Labels

22 Feb 2017

Keadilan Perspektif Surat AlMaidah Ayat 8

https://loronghki.blogspot.co.id/

A.           AL-MAIDAH 8

 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَلِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَ‍َٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓأَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ
ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ ٨
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

شُهَدَآءَ
Menjadi saksi
لِلَّهِ
Karena Allah
قَوَّٰمِينَ
Orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran
كُونُواْ
Hendaklah kamu Jadi
ءَامَنُواْ
Yang beriman
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
Wahai orang-orang
ٱعۡدِلُواْ
Berbuat adillah
أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ
Berlaku tidak adil
عَلَىٰ
atas (mendorong)
شَنَ‍َٔانُ قَوۡمٍ
Benci Terhadap sesuatu kaum
وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ
Dan janganlah kamu berbuat dosa
بِٱلۡقِسۡطِ
Dengan adil

خَبِيرُۢ
Maha mengetahui (waspada)
إِنَّ ٱللَّهَ
Sesungguhnya Allah

وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ
Dan bertaqwalah kepada Allah
لِلتَّقۡوَىٰۖ
Kepada taqwa
أَقۡرَبُ
Lebih dekat
هُوَ
Itu (adalah)

بِمَا تَعۡمَلُونَ
Dengan apa yang kamu kerjakan


B.            AYAT-AYAT YANG BERKAITAN DENGAN AL-MAIDAH 8
a.       Al-Nisa 58
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.
b.      Al-Nisa 135
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
c.       Al-Hujurat 9
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

C.           KATA AL-‘ADLU DAN AL-QISTHU
Dalam kaidah tafsir ada bab tentang al-Wujuh  (musytarak) wa an-Nadhair (mutaradif) . Al-Wujuh adalah kata yang sama sepenuhnya, dalam huruf dan bentuknya, yang ditemukan dalam berbagai redaksi (ayat), tetapi beraneka ragam makna yang dikandungnya. Misalnya , kata ummat yang terulang dalam al-Qur’an sebanyak 52 kali. Al-Husain bin Muhammad al-Damighany, yang hidup pada abad 11 H, menyebut Sembilan arti untuk kata itu, yaitu kelompok, agama tauhid, waktu yang panjang, kaum, pemimpin, generasi lalu, umat Islam, orang-orang kafir, dan manusia seluruhnya. Sementara al-Nadhair adalah makna dari satu kata dalam satu ayat sama dengan makna tersebut pada ayat yang lain, kendati menggunakan kata yang berbeda. Seperti kata insane dengan basyar, kata qalb dengan fuad, kata nur dan dhiya’, kata qara’a dan tala.

a.         Kata al-‘Adlu
Kata ‘adl adalah bentuk dari kata kerja ‘adala-ya’dilu-‘adlan-wa uduulan wa ‘adaalatan. Kata kerja ini berakar pada huruf ’ain, dal dan lam, yang makna pokoknya dalah al-Istiwa’ (keadaan lurus) dan al-I’wijaj (keadaan menyimpang). Jadi rangklaian-rangkain huruf tersebut mengandung makna yang bertolak belakang, yaakni lurus atau sama dan bengkok atau berbeda. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti menetapkan hukum dengan benar. Jadi, seorang yang ‘adl adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, ukan ukuran yang ganda. Persamaan itulah yang merupakan makna asaal kaata ‘adl, yang menjadikan pelakunya tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang  yang ‘adl berpihak kepada yang benar. Karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang.
   Al-Asfahani menyatakan bahwa kata ‘adl berarti memberi pembagian yang sama. Sementara itu pakar lain mendefinisikan kata’adl dengan penempatan sesuatu pada tempatnya. Ada juga yang mengatakan bahwa ‘adl adalah memberikan hak kepada pemiliknya melalui jalan yang terdekat. Hal ini sejalan dengan al-Maraghi yang memberikan makna ‘adl dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif.
   Kata ‘adl di dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali di dalam al-Qur’an. Kata ‘adl sendiri disebutkan 13 kali, yaakni pada al-Baqarah 48, 123, 282, al-Nisa 58, al-Maidah 95 dua kali daaaan 1106, al-An’am 70, al-Nahl 76 daan 90, al-Hujurat 9, serta al-Thalaq 2.
   Kata ‘adl di dalam al-Qur’an memiliki aspek daan objek yang beraaagam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna’adl. Menurut penelitian Quraish Shihab bahwa paling tidak ada empaat makna keadilan.
1.         ‘Adl dalam arti sama
2.         ‘Adl dalam arti seimbang
3.         ‘Adl dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya, dan lawannya adalah kezaliman
4.         ‘Adl dalam arti yang dinisbatkan kepada Allah (rahmat dan kebaikan Allah ).[1]

