A.
AL-MAIDAH 8
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَلِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا
يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنََٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓأَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ
أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ
ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ ٨
ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ ٨
Hai orang-orang
yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku
adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
شُهَدَآءَ
Menjadi saksi
|
لِلَّهِ
Karena Allah
|
قَوَّٰمِينَ
Orang-orang yang selalu menegakkan
kebenaran
|
كُونُواْ
Hendaklah kamu Jadi
|
ءَامَنُواْ
Yang beriman
|
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
Wahai orang-orang
|
ٱعۡدِلُواْ
Berbuat adillah
|
أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ
Berlaku tidak adil
|
عَلَىٰ
atas (mendorong)
|
شَنََٔانُ قَوۡمٍ
Benci Terhadap sesuatu kaum
|
وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ
Dan janganlah kamu berbuat dosa
|
بِٱلۡقِسۡطِ
Dengan adil
|
خَبِيرُۢ
Maha mengetahui (waspada)
|
إِنَّ ٱللَّهَ
Sesungguhnya Allah
|
وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ
Dan bertaqwalah kepada Allah
|
لِلتَّقۡوَىٰۖ
Kepada taqwa
|
أَقۡرَبُ
Lebih dekat
|
هُوَ
Itu (adalah)
|
بِمَا تَعۡمَلُونَ
Dengan apa yang kamu kerjakan
|
B.
AYAT-AYAT YANG BERKAITAN DENGAN AL-MAIDAH 8
a. Al-Nisa 58
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.
b. Al-Nisa 135
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu
bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin
menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa
yang kamu kerjakan.
c. Al-Hujurat 9
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah
kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian
terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai
surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara
keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil.
C.
KATA AL-‘ADLU DAN AL-QISTHU
Dalam kaidah tafsir ada bab tentang al-Wujuh (musytarak) wa an-Nadhair (mutaradif) .
Al-Wujuh adalah kata yang sama sepenuhnya, dalam huruf dan bentuknya, yang
ditemukan dalam berbagai redaksi (ayat), tetapi beraneka ragam makna yang
dikandungnya. Misalnya , kata ummat yang terulang dalam al-Qur’an sebanyak 52
kali. Al-Husain bin Muhammad al-Damighany, yang hidup pada abad 11 H, menyebut
Sembilan arti untuk kata itu, yaitu kelompok, agama tauhid, waktu yang panjang,
kaum, pemimpin, generasi lalu, umat Islam, orang-orang kafir, dan manusia
seluruhnya. Sementara al-Nadhair adalah makna dari satu kata dalam satu ayat
sama dengan makna tersebut pada ayat yang lain, kendati menggunakan kata yang
berbeda. Seperti kata insane dengan basyar, kata qalb dengan fuad, kata nur dan
dhiya’, kata qara’a dan tala.
a.
Kata
al-‘Adlu
Kata ‘adl adalah bentuk dari kata kerja
‘adala-ya’dilu-‘adlan-wa uduulan wa ‘adaalatan. Kata kerja ini berakar pada
huruf ’ain, dal dan lam, yang makna pokoknya dalah al-Istiwa’
(keadaan lurus) dan al-I’wijaj (keadaan menyimpang). Jadi
rangklaian-rangkain huruf tersebut mengandung makna yang bertolak belakang,
yaakni lurus atau sama dan bengkok atau berbeda. Dari makna pertama, kata ‘adl
berarti menetapkan hukum dengan benar. Jadi, seorang yang ‘adl adalah berjalan
lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, ukan ukuran yang ganda.
Persamaan itulah yang merupakan makna asaal kaata ‘adl, yang menjadikan
pelakunya tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih, dan pada
dasarnya pula seorang yang ‘adl berpihak
kepada yang benar. Karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus
memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak
sewenang-wenang.
Al-Asfahani
menyatakan bahwa kata ‘adl berarti memberi pembagian yang sama. Sementara itu
pakar lain mendefinisikan kata’adl dengan penempatan sesuatu pada tempatnya.
Ada juga yang mengatakan bahwa ‘adl adalah memberikan hak kepada pemiliknya
melalui jalan yang terdekat. Hal ini sejalan dengan al-Maraghi yang memberikan
makna ‘adl dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif.
