Puncak perkembangan dan penggunaan maslahat sebagai prinsip bahkan metode
penalaran dalam ushul Fiqh (Sejarah ushul fiqh) kelihatan terjadi ditangan Abu
Ishaq al-Syathibi al-Gharnathi (w 790 H/1388 M), yang telah berusaha melakukan
semacam penyempurnaan dan bahkan pembeharuan. Beliau menulis sebuah kitab tentang ushul Fiqh
yang relatif tebal dan mendalam (Al-Muwaqat Fi Ushul Al-Syari’ah, empat
jilid).[1][1] Dengan sistematika yang relatif baru. Dalam
buku ini beliau berupaya mengaitkan uraian tentang maslahat dengan uraian
tentang maqhasid al-syari’ah (tujuan syari’at) secara lebih erat dan
sungguh-sungguh dan menjadikan sebagai salah satu syarat untuk kebolehan
berijtihad. Pembahasan ini dia jadikan sebagai sebuah topik baru yang berdiri
sendiri didalam usgul fiqh karena sebelumnya topik tentang maqashid
al-Syari’at tidak menjadi perhatian besar, dan kalaupun diuraikan selalu
dikaitkan atau dibahas sebagai bagian dari metode lain. Berikut ini akan
diuraikan kategori maqhasid syari’ah dan perannya dalam
menetapkan hukum menurut pandangan Imam Al-Syatibi.
A. Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat
A. Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat
Menurut al-Syatibi ada 3 (tiga) kategori tingkatan kebutuhan untuk mencapai
kemashlahatan,[2]
yaitu:
1. Dharuriyyat adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan
primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan
umat manusia. Keperluan dan perlindungan al-dharuriyyat ini dalam buku ushul
fiqh, termasuk as-Sythibi, membagi menjadi lima buah, yaitu pemenuhan keperluan
serta serta perlindungan yang diperlukan untuk:
a. keselamatan agama (ketaatan ibadah kepada
Allah SWT)
b. keselamatan nyawa (perindividu),
c. keselamatan akal (termasuk hati nurani),
d. keselamatan atau kelangsungan keturunan
(eksistensi manusia) serta terjaga dan terlidunginya harga diri dan kehormatan
seorang dan
e. keselamatan serta perlindungan atas harta
kekayaan yang dikuasai atau dimiliki seorang.
Kelima dharuriyyat tersebut adalah hal
yang mutlak harus ada pada diri manusia. Karenanya Allah swt menyuruh manusia
untuk melakukan segala upaya keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya Allah
swt melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah
satu dari lima dharuriyat yang lima itu. Segala perbuatan yang dapat mewujudkan
atau mengekalkan lima unsur pokok itu adalah baik, dan karenanya harus
dikerjakan. Sedangkan segala perbuatan yang merusak atau mengurangi nilai lima
unsur pokok itu adalah tidak baik, dan karenanya harus ditinggalkan. Semua itu
mengandung kemaslahatan bagi manusia.[3][3] Bila salah satunya tidak ada maka hidup manusia akan terancam, berada
dalam kesulitan yang sangat besar dan berkepanjangan, yang akan membawanya
kepada kepunahan.[4][4]
Mengenai masalah urutan
ada ulama berpendapat bahwa urutan sesuai dengan yang disebutkan diatas,
artinya perlindungan dan pemenuhan keperluan agama didahulukan atas empat yang
dibawahnya dan perlindungan nyawa didahulukan atas tiga dibawahnya dan begitulah
seterusnya secara berurutan. Dan ada juga ulama yang menganggap empat dari lima
keperluan diatas yaitu selain agama setingkat, artinya seorang boleh memilih
mana yang akan diutamakan dan mana yang akan ditinggalkan atau dikorbankan
sesuai dengan pertimbangan dan keadaan nyata yang dia hadapi. Dan semua ulama sepakat bahwa perlindungan agama
merupakan yang tertinggi.[5][5]
Untuk menegakkan agama,
manusia disuruh beriman kepada allah, rasul, kitab suci, malaikat, hari akhir,
mengucapkan dua kalimat syahadat, serta melakukan ibadah yang pokok lainnya.