b.      Kata al-Qisthu
                    Kata Al-Qisth mengandung pengertian al-Nasib (bagian). Dari pengertian tersebut muncul dua makna pokok yang bertentangan, yakni al-Qisthu= keadilan dan al-Qasth= kecurangan. Al-Raghib al-Asfahani menyatakan bahwa al-Qisth bermakna mengambil bagian orang lain. Itu adalah kecurangan. Sementara al-Iqsath bermakna memberikan bagian orang lain yang berarti bertindak secara proporsional. Selanjutnya, al-Asfahani memberikan contoh qasatharrajulu apabila yang bersangkutan berlaku curang, dan aqsatharraajulu apabila ia berlaku adil.
                    Al-Qisth di dalam al-Qur’an, dengan berbagai bentuk kata turunannya, di sebut 25 kali. Di dalam bentuk mashdar disebutkan sebanyak 15 kali, masing-masing di dalam QS Ali Imran 18, al-Nisa 127 dan 135, al-Maidah 8 dan 42, al-An’am 152, al-A’raaaf 29, Yunus 4,47 dan 54, Hud 85, al-Anbiya 47, al-Rahman 9, serta al-Hadid 25. Di dalam bentuk isim tafdhil disebut 2 kali, yakni di dalam al-Baqarah 282 dan al-Ahzab 33. Di dalam bentuk fiil mudhari’ disebut 2 kali yakni daalam surat al-Nisa 3 dan al-Mumtahanah 8. Di dalam bentuk perintah di sebut satu kali, yakni  dalam surat al-Hujurat 9, sedangkan dalam bentuk isim fail disebut 5 kali, masing-masing 2 kali berasal dari bentuk stulassyi yakni aal-Qasith, di daaalam al-Jin 114 dan 15, sedangkan dari bentuk mazid yakni al-Muqssith sebanyak 3 kali, yakni al-Maidah 42, al-Hujurat 9, dan al-Mumtahanah 8.
                    Istilah al-Qisth dengan berbagai bentuk turunannya di dalam al-Qur’an secara umum berbicara mengenai keadilan, terutama pada aspek terselenggaranya hak-hak yang menjadi  milik seseorang secara proporsional. Dari 25 kali pengungkapan al-Qisth tersebut, hanya dua ayat yang mengandung pengertian kecurangan dan kekufuran, masing-masing dalam surat al-Jin 14 dan 15. Dua ayat tersebut menunjuk kepada golongan jin yang dinyatakan bahwa sebagian di antara mereka ada yang senantiasa berserah diri kepada Allah dan adapula yang curang dan menyimpaang dari kebenaran.
                    Dalam ensiklopedi al-Qur’an lafadz al-Qisthu dalam al-Qur’an secara umum mempunyai beberapa makna di antaranya:
1.         Al-Qisthu dalam arti berbicara mengenai keadilan, terutama pada aspek terselenggaranya hak-hak yang menjadi milik seseorang secara proporsional
2.         Al-Qisthu dalam arti  kecurangan dan kekufuraan, terdapat pada surat al-Jin 14 dan 15. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa sebagian di antara mereka adaa yang senantiasa berserah diri kepada Allah dan adapula yang curang daan menyimpang dari kebenaran.
3.         Al-Qisthu dalam arti berbicara tentang keadilan yang berkaitan dengan penempatan sesuatu secara proporsional. Karenanya keadilan yang diungkap dengan istilah itu menyangkut berbagai konteks yang bervariasi. Contoh bahwa Allah sebagai penegak keadilan (Ali Imran 18), allah menempatkan timbangan pada hari kiamat dengan seadil-adilnya (al-Anbiya 47), setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan amalnya(Yunus 4, 47, 54), seorang anak menisbatkan kepada bapak biologisnya bukan pada bapak angkatnya (al-Ahzab 33), dalam hal utang piutang sebaiknya hutang itu dicatat dengan baik al-Baqarah 282
4.         Al-Qisthu dalam arti berkaitan dengan keadilan yang berdimensi formal, yakni pemenuhan hak-hak yang telah diatur secara saah oleh aturan-aturan hukum yang bersifat operasional. Contoh menegakkan keadilan berdasarkan al-Qur’an (al-Hadid 25)
5.         Al-Qisthu dalam arti berlaku adil di dalam berbagai aktifitas kehidupan kemasyarakatan tanpa membedakan agama, kedudukan dll. Contoh yang lemah seperti anak yatim juga harus diayomi (al-Nisa 127).
6.         Al-Qisthu dalam arti berlaku adil ketikaa bertindak sebagai hakim (aal-Maidah 42), maupun ketika menjadi saksi (al-Nisa 135 dan al-Maidah 8)
7.         Al-Qisthu dalam arti berlaku adil dan larangan berlaku curang dalam hubungan sosial dan ekonomi, karenanya takaran dan timbangan serta alat ukur apapun harus mencerminkan keadilan (al-An’am 152, Hud 85, al-Rahman 9)
                    Dari beberapa makna  di atas, istilah al-Qisthu yang dinyatakan dalam al-Qur’an, memberikan petunjuk untuk secara aktif berupaya mewujudkan keadilan di dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Sementara itu istilah al-Qisthu yang muncul dari bentuk al-Iqsaath, menekankan terwujudnya keadilan yang didasarkan pada sifat tenggang rasa dan pengendaalian diri, terutama ketika menjadi penegak hukum. (lihat dalam al-Nisa 3 di mana seorang wali anak yatim berupaya mengendalikan diri daan tidak berlaku sewenang-wenang terhadap harta anak yatim , al-Mumtahanah 8 di mana umat Islam harus berlaku adil dengan non muslim yang tidak bermusuhan
D.           Asbab al-Nuzul
Sebab turun ayat ini adalah berkenaan dengan diri usman bin thalhah bin abu thalhah ketika terjadi peristiwa fathu makkah. Nama asli abu thalhah ayah usman ini ialah Abdullah bin Abdul Uzza bin Usman Abdid Daar bin Qushai bin Kilab Al Quraisy Al-Atbari. Ia merupakan juru kunci (hajib) yang mulia.
Menurut Ibnu Katsir, sebab turun ayat ini adalah ketika Rasulullah SAW meminta kunci Ka’bah darinya (Usman) sewaktu penaklukan Mekah lalu menyerahkannya kembali kepadanya.
Kisah selanjutnya, Ali Bin Abu Thalib juga memohon kepada Nabi Saw agar kunci diserahkan kepadanya. Namun Nabi Muhammad SAW menyerahkan kepadanya Usman Bin Thalhah bin Abu thalhah. Begitu pula Ibnu Marduwaih meriwayatkan dari jalan Thoriq Al-Kalabi dari Abu Sholih dari Ibnu Abbas, ketika terjadi fathu mekah Rasulullah saw memanggil usman bin thalhah bin abi thalhah untuk menyerahkan kunci ka’bah. Ketika usman bin thalhah hendak menyrahkan kunci trsebut, Abbas berdiri kemudian berkata kepada Rasul agar menyerahkan kunci itu kepadanya.
Mendengar perkataan Abbas tersebut, Usman bin thalhah urung menyerahkan kunci tersebut kepada Rasulullah Saw. Lantas Rasulullah meminta kembali kepada usman ketika usman hendak menyerahkan. Abbas kembali berdiri dan berkata seperti perkataan semula. Usman pun urung menyerahkan kunci tersebut. Kejadian ini berulang sampai tiga kali. Rasulullah saw bersabda : “hai usman, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir, serahkanlah kunci itu kepadaku”. Mendengar Rasulullah berkata demikian usman pun menyerahkan kunci tersebut. Setelah Rasulullah menerima kunci Rasul masuk kedalam ka’bah dan melihat gambar nabi Ibrahim tersebut Rasulullah meminta air dan membersihkan gambar tersebut. Setelah itu beliau melakukan thawaf, namun, baru sekitar satu atau dua putaran malaikat jibril turun dan menyampaikan ayat tersebut.