Kata ‘adl di
dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali di dalam al-Qur’an. Kata
‘adl sendiri disebutkan 13 kali, yaakni pada al-Baqarah 48, 123, 282, al-Nisa
58, al-Maidah 95 dua kali daaaan 1106, al-An’am 70, al-Nahl 76 daan 90,
al-Hujurat 9, serta al-Thalaq 2.
Kata ‘adl di
dalam al-Qur’an memiliki aspek daan objek yang beraaagam, begitu pula
pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna’adl. Menurut
penelitian Quraish Shihab bahwa paling tidak ada empaat makna keadilan.
1.
‘Adl dalam
arti sama
2.
‘Adl dalam
arti seimbang
3.
‘Adl dalam
arti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada
setiap pemiliknya, dan lawannya adalah kezaliman
4.
‘Adl dalam
arti yang dinisbatkan kepada Allah (rahmat dan kebaikan Allah ).[1]
b. Kata al-Qisthu
Kata
Al-Qisth mengandung pengertian al-Nasib (bagian). Dari pengertian
tersebut muncul dua makna pokok yang bertentangan, yakni al-Qisthu=
keadilan dan al-Qasth= kecurangan. Al-Raghib al-Asfahani
menyatakan bahwa al-Qisth bermakna mengambil bagian orang lain.
Itu adalah kecurangan. Sementara al-Iqsath bermakna memberikan
bagian orang lain yang berarti bertindak secara proporsional. Selanjutnya,
al-Asfahani memberikan contoh qasatharrajulu apabila yang
bersangkutan berlaku curang, dan aqsatharraajulu apabila ia
berlaku adil.
Al-Qisth di dalam al-Qur’an, dengan
berbagai bentuk kata turunannya, di sebut 25 kali. Di dalam bentuk mashdar
disebutkan sebanyak 15 kali, masing-masing di dalam QS Ali Imran 18, al-Nisa
127 dan 135, al-Maidah 8 dan 42, al-An’am 152, al-A’raaaf 29, Yunus 4,47 dan
54, Hud 85, al-Anbiya 47, al-Rahman 9, serta al-Hadid 25. Di dalam bentuk isim
tafdhil disebut 2 kali, yakni di dalam al-Baqarah 282 dan al-Ahzab 33. Di dalam
bentuk fiil mudhari’ disebut 2 kali yakni daalam surat al-Nisa 3 dan
al-Mumtahanah 8. Di dalam bentuk perintah di sebut satu kali, yakni dalam surat al-Hujurat 9, sedangkan dalam
bentuk isim fail disebut 5 kali, masing-masing 2 kali berasal dari bentuk
stulassyi yakni aal-Qasith, di daaalam al-Jin 114 dan 15, sedangkan dari bentuk
mazid yakni al-Muqssith sebanyak 3 kali, yakni al-Maidah 42, al-Hujurat 9, dan
al-Mumtahanah 8.
Istilah al-Qisth dengan berbagai
bentuk turunannya di dalam al-Qur’an secara umum berbicara mengenai keadilan,
terutama pada aspek terselenggaranya hak-hak yang menjadi milik seseorang secara proporsional. Dari 25
kali pengungkapan al-Qisth tersebut, hanya dua ayat yang mengandung pengertian
kecurangan dan kekufuran, masing-masing dalam surat al-Jin 14 dan 15. Dua ayat
tersebut menunjuk kepada golongan jin yang dinyatakan bahwa sebagian di antara
mereka ada yang senantiasa berserah diri kepada Allah dan adapula yang curang
dan menyimpaang dari kebenaran.
Dalam ensiklopedi al-Qur’an lafadz
al-Qisthu dalam al-Qur’an secara umum mempunyai beberapa makna di antaranya:
1.
Al-Qisthu
dalam arti berbicara mengenai keadilan, terutama pada aspek terselenggaranya
hak-hak yang menjadi milik seseorang secara proporsional
2.
Al-Qisthu
dalam arti kecurangan dan kekufuraan,
terdapat pada surat al-Jin 14 dan 15. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa
sebagian di antara mereka adaa yang senantiasa berserah diri kepada Allah dan
adapula yang curang daan menyimpang dari kebenaran.
3.
