُ مِنِّي فَقَالَ لَهَا رَسُل الله صَلَ الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ
: أَنْتِ أَحَقَّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي ( أخرجه أحمد وأبو داود والبيهقي
والحاكم وصححه)
Abdullah bin Amr
berkata bahwa seorang perempuan bertanya,”Ya Rasullah, sesungguhnya bagi anak
laki-laki ku ini perutkulah yang menjadi bejananya, lambungku yang menjadi
perlindungannya, dan susu ku menjadi minumannya, tetapi tiba-tiba ayahnya
merasa berhak untuk mengambilnya dariku”. Beliau bersabda “Engkau lebih berhak
terhadapnya selama kamu belum kawin dengan orang lain”. (HR Ahmad, Abu
Dawud, Baihaqi, dan Hakim dan dia
mensahkannya)
Sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh
malik dalam kitab al-muwatha yang berbunyi:
عَنْ يَحْي بْنُ سَعِيد أَنَّهُ قَالَ
سَمِعْتُ القَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ يَقُوْلُ كَانَتْ عِنْدِ عُمَرَبْنُ الخَطَّابِ
امْرَأة مِنَ الانْصَارفَولَدَتء لَهُ عَاصِمْ بْنُ عُمَرَ ثُمَّ أِنَّهُ فَا
رَقَهَا فَجَاءً عُمَرَ قُبَاءً فَوَجَدَ ابْنَه عَاصِما يَلْعَبُ
بِفِنَاءِالمَسْجِدِ فَأَ خَذَ بِعَضُدِهِ فَوَضَعَه بَيْنَ يَديْه عَلَى
الدَّابَّةِ فَأَدْرَكته جَدَّةٌ الغُلاَّم فَنَا زَعَتْه اِيَّاهُ حَتَّى
أتَيَاأَبَا بَكْرٍالصِّدِّيْقَ فَقَالَ عُمَرَ اِبْنِي وَقَالَتء المَرْأةُ
اِبْنِي فَقَال أَبُوْبَكْرٍ خَلِّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ قَالَ فَمَا رَجَعَهُ
عُمَرَ الكَلاَمَ (رواه مالك)
Yahya bin said
berkata ,”Aku mendengar Qosim bin Muhammad berkata bahwa Umar bin Khaththab
mempunyai seorang istri dari golongan anshar yang kemudian melahirkan seorang
anak laki-lakibernama Ashim bin Umar. Umar
lalu menceraikannya. Suatu hari Umar datang ke Quba, tiba-tiba ia dapatkan
putranya itu, Ashim bermain di halaman masjid. Ia lalu merangkunya dan menaikan
ke atas ontanya, duduk dihadapannya. Nenek anak mengetahui peristiwa tersebut,
ia lau merebutnya dari umar sehingga keduanya datang mengadu kepada khalifah
Abu Bakar. Umar berkata,” ini anak laki-laki ku” perempuan itu berkata,”ini nak
laki-laki ku”. Kemudian Abu Bakar berkata:” janganlah dihalangi antara
perempuan ini dan dia (anak laki-laki), umar tidak membatah keputusan dari
khalifah Abu bakar.(HR Malik dalam kitab AL-Muatha)
Demikian yang dikatakan
oleh Abu Bakar tentang sifat-sifat ibu yaitu lebih perasa lebih halus yang hal
ini menyebabkan bagi ketetapan hukum bahwa ibu lebih berhak terhadap anaknya yang
masih kecil.
c.
Urutan tingkatan hadwin
Urutan hak asuh bagi anakdalam ajaran islam
adalah sebagai berikut:
1.
Yang paling berhak mengasuh seoranng anak adalah ibunya. Imam ibnu
qudamah mengatakan ,”jika pasangan suami istri berpisah dan mereka memiliki seorang
anak, atau keluarga yang ideot maka ibunyalah yang paling berhak mengasuhnya,
jika telah terpenuhi syarat-syaratnya, baik anak tersebut laki-laki maupun
perempuan. Pendapat ini sama dengan pendapat yang diungkapkan oleh imam malik
dan yang lain. Dan tidak ada seorang pun yang berselisih
2.