E.            PENJELASAN AYAT
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ
Maksudnya adalah jadilah kalian sebagai penegak kebenaran karena Allah SWT, bukan karena manusia atau mencari popularitas. Dan jadilah kalian “menjadi saksi dengan adil”. Maksudnya, secara adil dan bukan secara curang.[2]
Dan juga tegakkanlah kebenaran itu terhadap orang lain dengan cara menyuruh mereka melakukan yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran, dalam rangka mencari ridha Allah.
شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ
Bil Qisthi menurut Ibnu kasir berkeadilan atau tidak curang[3]. Sementara kesaksian disini yang dimaksud adalah menyatakan kebenaran sesuai dengan yang dilihatnya tidak menambah dan tidap pula mengurangi kepada hakim, supaya diputuskan hukum berdasarkan kebenaran itu. Atau, hakim itulah yang menyatakan kebenaran dengan memutuskan atau mengakuinya bagi yang melakukan kebenaran. Jadi, pada dasarnya ialah berlaku adil tanpa pandangbulu, baik terhadap orang yang disaksikan maupun peristiwa yang disaksikan, tak boleh berat sebelah, baik karena saudara, harta ataupun pangkat, dan tak boleh meninggalkan keadilan sebab orang tersebut miskin
وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَ‍َٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ
Dan janganlah permusuhan dan kebencian kamu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk bersikap tidak adil terhadap mereka. Jadi, tatkala memberikan kesaksian harus berdasarkan kebenaran dan bukan karena faktor kebencian atau persahabatan sehinggan menyimpang dari kebenaran ataupun keadilan
ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ
Kalimat ini merupakan penekanan dari kalimat sebelumnya, karena betapa pentingnya keadilaan itu, sehingga Allah mengingatkan dengan berulang-ulang. Dan orang yang berbuat adil itu sangat dekat dengan sifat taqwa daan dapat disimpulkan bahwa salah satu wujud taqwa adalah berbuat adil.
وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ
Oleh sebab itu, bertaqwalah kepada Allah dengan melakukan keadilan yang sebenarnya dan jangan curang, karena sesungguhnya Allah maha mengetahui atas apa yang diperbuat manusia