Untuk menjaga agama, allah menyuruh manusia untuk berjihad di jalan allah
sebagaimana banyak di tegaskan dalam alquran yang diantaranya pada surat
attaubah (9:41);
وجاهدوا باموالكم وانفسكم في سبيل الله
Artinya: “berjihadlah
kamu dengan harta dan jiwamu di jalan allah.”[6]
2. Kebutuhan hajiyyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder,
dimana tidak terwujudkan keperluan ini tidak sampai mengancam keselamatannya,
namun akan mengalami kesulitan dan kesukaran bahkan mungkin berkepanjangan,
tetapi tidak sampai ketingkat menyebabkan kepunahan atau sama sekali tidak
berdaya. Jadi yang membedakan al-dharuriyyah dengn
al-hajiyyah adalah pengaruhnya kepada keberadaan manusia. Namun demikian, keberadaannya dibutuhkan untuk
memberikan kemudahan serta menghilangkan kesukaran dan kesulitan dalam
kehidupan mukallaf.
Tujuan hajiyyat dari
segi penetapan hukumnya dikelompokkan pada tiga kelompok:
a.
hal yang disuruh syara’
melakukannya untuk dapat melaksanakan kewajiban syara’ secara baik. Hal ini
disebut muqodimah wajib. Umpamanya mendirikan sekolah dalam hubungannya dengan
menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas akal. Mendirikan sekolah memang
perlu, namun seandainya sekolah tidak didirikan tidaklah berarti tidak akan
tercapai upaya mendapatkan ilmu, karena menuntut ilmu itu dapat dilaksanakan di
luar sekolah. Kebutuhan akan sekolah itu berada pada tingkat kajian.
b.
Hal yang dilarang
syara’ melakukannya untuk menghindarkan secara tidak langsung pelanggaran pada
salah satu unsur dhoruri. Perbuatan zina berada pada larangan tingkat dhoruri.
Namun segala perbuatan yang menjurus kepada perbuatan zina itu juga dilarang
untuk menutup pintu bagi terlaksananya larangan zina yang dhoruri itu.
Melakukan holwat (berduaan dengan lawan jenis di tempat sepi) memang bukan zina
dan tidak akan merusak keturunan. Juga tidak mesti holwat itu berakhir pada
zina. Meskipun demikian, kholwat itu dilarang dalam rangkamenutup pintu
terhadap pelaranggaran yang bersifat dhoruri. Kepentingan akan adanya tindakan
ini berada pada tingat hajiyyat.
c.
Segala bentuk kemudahan
yang ermasuk hukum ruksoh yang memberi kelapangan dalam krhidupan manusia.
Sebenarnya tidak ada ruksohpun tidak akan hilang salah satu unsur yang dhoruri
itu, tetapai manusia akan berada dalam kesempitan. Ruksoh ini, berlaku dalam
hukum ”ibadah” seperti sholat bagi yang berada dalam perjalanan, dalam
“muamalah” seperti bolehnya jual beli salam (inden), juga dalam “jinayah”
seperti adanya maaf untuk membatalkan plaksanaan qisos bagi pembunuh, baik
diganti dengan diyat atau tanpa diyat sama sekali.[7]
3. Al-tahsiniyyat adalah (tersier) yaitu semua keperluan dan perlindungan yang diperlukan
agar kehidupan menjadi nyaman dan lebih nyaman lagi, mudah dan lebih mudah
lagi, lapang dan lebih lapang lagi, begitu seterusnya. Dengan istilah lain adalah keperluan yang
dibutuhkan manusia agar kehidupan mereka berada dalam kemudahan, kenyamanan,
kelapangan.[8]
Tahsiniyah berlaku pada
bidang ibadah, seperti berhias dan berpakaian rapi pada waktu ke masjid, pada
bidang muamalah seperti pada bidang jual beli syuf’ah, juga berlaku pada adat
seperti hemat dalam berbelanja, serta berlaku pula pada bidang jinayah seperti
tidak membunuh anak-anak dan perempuan dalam peperangan.
Pembagian tujuan syara’
pada tiga hal tersebut, sekaligus menunjukkan peringkat kepentingan. Tingkat
dharury lebih tinggi dari tingkat hajjiyyat, dan tingkat hajiyyat lebih tinggi
dari tngkat tahsiniyat. Kebutuhan dalam peringkat yang sesama dharury pun
berurutan pula tingkat kepentingannya, yaitu: agama, jiwa, akal ,harta,
keturunan (harga diri). Adanya peringkat dan urutan kepentingan itu akan tampak di saat terjadi perbenturan
antar masing masing kepentingan dan salah satu diantaranya harus di dahulukan.