Al-Qisthu
dalam arti berbicara tentang keadilan yang berkaitan dengan penempatan sesuatu
secara proporsional. Karenanya keadilan yang diungkap dengan istilah itu
menyangkut berbagai konteks yang bervariasi. Contoh bahwa Allah sebagai penegak
keadilan (Ali Imran 18), allah menempatkan timbangan pada hari kiamat dengan
seadil-adilnya (al-Anbiya 47), setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai
dengan amalnya(Yunus 4, 47, 54), seorang anak menisbatkan kepada bapak
biologisnya bukan pada bapak angkatnya (al-Ahzab 33), dalam hal utang piutang
sebaiknya hutang itu dicatat dengan baik al-Baqarah 282
4.
Al-Qisthu
dalam arti berkaitan dengan keadilan yang berdimensi formal, yakni pemenuhan
hak-hak yang telah diatur secara saah oleh aturan-aturan hukum yang bersifat
operasional. Contoh menegakkan keadilan berdasarkan al-Qur’an (al-Hadid 25)
5.
Al-Qisthu
dalam arti berlaku adil di dalam berbagai aktifitas kehidupan kemasyarakatan
tanpa membedakan agama, kedudukan dll. Contoh yang lemah seperti anak yatim
juga harus diayomi (al-Nisa 127).
6.
Al-Qisthu
dalam arti berlaku adil ketikaa bertindak sebagai hakim (aal-Maidah 42), maupun
ketika menjadi saksi (al-Nisa 135 dan al-Maidah 8)
7.
Al-Qisthu
dalam arti berlaku adil dan larangan berlaku curang dalam hubungan sosial dan
ekonomi, karenanya takaran dan timbangan serta alat ukur apapun harus
mencerminkan keadilan (al-An’am 152, Hud 85, al-Rahman 9)
Dari beberapa makna di atas, istilah al-Qisthu yang dinyatakan
dalam al-Qur’an, memberikan petunjuk untuk secara aktif berupaya mewujudkan
keadilan di dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Sementara itu istilah
al-Qisthu yang muncul dari bentuk al-Iqsaath, menekankan terwujudnya keadilan
yang didasarkan pada sifat tenggang rasa dan pengendaalian diri, terutama
ketika menjadi penegak hukum. (lihat dalam al-Nisa 3 di mana seorang wali anak
yatim berupaya mengendalikan diri daan tidak berlaku sewenang-wenang terhadap
harta anak yatim , al-Mumtahanah 8 di mana umat Islam harus berlaku adil dengan
non muslim yang tidak bermusuhan
D.
Asbab
al-Nuzul
Sebab turun
ayat ini adalah berkenaan dengan diri usman bin thalhah bin abu thalhah ketika
terjadi peristiwa fathu makkah. Nama asli abu thalhah ayah usman ini ialah
Abdullah bin Abdul Uzza bin Usman Abdid Daar bin Qushai bin Kilab Al Quraisy
Al-Atbari. Ia merupakan juru kunci (hajib) yang mulia.
Menurut Ibnu
Katsir, sebab turun ayat ini adalah ketika Rasulullah SAW meminta kunci Ka’bah
darinya (Usman) sewaktu penaklukan Mekah lalu menyerahkannya kembali kepadanya.
Kisah
selanjutnya, Ali Bin Abu Thalib juga memohon kepada Nabi Saw agar kunci
diserahkan kepadanya. Namun Nabi Muhammad SAW menyerahkan kepadanya Usman Bin
Thalhah bin Abu thalhah. Begitu pula Ibnu Marduwaih meriwayatkan dari jalan
Thoriq Al-Kalabi dari Abu Sholih dari Ibnu Abbas, ketika terjadi fathu mekah
Rasulullah saw memanggil usman bin thalhah bin abi thalhah untuk menyerahkan
kunci ka’bah. Ketika usman bin thalhah hendak menyrahkan kunci trsebut, Abbas
berdiri kemudian berkata kepada Rasul agar menyerahkan kunci itu kepadanya.
Mendengar
perkataan Abbas tersebut, Usman bin thalhah urung menyerahkan kunci tersebut
kepada Rasulullah Saw. Lantas Rasulullah meminta kembali kepada usman ketika
usman hendak menyerahkan. Abbas kembali berdiri dan berkata seperti perkataan
semula. Usman pun urung menyerahkan kunci tersebut. Kejadian ini berulang
sampai tiga kali. Rasulullah saw bersabda : “hai usman, jika kamu beriman
kepada Allah dan hari akhir, serahkanlah kunci itu kepadaku”. Mendengar
Rasulullah berkata demikian usman pun menyerahkan kunci tersebut. Setelah
Rasulullah menerima kunci Rasul masuk kedalam ka’bah dan melihat gambar nabi
Ibrahim tersebut Rasulullah meminta air dan membersihkan gambar tersebut.