F.            HADIS DAN PENDAPAT ULAMA BERKAITAN DENGAN KEADILAN

عن عبدالله بن عمرو بن العاص رضي الله تعالى عنهما قال: قال رسول الله صل الله عليه و سلّم : (( انّ المقسطين عند الله على منابر من نور, عن يمين الرحمن عزّوجلّ وكلتا يديه يمين, الذين يعدلون في حكمهم واهليهم وما ولوا )). (اخرجه مسلم)
Dari Abdullah ibnamribn ash , telahbersabdaRosulullah “Sesungguhnya orang yang adilberadadekatdengan ALLAHdiatasmimbardaricahaya, disebelahkanan ALLAHdantangankeduaNYAadalahkanan, yaitumereka yang adildidalamhukummerekadankepadakeluargamerekadansegala yang diamanahkankepadamereka.” (HR. Muslim)

            Menurut al-Ghozali keadilan penting sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu ia pernah menyatakan bahwa pemerintah atau penguasa adalah karunia tuhan. Pelaksanaannya diemban oleh orang-orang terpilih dan mereka bertanggung jawab kepaaada Tuhan. Tugas pemerintah adalah menghadirkan kesejahteraan bagi segenap rakyat melalui prinsip-prinsip keadilan sessuai perintah agama.[4]