B. Alasan penetapan ketiga Kategori tersebut
Maqasid Syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan
hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang
berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh Abu
Ishaq al-Syatibi bahwa tujuan pokok disyariatkan hukum Islam adalah untuk
kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Lebih lanjut Abu Ishaq
al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan
kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun akhirat kelak.
Dengan memperhatikan
ayat-ayat dan hadis-hadis secara teliti, baik yang bersifat khusus (spsesifik,
nash khusus) yang menjadi dalil untuk suatu masalah dan juga yang bersifat
umum (nash umum) yang berisi
prinsip-prinsip akan diketahui adanya kemaslahatannya yang ingin dicapai dan
dilindungi oleh al-qur’an pada setiap perintah, larangan atau keizinan yang
diberikan Allah, inilah yang disebut dengan mashalih yang ingin dijaga,
dipenuhi dan dilindungi oleh al-Qur’an atau lebih tepatnya menjadi maqashid
al-syari’ah.
Menurut al-Syathibi dan
para ulama mendukung mashalih mursalah, pembagian maslahat kepada tiga
tingkatan yaitu al-dharuriyyat, ah-hajiyyat, al-tahsiniyyat . dan dapat
dianggap sudah bersifat qath’I.[9]
C. Hubungan Antara
Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat
Mengenai hubungan antara ketiga kategori ini
mempunyai hubungan yang berjenjang, mulai dari yang paling terpenting sampai
kepada yang dianggap pelengkap, yaitu al-Dharuriyyat (keperluan dan
perlindungan yang bersifat asasiah, dasariah, primer, elementer, fundamental),
al-Hijiyyat adalah keperluan dan perlindungan yang bersifat sekunder,
suplementer dan al-Tahsiniyyat adalah keperluan yang bersifat tersier,
komplementer. Hubungan antara ketiga jenis dan tingkat keperluan dan
perlindungan ini oleh as-Sythibi dijelaskan sebagai berikut:
1.
Al-Dharuriyyat adalah dasar
bagi al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat
2.
Kerusakan al-Dharuriyyat akan
menyebabkan kerusakan seluruh al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat
3.
Kerusakan al-Hajiyyat dan
al-Tahsiniyyat tidak akan menyebabkan kerusakan al-Dharuriyyat.
4.
Kerusakan seluruh al-Hajiyyat
dan al-Tahsiniyyat akan mengakibatkan kerusakan sebagian al-Daruriyyat
5.
Keperluan dan perlindungan
al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat perlu dipelihara untuk kelestarian
al-Dharuriyyat.
Dengan uraian diatas terlihat bahwa al-Dharuriyyat adalah pokok dan
landasan bagi dua keperluan dan
perlindungan ditingkat bawahnya. tidak Keberadaan dua terakhir
(al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat) tergantung penuh kepada al-Dharuriyyat, dengan
arti kalau pertama tidak ada maka yang dua dibawahnya menjadi tidak bermanfaat.
Sedangkan keberadaan
al-dharuriyyat tidak bergantung pada dua yang dibawahnya. Dengan arti kalaupun
dua yang dibawahnya tidak ada sama sekali, al-dharuriyyat masih tetap ada
walaupun dalam bentuktdk sempurna. Jadi keberadaannya tidak bergantung kepada
dua dibawahnya. Tetapi perlu untuk sempurnanya al-dharuriyyat, maka al-hajiyyat
dan al-tahsiniyyat harus dipelihara dan diusahakan penyempurnaanya.[10]
D. Contoh Konkrit dari kehidupan sehari-hari setiap
Kategori
1. Al-dharuriyyat
Al-dharuriyyat adalah kebutuhan
yang harus terpenuhi agar manusia dapat bertahan hidup diatas permukaan bumi
secara manusia,kalau salah satunya tidak ada maka hidup manusia akan terancam,
berada dalam kesulitan yang sangat besar dan berkepanjangan dan akan membawa
kepada kepunahan. Contoh: kalau pembunuhan dibiarkan terjadi dan dan tidak ada
perlindungan terhadap nyawa manusia, maka kehidupan manusia dipermukaan bumi
akan terancam, karena tidak bisa hidup tentram, bahkan bisa membawa kepada
kepunahan, karena bisa jadi akan saling membunuh dengan alasan yang sepele atau
hanya dengan alasan untuk memuakan dendam. Contoh lain kalau pemeliharaan harta
tidak ada perlindungan maka manusia tidak dapat hidup tentram dan tidak dapat
dikembang keadaan lebih tinggi dari keadaan primitif, dan apa bila hal seprti ini tidak ada
perlindungan sangat mungkin suatu saat semua hartanya akan dicuri. Begitu juga
dengan keselamtan akal/ hati nurani, keselamatan keturnan.
Para ulama berpendapat, kalau ada bertentangan antara dua keperluan dari
jenis yang berbeda pada urutan yang lima tersebut, maka perlindunagan pada
agama harus didahulukan. Dan para ulama sepakat bahwa pemenuhan keperluan dan
perlindungan tidak boleh dengan cara merugikan atau mengorbankan perlindungan
dan dan kepentingan orang lain. Contoh untuk menyelamatkan diri sendiri diri
dari kematian atau tekanan, paksaan orang lai, seorang tidak boleh membunuh
orang lain, merusak kehormatan orang lain atau menghancurkan harta orang lain.
2. Al-hajiyyat
Keperluan dan kebutuhan ini ada untuk hidup tidak terlalu susah, dan
kalaupun tidak ada maka sebagian manusia akan berada dalam kesulitan tapi tidak
sampai kepada tingkat menyebabkan kepunahan atau sama sekali tidak berdaya[11][10]. Contoh: keperluan rumah yang bersifat al-dharuriyyat karena manusia
memerlukan untuk berlindung dari cuaca, atau dari serangan binatang buas dan
lain-lain, tempat yang masuk dalam kategori al-dhaririyyat untuk memenuhi
kebutuhan dasariah diatas tidak musti rumah yang dibuat dari kayu, atau batu
yang kokoh, gua atau cabang-cabang kayu, kemah atau pondok yang seadanya pun
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasariah, karena manusai dapat
berlindung didalamnya walaupun tentunya dengan cara yang sederhana dan boleh
jadi sama sekali tidak memberikan kemudahan dan kenyamanan. Jadi keperluan
rumah yang dibuat secara khusus dengan dinding dan atap yang kuat serta lantai
yang hangat yang dibagi kepada kamar-kamar dengan fungsin dan kegunaan yang
berbeda masuk kedalam kategori al-hajiyyat.[12][11]
3. Al-Tahsiniyyat
Keperluan dan perlindungan tingkat ketiga ini adalah semua keperluan dan
perlindungan yang diperlukan agar kehidupan lebih nyaman, lebih mudah, dan
seterusnya.[13][12] Kebutuhan ini kelihatannya tidak menyentuh
kepada kegiatan atau suatu yang menjadi kebutuhan pokok atau subtansial bagi
kehidupan, tetapi hanya berhubungan dengan suatu yang menjadi fasilitas, tata
cara atau upaya menghasilkan barang-barang yang dapat mempermudah pemenuhan dan
perlindunga al-dharuriyyat dan al-hajiyyat yang sudah disebutka diatas. Contoh:
tidur diatas kasur, memasak makanan, menyediakan berbagai berbagai jenis bumbu,
menciptakan dan menggunakan berbagai alat untuk transportasi ,dan sebagainya
termasuk kedalam al-tahsiniyyat.
Namun bila dikaitkan dengan pada masa sekarang
(modern) tentu sangat berbeda dengan masa lalu (masa imam mazhab dan masa
sahabat), maka yang awalnya bersifat al-hajiyyat berubah menjadi
al-dharuriyyat. Contoh: listrik, tentu kita berpikir tanpa listrikpun manusia
tetap hidup dan tidak membawa kepada kepunahan, misalnya orang yang hidup masih
primitif disebuah kota modern, ketergantungan pada listrik relative tinggi
sekali, pengaturan lalu lintas, penyulingan air, dan penglirannya
kegedung-gedung tinggi dan menjalankan berbagai aktivitas dirumah sakit,
menjalankan pabrik, menjalankan berbagai alat rumah tangga , semua bergantung
kepada listrik, bila listrik mati maka kota akan lumpuh total, dengan arti bawa
kegiatan dan aktivitas tidak bisa dilaksanakan, maka listrik masuk dalam
kategori al-dharuriyyat.