Jika seorang ibu telah menikah dengan laki-lakimlain maka hak asuh
terhadap anaknya dipindahkan kepada yang lain dan hak asuhnya telah gugur. Didahulukannya
seorang ibu untuk mengasuh anaknya karena sang ibu biasanya lebih dekat dan
lebih sayang terhadap bayi yang dilahirkannya. Tidak ada yang bisa menyamai
kedekannya dengan sang anak kecuali seorang ayah tersebut. Seorang ayah pun
tetap saja tidak bisa menyamai kasih sayang ibu. Karena itu ia tidak berhak
mengasuh anaknya sendiri tanpa istri, akan tetapi harus diserahkan kepada
istri. Dan seorang ibun lebih diutamakan di banding istri sang ayah. Ibnu Abbas
berkata kepada seorang laki-laki,” bau ibumu tempat tidurnya dan asuhannya
lebih baik untuk anak itu daripada kamu, kecuali jika ia tidak menyukainya dan
menentukan pilihannya sendiri.syaikh islam Ibnu Taimiyyah berkata,”seorang ibu
lebih maslahah dibanding dengan seorang ayah. Karena seorang ibu sangat
hati-hati dan teliti dengan anak kecil. Dia juga lebih mengetahui hal-hal yang
menyangkut makanan. Ia mengendongnya, menidurkannya dan menuntunnya dengan
penuh kesabaran. Selain lebih mengetahui kondisi anaknya ia juga lebih menyayanginya. Dalam hal ini
seorang ibu lebih mengerti , lebih mampu, dan lebih sabar di bandingkan dengan
ayah. Maka seorang ibu ditetapkan sebagai orang yang lebih berhak mengasuh anak
keilnya yang belum baligh di dalam syrariat.
3.
Jika hak asuh seorang ibu telah gugur maka hak asuh seorang anak
dipindahkan kepada ibunya atau nenek dari anak tersebut. Karena nenek adalah
keluarga terdekat setelah ibu. Selain itu seorang nenek juga mempunyai status
sama seperti ibunya. Ia akan lebih menjaga dan menyayangi anak yang diasuhnya
dibanding orang lain.
4.
Setelah hak asuh ibu dan nenek ke atas telah tiada maka hak asuh
tersebut bisa diambil alih oleh ayahnya dari anak tersebut, karena bagaimanapun
dari dialah benih anak tersebut tertanam. Selain itu seorang ayah juga memiliki
kedekatan kepada seorang anak dibandingkan yang lainnya setelah ibu dan nenek .
dialah juga lebih bisa menyayangi di bandingkan dengan kerabat yang lainnya.
5.
Jika hak ibu, nenek, dan ayah untuk mengasuh anak tersebut telah tiada,
maka hak tersebut diberikan kepada ibu ayahnya yaitu nenek dari pada pihak ayah
atau keluarga terdekat darinya. Karena mereka memiliki hubungan kerabat dengan
anak tersebut daripada kakek. Sebab bagaimanapun wanita ssatu sama lain
memiliki kesamaan dalam hal ini. Karena itu seorang ibu lebih utama di banding
seorang ayah dan wanita lebih utama dalam masalh pengasuh anak dibandingkan
dengan seorang laki-laki.
6.
Setelah nenek dari ayah anak tersebut tidak dimiliki hak untuk mengasuh
cucunya maka hak tersebut berpindah kepada kakek dari ayah atau yang terdekat
dengannya. Karena seorang kakek memiliki hubungan yang sama seperti ayahnya
bagi anak tersebut. Ia seperti ayahnya sendiri. Maka itu ia memiliki hak asuh
yang sama dengan ayahnya dalam maslah ini.
7.
Setelah itu hak asuh berpindah 8 kepada ibunya kakek yang dianggap lebih
dekat dengannya, karena ia pada hakikatnya sebagi ganti dari kakek itu sediri
dan dia juga masih merupakan keturunan mereka. Artinya anak tersebut merupakan
bagian dari darah daginggnya sendiri.
8.
Setelah ibu dari kakeknya maka seterusnya adalah saudara wanita dari
anak tersebut, karena mereka adalah ganti dari orang tuanya atau ibunya. Disini
diutamakan saudara wanita yang sekandung sebab
mereka memiliki hubungan yang sama yang lebih kuat dengannya dalam
masalah warisan. Kemudian baru saudara wanita seibu yang dianggap lebih
keibuan, ssebab ibu lebih utama dibandingkan dengan seorang ayah, kemudian baru
saudara wanita yang seayah dengan anakn itu. Ada juga yang mengatakan saudara
perempuan yang seayah dengan anak lebih
utama dari saudara perempuan yang seibu dengannya. Karena perwalian dari
anak itu ada pada pihak ayah dan dia lebih kuat dalam hubungan ahli waris.
Sementa itu saudara perempuan seayah kedudukanna sama dengan sudara kandung
dalam pembagian harta wariasan jika saudara kandungbtersebut tiada dan ini
sangat jelas.
9.
Setelah saudara wanita hak asuh anak pindah kepada bibi dari pihak ibu.
Karena bibi dari ibu statusnya sama dengan ibu sendiri. Dalam kitab shahuhain
disebutkan bahwa nabi SAW bersabda, “ bibi dari seorang ibu memiliki kedudukan
yang sama seperti juga seorang ibu”. Dalam hal ini seorang bibi yang sekandung
dengan ibu lebih utana dari bibi yang hanya seibu dengan ibu. Kemudian baru
bibi yang seyah dengan iu, urutannya sama seperti dalam saudara wanita.
10.
Setelah bibi dari pihak ibu hak asuh tersebut dipindahkan kepada bibi
drai ayah. Sebab mereka mempunyai hubungan dekat dengan ayah dari anak tersebut
yang memiliki hak asuh anak setelah keluarga ibu. Syekhull islam ibnu taimiyyah
berkata ,”bibi dari ayah itu lebih utama
dari pihak ayah lebih utama dari wanita dari pihak ibu. Maka mereka
lebih berhak mengasuh anak dibanding wanita dari pihak ibu. Karena hak
perwalian ada pada pihak sang ayah demikian pula kerabatnya.diutamakan seorang
ib dari ayah dikarenakan dalam masalah pengasuhan seorang ibu tidak bisa
disamakan dengan yang lainya, walupun itu dengan ayahh kandungnya sendiri.
Dalam syariat islam disebutkan bahwa bibinya Hnmzah didahulukan dari pada
bibinya Shafiyyah, karena shafiyyah sendiri tidak memintanya, sedangkan ja’far
telah meminta untuk menjadi wakil dari bibinya Hamzah. Maka dari itu dia tidak
ada, tetap dihukumi seperti ini. Ia juga berkata semua dasar syariat
menyebutkan bahwa kerabat ayah itu harus didahulukan dari pada kerabat ibunya.
Barang siapa yang mendahulukan kerabat ibu dari kerabat ayahnya dalam hak asuh
anak maka ia telah menyalahi ushul dan syariat.
11.
Setelah pindah ke pihak anak wanitanya dari pada saudara laki-lakinya
kemudian anak wanita dari saudara wanitanya, kemudian anak wanita dari pihak
paman, kemudian dari pihak ayah baru kemudian anak wanitanya bibi dari pihak
sang ayah. Setelah itu baru diberikan kepada kerabat terdekat yang masih punya
hak untuk mengasuhnya, misalnya saudara laki-laki dari anak tersebut atau anak
laki-lakinya, kemudian pamannya terus anak pamannya. Apabila yang diasuh itu
wanita maka disyaratkan orang yang mengasuhnya harus merupakan salah satu dari
mahromnya anak tersebut. Jika tidak ada yang menjadi mahromnya maka dipilih
orang yang paling dipercaya dalam masalhini, terutama yang dipilih anak itu
sendiri.
d.
Syarat-syarat hadhonah
seorang hadhinah (ibu asuh) yang menangani dan
menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya harusllah memiliki
kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan kecakapan ini memerlukan syarat-syarat
tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak dipenuhi satu saja, gugurlah
kebolehan menyelenggarakan hadhonah. Syarat-syarat itu ialah sebagai berikut:
1.
Berakal sehat
Jadi
bagi seorang yang kurang akal dan gila, keduanya tidak boleh menangani hadhonah
karena meeka ini tidak dapat mengurusi dirinya sendiri. Karena itu ia tidak
boleh diserahi tugas mengurusi orang lain sebab orang yang tidak punya apa-apa
tentu tidak dapat memberikan apa-apa kepadanya.
2.
Dewasa
Sekalipun
anak kecil itu mumayyiz ia tetap membutuhkan orang lain yang mengurusi
urusannya dan mengasuhnya. Karena itu dia tidak boleh menagani urusan orang
lain.
3.
Mampu mendidik
Karena
itu orang yang buta dan rabun, sakit menular atau sakit yang mlemahkan
jasmaninya tidak boleh menjadi pengasuh untuk mengurus kepentingan anak kecil
dan tidak berusia lanjut yang bahkan ia sendiri perlu diurus, bukan orang yang
mengabaikan urusan rumah sehingga merugikan anak kecil yang diurusnya atau
bukan orang yang tinggal bersama orang yang sakit menular atau bersama orang
yangsuka marah kepada anak-anak, sekalipun kerabat anak kecil itu sendiri,
sehingga akibat dari kemarahannyaitu ia tidak bisa memperhatikan kepentingan si
anak secara sempurna dan menciptakan suasana yang tidak baik.
4.
Amanah dan berbudi luhur
Orang
yang curang tidak aman bagi anak kecil dan dia tidak dapt dipercya untuk bisa
menunaikan kewajibannya dengan baik. Terlebih lagi nantinya si anak dapat
meniru atau berkelakuan orang yang curanga ini. Ibnu Qayyim telh membahas
dengan luas syarat yang keempat ini lalu ia berkata “sebenarnya hadhin
(pengasuh ) itu tidaklah disyaratkan mesti adil akat tetapi murid-murid imam
ahmad dan syafi’i dan lain-lainnya yang mensyaratkan.
5.
Islam
Anak
kecil muslim idak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim. Hal ini
dikarenakan hadhonah merupakan masalah perwalian, sedangkan allah tidak
membolehkan orang mukmindibawah perwalian orang kafir. Allah berfirman dalam
Q.s an-nisa ayat 141 yang artinya “.... dan Allah sekali-kali tidak akan
memberi jalan kepada orang-orang kafir yang menguasai (memusnahkan)
orang-orangn yang beriman”. Jadi hadhonah seperti perwalian dalam perkawinan
atau harta benda. Dikhawatirkan juga bahwa anak kecil
yang diasuhny Itu akan dibesarkan dengan agama pengasuhnya, dididik dengan
tradisi agamanya sehingga sukar bagi
anak untuk meninggalkan agamanya ini. Hal ini merupakan bahaya paling besar
bagi anak tersebut. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ ألاَّ أنَّ
أبَوَيْه يُهَوِّدَا نِه أَوْ يُنَصِّرَانِه أَوْ يُمَجِّسَا نِه
“setiap anak yang
dilahirkan dalam fitrah hanya ibu bapaknya yang menjadikan mereka yahudi,
nasrani dan majusi”
Golongan
Hanafi, Ibnu Qoyyim dan bahkan Maliki serta Abu tsaur berpendapat bahwa hadhonah
tetap dapat dilakukan oleh pengasuh (hadhinah) yang kafir sekalipun si anak
kecil itu lebih darai menyusui dan melayani anak kecil. Kedua hal ini boleh
dikerjakan oleh perempuan kafir.
6.
Ibunya belum nikah lagi
Apabila
seorang ibu yang telah menikah lagi dengan laki-laki lain, hak hadhonahnya
hilang. Akan tetapi kalau ia nikah dengan laki-laki yang masih dekat
kekerabatannya dengan anak kecil tersebut seperti paman dari ayahnya, maka hak
hadhonahnya tidak hilang. Hal ini dikarenakan paman itu masih berhak dalam
masalah hadhonah karena hubungan dan kekerabatannya yang dekat dengan anak
kecil tersebut, ia akan bisa bersifat mengasihi serta memperhatikan haknya.
Dengan demikian akan terjadinya kerja sama yang sempurna di dalam menjaga si
anak kecil itu, antara si ibu dan suami yang baru ini. Berbeda dengan halnya
kalau suami barunya itu orang lain. Sesungguhnya apabila orang itu menikahi ibu
dari anak kecil itu maka ia tidak bisa mengasihinya dan tidak dapat
memperhatikan kepentingannya dengan baik. Karena ini nantiya dapat mengakibatkan
suasana tanpa kasih sayang, udara yang mesra dan keadaan yang dapat
menumbuhkannya bakat dan pembawaan anak yang baik. Akan tetapi Al-hasan dan
ibnu hazm berpendapat bahwa ibu yang kawin dengan laki-laki manapun tidaklah
kegilangan hak hadhonahnya.
7.
Merdeka
Seorang
budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan tauannya sehingga ia tidak
memiliki kesempatan untuk mengasuh anak kecil. Ibnu Qoyyim berkata “ tentang
syarat-syarat merdeka ini tidak ada dalilnya yang meyakinkan hati. Hanya saja
murid-murid dari tiga imam madzhab sajalah yang menetapkannya. Imam malik
berkata tentang seorang laki-laki yang merdeka yang mempunyai anaka dari budak
perempuannay, sesungguhnya ibunya lebih berhak terhadap anaknya selama ibunya
tidak dijual. Jika ia di jual maka hak hadhonahnya berpindah dan ayahnyalah
yang lebih berhak atas anaknya.
e.
Upah hadhonah
Upah hadhonah seperti
upah menyusui, ibu tidak berhak atas upah hadhonah selama ia masih menjadi
istri dari ayah anak kecil ini atau selama masih masa iddahnya. Hal ini karena
ian dalam keadaan tersebut masih mempunyai hak nafkah sebagai istri atau nafkah
masa iddahnya. Allah berfrman yang artinya:
“para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf...”(Q.S
al-baqoroh:223)
Adapun sesudah habis
masa iddahnya ia berhak akan upah itu seperti haknya kepada upah menyusui
karena Allah berfirman:
“.... maka berikanlah kepada mereka
(istri-istri yang tertalak) nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak) kamu untukmu maka berikanlah kepada mereka
upahnya, dan musyawarakanlah diantara kamu (segala sesuatu) drngan baik dan
jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya”(Q.S at-thalaaq:6)
Perempuan selain ibunya
boleh menerima upah hadhonah sejak saat menangani hadhonah nya seperti halnya
perempuan penyusu yang bekerja menyusui anak kecil dengan bayaran atau upah.
Seperti halnya ayah wajib membayar upah penyusuan danhadhonah, ia juga wajib
membayar ongkos sewa rumah atau perlengkapannya jika si ibu tidak punya rumah
sendiri sebagai tempat mengasuh anak kecilnya. Ayah juga wajib membayar gaji
pembantu rumah tangga atau menyediakan pembantu tersebut jika si ibu
membutuhkannya dan ayah memiliki
kemampuan.
Hal ini bukan termasuk
kedalam bagian nafkah khusus bagi anak kecil, seperti makan, minum, tempat
tidur, obat-obatan dan keperluan lain-lain yang pokok yang sangat
dibutuhkannya. Gaji ini hanya wajib dikeluarkannya di saat hadhinah (ibu
pengasuh) menangani asuhannya. Gaji (upah) ini menjadi utang yang di tanggung oleh
ayah ia barubisa terlepas dari tanggungn ini kalau dilunasi atau dibebaskan.
f.
Masa hadhonah dan memberi pilihan kepada anak
sesudah habis masa hadhonah
Hadhonah berhenti
(habis) apabila anak kecil tersebut sudah tidak lagi memerlukan pelayanan
perempuan, telah dewasa, dan dapat berdiri sendiri serta telah mampu untuk
mengurus sendiri kebutuhan pokoknya, seperti makan sendiri, berpakaian sendiri,
mandi sendiri dan dalam hal ini tak ada batasan tertentu. Hanya saja ukuran
yang dipakai ialah tamyiz dan kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan
buruk. Seperti fatwa pada madzhab Hanafi dan lain-lainnya berkata “masa
hadhonah berakhir (habis) bilamana anak telah berumur tujuh tahun kalau
laki-laki sedangkan sembilan tahun untuk perempuan. Mereka menetapkan masa
hadhonah perempuan lebih lama agar dia dapat menirukan kebiasan-kebiasaan
kewanitaannya pada hadhinahnya (ibu asuhnya).
Sedangkan apabila masa
hadhonah anak sudah berakhir maka
seorang
g.
Larangan mengasuh anak
Ada beberapa hambatan yang menyebabkan dilarangnya
mengasuh anak diantaranya adalah:
1.
Perbudakan
Barang
siapa yang memiliki status sebagai budak maka tidak punya hak mengasuh anak
walau sedikit pun karena mengasuh anak termasuk hak dari seorang wali,
sedangkan budak tidak memiliki hak sebagai wali, karena ia senantiasa disibukan
untuk melayani majikannya dan manfaat yang dapat diperoleh darinya adalah hak
dari majikan mutlak.
2.
Kefasikan
Sebab
orang yang fasik tidak bisa diberi kepercayaan dalam mengasuh anak , ia sangat
membahayakan anak asuh dikarenakan buruknya didikan dan perilakunya, maka hal
ini dapat menjadikan seorang anak seperti pengasuhnya pula yang senantiasa
mengikutinya.
3.
Kekafiran
Seorang
yang kafir tidak berhak mengasuh seorang muslim karena kedudukan orang kafir
dalam hal mengasuh anak lebih jauh daripada seorang yang fasik, maka ia lebih
tidak berhak lagi dalam masalah ini. Bahaya yang dapat ditimbulkan lebih parah
dibanding dengan orang yang fasik dan dia dapat merusak akidah anak asuh bahkan
bisa jadi akan mengajaknya keluar dari islam dengan ajaran-ajaran kafir.
4.
Ibunya menikah lagi
Jika
seorang ibu telah menikah dengan seorang
yang asing dari ank tersebut maka hak
asuhnya hilang sebagaimana sabda Nabi SAW
yang diperuntukan bagi seorang ibu .”kamu yang paling berhak terhadap
anak itu selama kamu belum menikah dengan orang lain”. Sebab, jika belum
menikah maka mantan suaminya masih berhak mendapatkann manfaat darinya dan
berhak melarangnya untuk lari dari tanggung jawab mengasuh anak mereka dan yang
dimaksut dengan orang asing adalah orang yang tidak memiliki hubungan kerabat
dengan si anak maka ia masih tetap memiliki hak mengasuh anaknya.
No comments:
Post a Comment