G.           ANALISIS
                Dalam tafsir fi zhilal al-Qur’an, sayyid Qutb menjelaskan, sebelumnya Allah telah melarang orang-orang beriman, agar jangan sampai kebencian mereka kepada orang-orang yang menghalang-halangi mereka masuk ke Masjidil Haram itu menjadikan mereka melakukan pelanggaran dan tindakan melampaui batas terhadap musuh mereka. Maka, sekarang mereka diwanti-wanti agar rasa kebencian mereka kepada orang lain jangan sampai menjadikan mereka berpaling dari keadilan. Kemudian dilanjutkan dengan tindakan menegakkan keadilan meskipun di dalam hati  terdaapat perasaan benci dan tidak suka kepada yang bersangkutan.[5]
            Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbahnya menjelaskan Ayat ini masih merupakan lanjutan pesan-pesan Ilahi diatas. Al-Biqa’i mengemukakan bahwa karena sebelum ini telah ada perintah untuk berlaku adil terhadap istri-istri, yaitu pada awal surah dan akan ada pada pertengahan surah nanti, sedang ada diantara istri-istri itu yang non muslim  (ahl kitab) karena surat inipun telah mengizinkan untuk mengawininya, adalah sangat sesuai bila izin tersebut disusuli dengan perintah untuk bertakwa.karena itu ayat ini menyeru : hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi qawwamin, yakni orang-orang yang selalu dan bersungguh-sungguh menjadi pelaksana yang sempurna terhadap tugas-tugas kamu, terhadap wanita,dll dengan menegakkan kebenaran demi karena Allah serta menjadi saksi dengan adil.[6]
            Maka pada ayat ini al-Thabari menta’wilkan orang-orang yang beriman hendaknya menegakkan kebenaraan karena Allah dan hendaknya menjadi saksi yang adil terhadap musuh-musuh dan sahabat-sahabat kalian. Serta janganlah kalian berlaku jahat dalam memutus perkara dan berbuat, sehingga kamu melewati apa yang dibatasi untuk kalian berkaitan dengan musuh-mush kalian lantaran permusuhan mereka terhadap kalian. selain itu janganlah mempermainkan hukum-hukum dan batas-batas Allah terhadap sahabat kalian karena sebuah persahabatan, akan tetapi berhentilah dalam sebuah masalah kepada batas-batasan Alah dan kerjakanlah.[7]
Kandunganinti pada ayat ini Allah memerintahkan kepada orang-orang yang mukmin agar dapat melaksanakan amal dan pekerjaan mereka dengan cermat jujur dan ikhlas karena Allah, baik pekerjaan yang bertalian dengan urusan agama maupun pekerjaan yang bertalian dengan urusan kehidupan duniawi. Karena hanya dengan demikianlah mereka bisa sukses dan memperoleh hasil atau balasan yang mereka inginkan dan harapkan. Dalam penyaksian, mereka harus adil menerangkan apa yang sebenarnya tanpa memandang siapa orangnya, sekalipun akan menguntungkan lawan dan merugikan sahabat dan kerabat. Ayat ini senafas dan seirama dengan surah An Nisa' ayat 135 yaitu sama-sama menerangkan tentang seseorang yang berlaku adil dan jujur dalam persaksian. Perbedaannya ialah dalam ayat tersebut diterangkan kewajiban berlaku. adil dan jujur dalam persaksian walaupun kesaksian itu akan merugikan diri sendiri, ibu dan kerabat, sedang dalam ayat ini diterangkan bahwa kebencian terhadap sesuatu kaum tidak boleh mendorong seseorang untuk memberikan persaksian yang tidak adil dan tidak jujur, walaupun terhadap lawan