Contoh pada masa lalu petani merasa puas mengelola
sawahnya dengan teknologi sederhana, seperti cangkul, parang, ditarik dengan
lembu, kuda, kerbau, serta irigasi seadanya bahkan tadah hujan, dengan bibit
biasa tanpa pupuk dan lain-lain, sedangkan pada sekarang petani yang hanya
menggunakan alat-alat diatas kalah bersaing dengan dengan petani yang menggunakan
traktor dan hasil ilmu pengetahuan modern lainnya. Jadi untuk dapat
mempertahankan tingkat kesejahteraannya, agar tidak dikalahkan oleh petani yang
sudah modern, maka petani tradisional harus meningkatkan kualitas dan beralih
ke traktor dan alat modern lainnya.
Oleh karena itu, layak untuk dipertimbangkan bahwa
kualitas capaian keperluan dan perlindungan al-dharuriyyat seperti diuraikan
diatas tidak memadai kalau hanya pada tingkat standar, maka kualitas tersebut
perlu ditingkatkan sampai ketingkat yang paling tinggi. Maka pada kesimpulanya bahwa al-dharuriyyat
al-khamsah perlu akan bergeser sedikit. Bukan lagi hanya sekedar pemenuhan dan
perlindungan keperluan dasariah tapi akan ditambah dengan meningkatkan dan
pengembangan keperluan dasariah sehingga mampu bertahan bahkan menjadi lebih
unggul dari orang lain dalam persaingan hidup.[14][13]
Kesimpulan
1. Kemaslahatan tidak lebih dati 3 macam yaitu kemaslahatan al-Dharuriyyat
(Primer), kemaslahatan al-Hajiyyat (sekunder), kemaslahatan al-Tahsiniyyat
(tersier).
2. kemaslahatan
al-Dharuriyyat adalah perlindungan dan kebutuhan yang paling penting
dibandingkan kategori lainnya, Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan
terancam keselamatan umat manusia bahkan kepunahan.
3. kemaslahatan
al-Dharuriyyat terbagi kepada, dan kelimanya harus lengkap, Bila salah satunya
tidak ada maka hidup manusia akan terancam, berada dalam kesulitan yang sangat
besar dan berkepanjangan, yang akan membawanya kepada kepunahan
4. Sebagaimana dikemukakan
oleh Abu Ishaq al-Syatibi bahwa tujuan pokok disyariatkan hukum Islam adalah
untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Lebih lanjut Abu
Ishaq al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk
mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun akhirat kelak.
5. kualitas capaian keperluan dan perlindungan al-dharuriyyat seperti
diuraikan diatas tidak memadai kalau hanya pada tingkat standar, maka kualitas
tersebut perlu ditingkatkan sampai ketingkat yang paling tinggi. Maka pada
kesimpulanya bahwa al-dharuriyyat al-khamsah perlu akan bergeser sedikit. Bukan
lagi hanya sekedar pemenuhan dan perlindungan keperluan dasariah tapi akan
ditambah dengan meningkatkan dan pengembangan keperluan dasariah sehingga mampu
bertahan bahkan menjadi lebih unggul dari orang lain dalam persaingan hidup
Daftar Pustaka
[1] Al Yasa’ Abubakar, Metode Istishlahiah
Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan Dalam Ushul Fiqh, (Banda Aceh: CV Diandra
Primamitra Media, 2012), Hal 39-40
[2]
Satria Efendi, Ushul
Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2005) hal.233
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid
II, cet. ke-4 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal 209
[4] Al Yasa’ Abubakar. Hal 85
[6]
Amir syarifudin, ushul fiqih jilid II, (jakatra: kencana prenada media
group,2008) hal.209
[7]
Amir syarifudin, ushul fiqih jilid II, (jakatra: kencana prenada media
group,2008) hal. 213
[9] Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat,
Darul Ma’rifah, Bairut, 1997, jilid 1-2, hal. 324
No comments:
Post a Comment