Setelah itu beliau melakukan thawaf, namun, baru sekitar satu atau dua putaran
malaikat jibril turun dan menyampaikan ayat tersebut.
E.
PENJELASAN AYAT
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ
Maksudnya adalah jadilah kalian sebagai penegak kebenaran
karena Allah SWT, bukan karena manusia atau mencari popularitas. Dan jadilah
kalian “menjadi saksi dengan adil”. Maksudnya, secara adil dan bukan
secara curang.[2]
Dan juga tegakkanlah kebenaran itu terhadap orang lain
dengan cara menyuruh mereka melakukan yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran,
dalam rangka mencari ridha Allah.
شُهَدَآءَ
بِٱلۡقِسۡطِۖ
Bil Qisthi menurut Ibnu kasir berkeadilan atau tidak
curang[3].
Sementara kesaksian disini yang dimaksud adalah menyatakan kebenaran sesuai
dengan yang dilihatnya tidak menambah dan tidap pula mengurangi kepada hakim,
supaya diputuskan hukum berdasarkan kebenaran itu. Atau, hakim itulah yang
menyatakan kebenaran dengan memutuskan atau mengakuinya bagi yang melakukan
kebenaran. Jadi, pada dasarnya ialah berlaku adil tanpa pandangbulu, baik
terhadap orang yang disaksikan maupun peristiwa yang disaksikan, tak boleh
berat sebelah, baik karena saudara, harta ataupun pangkat, dan tak boleh
meninggalkan keadilan sebab orang tersebut miskin
وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنََٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ
Dan janganlah permusuhan dan kebencian kamu terhadap
suatu kaum mendorongmu untuk bersikap tidak adil terhadap mereka. Jadi, tatkala
memberikan kesaksian harus berdasarkan kebenaran dan bukan karena faktor
kebencian atau persahabatan sehinggan menyimpang dari kebenaran ataupun
keadilan
ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ
Kalimat ini merupakan penekanan dari kalimat sebelumnya,
karena betapa pentingnya keadilaan itu, sehingga Allah mengingatkan dengan
berulang-ulang. Dan orang yang berbuat adil itu sangat dekat dengan sifat taqwa
daan dapat disimpulkan bahwa salah satu wujud taqwa adalah berbuat adil.
وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ
Oleh sebab itu, bertaqwalah kepada Allah dengan melakukan
keadilan yang sebenarnya dan jangan curang, karena sesungguhnya Allah maha
mengetahui atas apa yang diperbuat manusia
F.
HADIS DAN PENDAPAT ULAMA BERKAITAN DENGAN KEADILAN
عن عبدالله بن عمرو بن العاص رضي الله تعالى عنهما قال: قال
رسول الله صل الله عليه و سلّم : (( انّ المقسطين عند الله على منابر من نور, عن
يمين الرحمن عزّوجلّ وكلتا يديه يمين, الذين يعدلون في حكمهم واهليهم وما ولوا )).
(اخرجه مسلم)
Dari
Abdullah ibnamribn ash , telahbersabdaRosulullah “Sesungguhnya orang yang
adilberadadekatdengan ALLAHdiatasmimbardaricahaya, disebelahkanan ALLAHdantangankeduaNYAadalahkanan,
yaitumereka yang adildidalamhukummerekadankepadakeluargamerekadansegala yang
diamanahkankepadamereka.” (HR. Muslim)
Menurut al-Ghozali keadilan penting
sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu ia
pernah menyatakan bahwa pemerintah atau penguasa adalah karunia tuhan.
Pelaksanaannya diemban oleh orang-orang terpilih dan mereka bertanggung jawab
kepaaada Tuhan. Tugas pemerintah adalah menghadirkan kesejahteraan bagi segenap
rakyat melalui prinsip-prinsip keadilan sessuai perintah agama.[4]
G.
ANALISIS
Dalam tafsir fi zhilal al-Qur’an, sayyid Qutb
menjelaskan, sebelumnya Allah telah melarang orang-orang beriman, agar jangan
sampai kebencian mereka kepada orang-orang yang menghalang-halangi mereka masuk
ke Masjidil Haram itu menjadikan mereka melakukan pelanggaran dan tindakan
melampaui batas terhadap musuh mereka. Maka, sekarang mereka diwanti-wanti agar
rasa kebencian mereka kepada orang lain jangan sampai menjadikan mereka
berpaling dari keadilan. Kemudian dilanjutkan dengan tindakan menegakkan
keadilan meskipun di dalam hati
terdaapat perasaan benci dan tidak suka kepada yang bersangkutan.[5]
Quraish
Shihab dalam tafsir al-Mishbahnya menjelaskan Ayat ini masih merupakan lanjutan
pesan-pesan Ilahi diatas. Al-Biqa’i mengemukakan bahwa karena sebelum ini telah
ada perintah untuk berlaku adil terhadap istri-istri, yaitu pada awal surah dan
akan ada pada pertengahan surah nanti, sedang ada diantara istri-istri itu yang
non muslim (ahl kitab) karena surat
inipun telah mengizinkan untuk mengawininya, adalah sangat sesuai bila izin
tersebut disusuli dengan perintah untuk bertakwa.karena itu ayat ini menyeru :
hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi qawwamin, yakni
orang-orang yang selalu dan bersungguh-sungguh menjadi pelaksana yang sempurna
terhadap tugas-tugas kamu, terhadap wanita,dll dengan menegakkan kebenaran demi
karena Allah serta menjadi saksi dengan adil.[6]
Maka
pada ayat ini al-Thabari menta’wilkan orang-orang yang beriman hendaknya
menegakkan kebenaraan karena Allah dan hendaknya menjadi saksi yang adil
terhadap musuh-musuh dan sahabat-sahabat kalian. Serta janganlah kalian berlaku
jahat dalam memutus perkara dan berbuat, sehingga kamu melewati apa yang
dibatasi untuk kalian berkaitan dengan musuh-mush kalian lantaran permusuhan
mereka terhadap kalian. selain itu janganlah mempermainkan hukum-hukum dan
batas-batas Allah terhadap sahabat kalian karena sebuah persahabatan, akan
tetapi berhentilah dalam sebuah masalah kepada batas-batasan Alah dan
kerjakanlah.[7]
Kandunganinti pada ayat ini Allah
memerintahkan kepada orang-orang yang mukmin agar dapat melaksanakan amal dan
pekerjaan mereka dengan cermat jujur dan ikhlas karena Allah, baik pekerjaan
yang bertalian dengan urusan agama maupun pekerjaan yang bertalian dengan
urusan kehidupan duniawi. Karena hanya dengan demikianlah mereka bisa sukses
dan memperoleh hasil atau balasan yang mereka inginkan dan harapkan. Dalam
penyaksian, mereka harus adil menerangkan apa yang sebenarnya tanpa memandang
siapa orangnya, sekalipun akan menguntungkan lawan dan merugikan sahabat dan
kerabat. Ayat ini senafas dan seirama dengan surah An Nisa' ayat 135 yaitu
sama-sama menerangkan tentang seseorang yang berlaku adil dan jujur dalam
persaksian. Perbedaannya ialah dalam ayat tersebut diterangkan kewajiban
berlaku. adil dan jujur dalam persaksian walaupun kesaksian itu akan merugikan diri
sendiri, ibu dan kerabat, sedang dalam ayat ini diterangkan bahwa kebencian
terhadap sesuatu kaum tidak boleh mendorong seseorang untuk memberikan
persaksian yang tidak adil dan tidak jujur, walaupun terhadap lawan
Selanjutnya secara luas dan menyeluruh, Allah
memerintahkan kepada orang orang yang beriman, supaya berlaku adil, karena
keadilan dibutuhkan dalam segala hal, untuk mencapai dan memperoleh
ketenteraman, kemakmuran dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu
berlaku adil adalah jalan yang terdekat untuk mencapai tujuan bertakwa kepada
Allah. Pada akhir ayat ini Allah menyatakan janji-Nya bahwa kepada orang-orang
yang beriman yang banyak beramal saleh akan diberikan ampunan dan pahala yang
besar. Dan janji Allah pasti ditepati-Nya
Dan peliharalah dirimu
dari murka Allah dan hukumanNya, karena tak ada sesuatu pun dari amalmu yang
tersembunyi bagi Allah, baik amal lahiriyah maupun bathiniyah. Dan hati-hatilah
terhadap balasan Allah terhadapmu, dengan adil, bila kamu meninggalkan keadilan.
Karena, sunnatullah pada makhlukNya telah berlaku, bahwa meninggalkan keadilan,
balasannya didunia ialah kehinaan dan kenistaan, baik itu dilakukan oleh bangsa
atau individu, sedang di akhirat ialah kesengsaraan pada hari hisab.
Dan janganlah sekali-kali
kebencian kamu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil,
baik terhadap keluarga istri kamu yang ahl kitab itu maupun terhadap sekalian
mereka. Berlaku adillah, terhadap siapapun walau atas dirimu sendiri karena ia,
yakni adil itu lebih dekat kepada taqwa yang sempurna daripada selain adil. Dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Perbedaan redaksi boleh
jadi disebabkan ayat surat an-Nisa diatas dikemukakan dalam konteks ketetapan
hukum dalam pengadilan yang disusul dengan pembicaraan tentang kasus seorang
muslim yang menuduh seorang yahudi secara tidak sah, selanjutnya dikemukakan
uraian tentang hubungan pria dan wanita sehingga yang ingin digaris bawahi oleh
ayat itu adalah pentingnya keadilan, kemudian disusul dengan kesaksian. Karena
itu, redaksinya mendahulukan kata al-qisth (adil) baru kata syuhada’
(saksi-saksi).
Adapun pada ayat al-Maidah
ini, ia dikemukakan setelah mengingatkan perjanjian-perjanjian dengan Allah dan
RasulNya sehingga yang ingin digaris bawahi adalah pentingnya melaksanakan
secara sempurna seluruh perjanjian itu, dan itulah yang dikandung oleh kata
qawwamin lillah. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat surat an-Nisa dikemukakan
dalam konteks kewajiban berlaku adil terhadap diri, kedua orang tua dan kerabat
sehingga wajar jika kata al-qisth/keadilan yang didahulukan, sedang ayat
al-Maidah diatas dikemukakan dalam konteks permusuhan dan kebencian sehingga
yang perlu lebih dahulu diingatkan adalah keharusan melaksanakan segala sesuatu
demi karena Allah karena hal ini yang akan lebih mendorong untuk meninggalkan
permusuhan dan kebencian.
Diatas dinyatakan bahwa
adil lebih dekat kepada taqwa. Perlu dicatat bahwa keadilan dapat merupakan
kata yang menunjuk substansi ajaran Islam. Jika ada agama yang menjadikan kasih
sebagai tuntunan tertinggi, Islam tidak demikian. Ini karena kasih, dalam
kehidupan pribadi aplagi masyarakat, dapat berdampak buruk. Bukankah jika anda
merasa kasihan kepada seorang penjahat, anda tidak menghukumnya?adil adalah
menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Jika seseorang memerlukan kasih,
dengan berlaku adil anda dapat mencurahkan kasih kepadanya. Jika seseorang
melakukan pelanggaran dan wajar mendapat sanksi yang berat, ketika itu kasih
tidak boleh berperanan karena ia dapat menghambat jatuhnya ketetapan hukum
atasnya. Ketika itu, yang dituntut adalah adil, yakni menjatuhkan
hukuman setimpal atasnya.[8]
[1]M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedi al-Qur’an 1, Jakarta, Lentera Hati,2007,
h 5-7
[2] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Lubaabut
Tafsir Min Ibni Katsiir,Mu-assasah Daar al-Hilaal Kairo,Kairo,1994,hal.57
[3]Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Fikir, Beirut, h 495
[4]Diunduh dari Islamensiklopedi, Blogspot.co.id pada tanggal 29-11-20116
[5]Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an Jilid 3, Darus Syuruq, Beirut, 1992 182
[6]M.QuraisShihab,
Tafsir Al-Misbah, (PisanganCiputat:Lentera Hati,2009), hal.49
[7]Al-Thabari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil al-Qur’an Jilid 4, Dar al-Fikr Beirut,
2001, h 176-177
[8]Ahmad Mustafa Al-Maragi,Tafsir Al-Maragi,PTKaryaToha
Putra Semarang,Semarang,cet. Ke-1,1987,cet. Ke-2,1993,hal.127
No comments:
Post a Comment