Selanjutnya secara luas dan menyeluruh, Allah memerintahkan kepada orang orang yang beriman, supaya berlaku adil, karena keadilan dibutuhkan dalam segala hal, untuk mencapai dan memperoleh ketenteraman, kemakmuran dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu berlaku adil adalah jalan yang terdekat untuk mencapai tujuan bertakwa kepada Allah. Pada akhir ayat ini Allah menyatakan janji-Nya bahwa kepada orang-orang yang beriman yang banyak beramal saleh akan diberikan ampunan dan pahala yang besar. Dan janji Allah pasti ditepati-Nya
Dan peliharalah dirimu dari murka Allah dan hukumanNya, karena tak ada sesuatu pun dari amalmu yang tersembunyi bagi Allah, baik amal lahiriyah maupun bathiniyah. Dan hati-hatilah terhadap balasan Allah terhadapmu, dengan adil, bila kamu meninggalkan keadilan. Karena, sunnatullah pada makhlukNya telah berlaku, bahwa meninggalkan keadilan, balasannya didunia ialah kehinaan dan kenistaan, baik itu dilakukan oleh bangsa atau individu, sedang di akhirat ialah kesengsaraan pada hari hisab. 
Dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil, baik terhadap keluarga istri kamu yang ahl kitab itu maupun terhadap sekalian mereka. Berlaku adillah, terhadap siapapun walau atas dirimu sendiri karena ia, yakni adil itu lebih dekat kepada taqwa yang sempurna daripada selain adil. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Perbedaan redaksi boleh jadi disebabkan ayat surat an-Nisa diatas dikemukakan dalam konteks ketetapan hukum dalam pengadilan yang disusul dengan pembicaraan tentang kasus seorang muslim yang menuduh seorang yahudi secara tidak sah, selanjutnya dikemukakan uraian tentang hubungan pria dan wanita sehingga yang ingin digaris bawahi oleh ayat itu adalah pentingnya keadilan, kemudian disusul dengan kesaksian. Karena itu, redaksinya mendahulukan kata al-qisth (adil) baru kata syuhada’ (saksi-saksi).
Adapun pada ayat al-Maidah ini, ia dikemukakan setelah mengingatkan perjanjian-perjanjian dengan Allah dan RasulNya sehingga yang ingin digaris bawahi adalah pentingnya melaksanakan secara sempurna seluruh perjanjian itu, dan itulah yang dikandung oleh kata qawwamin lillah. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat surat an-Nisa dikemukakan dalam konteks kewajiban berlaku adil terhadap diri, kedua orang tua dan kerabat sehingga wajar jika kata al-qisth/keadilan yang didahulukan, sedang ayat al-Maidah diatas dikemukakan dalam konteks permusuhan dan kebencian sehingga yang perlu lebih dahulu diingatkan adalah keharusan melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah karena hal ini yang akan lebih mendorong untuk meninggalkan permusuhan dan kebencian.
Diatas dinyatakan bahwa adil lebih dekat kepada taqwa. Perlu dicatat bahwa keadilan dapat merupakan kata yang menunjuk substansi ajaran Islam. Jika ada agama yang menjadikan kasih sebagai tuntunan tertinggi, Islam tidak demikian. Ini karena kasih, dalam kehidupan pribadi aplagi masyarakat, dapat berdampak buruk. Bukankah jika anda merasa kasihan kepada seorang penjahat, anda tidak menghukumnya?adil adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Jika seseorang memerlukan kasih, dengan berlaku adil anda dapat mencurahkan kasih kepadanya. Jika seseorang melakukan pelanggaran dan wajar mendapat sanksi yang berat, ketika itu kasih tidak boleh berperanan karena ia dapat menghambat jatuhnya ketetapan hukum atasnya. Ketika itu, yang dituntut adalah adil, yakni menjatuhkan hukuman setimpal atasnya.[8]



               


[1]M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedi al-Qur’an 1, Jakarta, Lentera Hati,2007, h 5-7
[2] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsiir,Mu-assasah Daar al-Hilaal Kairo,Kairo,1994,hal.57
[3]Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Fikir, Beirut, h 495
[4]Diunduh dari Islamensiklopedi, Blogspot.co.id pada tanggal 29-11-20116
[5]Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an Jilid 3, Darus Syuruq, Beirut, 1992 182
[6]M.QuraisShihab, Tafsir Al-Misbah, (PisanganCiputat:Lentera Hati,2009), hal.49
[7]Al-Thabari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil al-Qur’an Jilid 4, Dar al-Fikr Beirut, 2001, h 176-177
[8]Ahmad Mustafa Al-Maragi,Tafsir Al-Maragi,PTKaryaToha Putra Semarang,Semarang,cet. Ke-1,1987,cet. Ke-2,1993,hal.127

No comments: