Labels

30 Nov 2016

Dharuriyyat, Hajiyyat Dan Tahsiniyyat

https://loronghki.blogspot.co.id/

Puncak perkembangan dan penggunaan maslahat sebagai prinsip bahkan metode penalaran dalam ushul Fiqh (Sejarah ushul fiqh) kelihatan terjadi ditangan Abu Ishaq al-Syathibi al-Gharnathi (w 790 H/1388 M), yang telah berusaha melakukan semacam penyempurnaan dan bahkan pembeharuan. Beliau menulis sebuah kitab tentang ushul Fiqh yang relatif tebal dan mendalam (Al-Muwaqat Fi Ushul Al-Syari’ah, empat jilid).[1][1] Dengan sistematika yang relatif baru. Dalam buku ini beliau berupaya mengaitkan uraian tentang maslahat dengan uraian tentang maqhasid al-syari’ah (tujuan syari’at) secara lebih erat dan sungguh-sungguh dan menjadikan sebagai salah satu syarat untuk kebolehan berijtihad. Pembahasan ini dia jadikan sebagai sebuah topik baru yang berdiri sendiri didalam usgul fiqh karena sebelumnya topik tentang maqashid al-Syari’at tidak menjadi perhatian besar, dan kalaupun diuraikan selalu dikaitkan atau dibahas sebagai bagian dari metode lain. Berikut ini akan diuraikan kategori maqhasid syari’ah dan perannya dalam menetapkan hukum menurut pandangan Imam Al-Syatibi.

A.    Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat
Menurut al-Syatibi ada 3 (tiga) kategori tingkatan kebutuhan untuk mencapai kemashlahatan,[2] yaitu:
1.      Dharuriyyat adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia. Keperluan dan perlindungan al-dharuriyyat ini dalam buku ushul fiqh, termasuk as-Sythibi, membagi menjadi lima buah, yaitu pemenuhan keperluan serta serta perlindungan yang diperlukan untuk:
a.       keselamatan agama (ketaatan ibadah kepada Allah SWT)
b.      keselamatan nyawa (perindividu),
c.       keselamatan akal (termasuk hati nurani),
d.      keselamatan atau kelangsungan keturunan (eksistensi manusia) serta terjaga dan terlidunginya harga diri dan kehormatan seorang dan
e.        keselamatan serta perlindungan atas harta kekayaan yang dikuasai atau dimiliki seorang.
Kelima dharuriyyat tersebut adalah hal yang mutlak harus ada pada diri manusia. Karenanya Allah swt menyuruh manusia untuk melakukan segala upaya keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya Allah swt melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari lima dharuriyat yang lima itu. Segala perbuatan yang dapat mewujudkan atau mengekalkan lima unsur pokok itu adalah baik, dan karenanya harus dikerjakan. Sedangkan segala perbuatan yang merusak atau mengurangi nilai lima unsur pokok itu adalah tidak baik, dan karenanya harus ditinggalkan. Semua itu mengandung kemaslahatan bagi manusia.[3][3] Bila salah satunya tidak ada maka hidup manusia akan terancam, berada dalam kesulitan yang sangat besar dan berkepanjangan, yang akan membawanya kepada kepunahan.[4][4]
Mengenai masalah urutan ada ulama berpendapat bahwa urutan sesuai dengan yang disebutkan diatas, artinya perlindungan dan pemenuhan keperluan agama didahulukan atas empat yang dibawahnya dan perlindungan nyawa didahulukan atas tiga dibawahnya dan begitulah seterusnya secara berurutan. Dan ada juga ulama yang menganggap empat dari lima keperluan diatas yaitu selain agama setingkat, artinya seorang boleh memilih mana yang akan diutamakan dan mana yang akan ditinggalkan atau dikorbankan sesuai dengan pertimbangan dan keadaan nyata yang dia hadapi. Dan semua ulama sepakat bahwa perlindungan agama merupakan yang tertinggi.[5][5]
Untuk menegakkan agama, manusia disuruh beriman kepada allah, rasul, kitab suci, malaikat, hari akhir, mengucapkan dua kalimat syahadat, serta melakukan ibadah yang pokok lainnya. Untuk menjaga agama, allah menyuruh manusia untuk berjihad di jalan allah sebagaimana banyak di tegaskan dalam alquran yang diantaranya pada surat attaubah (9:41);
وجاهدوا باموالكم وانفسكم في سبيل الله
Artinya: “berjihadlah kamu dengan harta dan jiwamu di jalan allah.”[6]
2.    Kebutuhan hajiyyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder, dimana tidak terwujudkan keperluan ini tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan dan kesukaran bahkan mungkin berkepanjangan, tetapi tidak sampai ketingkat menyebabkan kepunahan atau sama sekali tidak berdaya. Jadi yang membedakan al-dharuriyyah dengn al-hajiyyah adalah pengaruhnya kepada keberadaan manusia. Namun demikian, keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan kemudahan serta menghilangkan kesukaran dan kesulitan dalam kehidupan mukallaf.
Tujuan hajiyyat dari segi penetapan hukumnya dikelompokkan pada tiga kelompok:
a.                hal yang disuruh syara’ melakukannya untuk dapat melaksanakan kewajiban syara’ secara baik. Hal ini disebut muqodimah wajib. Umpamanya mendirikan sekolah dalam hubungannya dengan menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas akal. Mendirikan sekolah memang perlu, namun seandainya sekolah tidak didirikan tidaklah berarti tidak akan tercapai upaya mendapatkan ilmu, karena menuntut ilmu itu dapat dilaksanakan di luar sekolah. Kebutuhan akan sekolah itu berada pada tingkat kajian.
b.               Hal yang dilarang syara’ melakukannya untuk menghindarkan secara tidak langsung pelanggaran pada salah satu unsur dhoruri. Perbuatan zina berada pada larangan tingkat dhoruri. Namun segala perbuatan yang menjurus kepada perbuatan zina itu juga dilarang untuk menutup pintu bagi terlaksananya larangan zina yang dhoruri itu. Melakukan holwat (berduaan dengan lawan jenis di tempat sepi) memang bukan zina dan tidak akan merusak keturunan. Juga tidak mesti holwat itu berakhir pada zina. Meskipun demikian, kholwat itu dilarang dalam rangkamenutup pintu terhadap pelaranggaran yang bersifat dhoruri. Kepentingan akan adanya tindakan ini berada pada tingat hajiyyat.
c.                Segala bentuk kemudahan yang ermasuk hukum ruksoh yang memberi kelapangan dalam krhidupan manusia. Sebenarnya tidak ada ruksohpun tidak akan hilang salah satu unsur yang dhoruri itu, tetapai manusia akan berada dalam kesempitan. Ruksoh ini, berlaku dalam hukum ”ibadah” seperti sholat bagi yang berada dalam perjalanan, dalam “muamalah” seperti bolehnya jual beli salam (inden), juga dalam “jinayah” seperti adanya maaf untuk membatalkan plaksanaan qisos bagi pembunuh, baik diganti dengan diyat atau tanpa diyat sama sekali.[7]
3.    Al-tahsiniyyat adalah (tersier) yaitu semua keperluan dan perlindungan yang diperlukan agar kehidupan menjadi nyaman dan lebih nyaman lagi, mudah dan lebih mudah lagi, lapang dan lebih lapang lagi, begitu seterusnya. Dengan istilah lain adalah keperluan yang dibutuhkan manusia agar kehidupan mereka berada dalam kemudahan, kenyamanan, kelapangan.[8]
Tahsiniyah berlaku pada bidang ibadah, seperti berhias dan berpakaian rapi pada waktu ke masjid, pada bidang muamalah seperti pada bidang jual beli syuf’ah, juga berlaku pada adat seperti hemat dalam berbelanja, serta berlaku pula pada bidang jinayah seperti tidak membunuh anak-anak dan perempuan dalam peperangan.
Pembagian tujuan syara’ pada tiga hal tersebut, sekaligus menunjukkan peringkat kepentingan. Tingkat dharury lebih tinggi dari tingkat hajjiyyat, dan tingkat hajiyyat lebih tinggi dari tngkat tahsiniyat. Kebutuhan dalam peringkat yang sesama dharury pun berurutan pula tingkat kepentingannya, yaitu: agama, jiwa, akal ,harta, keturunan (harga diri). Adanya peringkat dan urutan kepentingan  itu akan tampak di saat terjadi perbenturan antar masing masing kepentingan dan salah satu diantaranya harus di dahulukan.

B.  Alasan penetapan ketiga Kategori tersebut
Maqasid Syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syatibi bahwa tujuan pokok disyariatkan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Lebih lanjut Abu Ishaq al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun akhirat kelak.
Dengan memperhatikan ayat-ayat dan hadis-hadis secara teliti, baik yang bersifat khusus (spsesifik, nash khusus) yang menjadi dalil untuk suatu masalah dan juga yang bersifat umum  (nash umum) yang berisi prinsip-prinsip akan diketahui adanya kemaslahatannya yang ingin dicapai dan dilindungi oleh al-qur’an pada setiap perintah, larangan atau keizinan yang diberikan Allah, inilah yang disebut dengan mashalih yang ingin dijaga, dipenuhi dan dilindungi oleh al-Qur’an atau lebih tepatnya menjadi maqashid al-syari’ah.
Menurut al-Syathibi dan para ulama mendukung mashalih mursalah, pembagian maslahat kepada tiga tingkatan yaitu al-dharuriyyat, ah-hajiyyat, al-tahsiniyyat . dan dapat dianggap sudah bersifat qath’I.[9] 

C.  Hubungan Antara Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat
Mengenai hubungan antara ketiga kategori ini mempunyai hubungan yang berjenjang, mulai dari yang paling terpenting sampai kepada yang dianggap pelengkap, yaitu al-Dharuriyyat (keperluan dan perlindungan yang bersifat asasiah, dasariah, primer, elementer, fundamental), al-Hijiyyat adalah keperluan dan perlindungan yang bersifat sekunder, suplementer dan al-Tahsiniyyat adalah keperluan yang bersifat tersier, komplementer. Hubungan antara ketiga jenis dan tingkat keperluan dan perlindungan ini oleh as-Sythibi dijelaskan sebagai berikut:
1.      Al-Dharuriyyat adalah dasar bagi al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat
2.      Kerusakan al-Dharuriyyat akan menyebabkan kerusakan seluruh al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat
3.      Kerusakan al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat tidak akan menyebabkan kerusakan al-Dharuriyyat.
4.      Kerusakan seluruh al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat akan mengakibatkan kerusakan sebagian al-Daruriyyat
5.      Keperluan dan perlindungan al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat perlu dipelihara untuk kelestarian al-Dharuriyyat.
Dengan uraian diatas terlihat bahwa al-Dharuriyyat adalah pokok dan landasan bagi dua keperluan dan  perlindungan ditingkat bawahnya. tidak Keberadaan dua terakhir (al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat) tergantung penuh kepada al-Dharuriyyat, dengan arti kalau pertama tidak ada maka yang dua dibawahnya menjadi tidak bermanfaat. Sedangkan keberadaan al-dharuriyyat tidak bergantung pada dua yang dibawahnya. Dengan arti kalaupun dua yang dibawahnya tidak ada sama sekali, al-dharuriyyat masih tetap ada walaupun dalam bentuktdk sempurna. Jadi keberadaannya tidak bergantung kepada dua dibawahnya. Tetapi perlu untuk sempurnanya al-dharuriyyat, maka al-hajiyyat dan al-tahsiniyyat harus dipelihara dan diusahakan penyempurnaanya.[10]

D.  Contoh Konkrit dari kehidupan sehari-hari setiap Kategori
1.      Al-dharuriyyat
    Al-dharuriyyat adalah kebutuhan yang harus terpenuhi agar manusia dapat bertahan hidup diatas permukaan bumi secara manusia,kalau salah satunya tidak ada maka hidup manusia akan terancam, berada dalam kesulitan yang sangat besar dan berkepanjangan dan akan membawa kepada kepunahan. Contoh: kalau pembunuhan dibiarkan terjadi dan dan tidak ada perlindungan terhadap nyawa manusia, maka kehidupan manusia dipermukaan bumi akan terancam, karena tidak bisa hidup tentram, bahkan bisa membawa kepada kepunahan, karena bisa jadi akan saling membunuh dengan alasan yang sepele atau hanya dengan alasan untuk memuakan dendam. Contoh lain kalau pemeliharaan harta tidak ada perlindungan maka manusia tidak dapat hidup tentram dan tidak dapat dikembang keadaan lebih tinggi dari keadaan primitif,  dan apa bila hal seprti ini tidak ada perlindungan sangat mungkin suatu saat semua hartanya akan dicuri. Begitu juga dengan keselamtan akal/ hati nurani, keselamatan keturnan.
Para ulama berpendapat, kalau ada bertentangan antara dua keperluan dari jenis yang berbeda pada urutan yang lima tersebut, maka perlindunagan pada agama harus didahulukan. Dan para ulama sepakat bahwa pemenuhan keperluan dan perlindungan tidak boleh dengan cara merugikan atau mengorbankan perlindungan dan dan kepentingan orang lain. Contoh untuk menyelamatkan diri sendiri diri dari kematian atau tekanan, paksaan orang lai, seorang tidak boleh membunuh orang lain, merusak kehormatan orang lain atau menghancurkan harta orang lain.
2.      Al-hajiyyat
Keperluan dan kebutuhan ini ada untuk hidup tidak terlalu susah, dan kalaupun tidak ada maka sebagian manusia akan berada dalam kesulitan tapi tidak sampai kepada tingkat menyebabkan kepunahan atau sama sekali tidak berdaya[11][10]. Contoh: keperluan rumah yang bersifat al-dharuriyyat karena manusia memerlukan untuk berlindung dari cuaca, atau dari serangan binatang buas dan lain-lain, tempat yang masuk dalam kategori al-dhaririyyat untuk memenuhi kebutuhan dasariah diatas tidak musti rumah yang dibuat dari kayu, atau batu yang kokoh, gua atau cabang-cabang kayu, kemah atau pondok yang seadanya pun dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasariah, karena manusai dapat berlindung didalamnya walaupun tentunya dengan cara yang sederhana dan boleh jadi sama sekali tidak memberikan kemudahan dan kenyamanan. Jadi keperluan rumah yang dibuat secara khusus dengan dinding dan atap yang kuat serta lantai yang hangat yang dibagi kepada kamar-kamar dengan fungsin dan kegunaan yang berbeda masuk kedalam kategori al-hajiyyat.[12][11]
3.      Al-Tahsiniyyat
Keperluan dan perlindungan tingkat ketiga ini adalah semua keperluan dan perlindungan yang diperlukan agar kehidupan lebih nyaman, lebih mudah, dan seterusnya.[13][12] Kebutuhan ini kelihatannya tidak menyentuh kepada kegiatan atau suatu yang menjadi kebutuhan pokok atau subtansial bagi kehidupan, tetapi hanya berhubungan dengan suatu yang menjadi fasilitas, tata cara atau upaya menghasilkan barang-barang yang dapat mempermudah pemenuhan dan perlindunga al-dharuriyyat dan al-hajiyyat yang sudah disebutka diatas. Contoh: tidur diatas kasur, memasak makanan, menyediakan berbagai berbagai jenis bumbu, menciptakan dan menggunakan berbagai alat untuk transportasi ,dan sebagainya termasuk kedalam al-tahsiniyyat.
Namun bila dikaitkan dengan pada masa sekarang (modern) tentu sangat berbeda dengan masa lalu (masa imam mazhab dan masa sahabat), maka yang awalnya bersifat al-hajiyyat berubah menjadi al-dharuriyyat. Contoh: listrik, tentu kita berpikir tanpa listrikpun manusia tetap hidup dan tidak membawa kepada kepunahan, misalnya orang yang hidup masih primitif disebuah kota modern, ketergantungan pada listrik relative tinggi sekali, pengaturan lalu lintas, penyulingan air, dan penglirannya kegedung-gedung tinggi dan menjalankan berbagai aktivitas dirumah sakit, menjalankan pabrik, menjalankan berbagai alat rumah tangga , semua bergantung kepada listrik, bila listrik mati maka kota akan lumpuh total, dengan arti bawa kegiatan dan aktivitas tidak bisa dilaksanakan, maka listrik masuk dalam kategori al-dharuriyyat.
Contoh pada masa lalu petani merasa puas mengelola sawahnya dengan teknologi sederhana, seperti cangkul, parang, ditarik dengan lembu, kuda, kerbau, serta irigasi seadanya bahkan tadah hujan, dengan bibit biasa tanpa pupuk dan lain-lain, sedangkan pada sekarang petani yang hanya menggunakan alat-alat diatas kalah bersaing dengan dengan petani yang menggunakan traktor dan hasil ilmu pengetahuan modern lainnya. Jadi untuk dapat mempertahankan tingkat kesejahteraannya, agar tidak dikalahkan oleh petani yang sudah modern, maka petani tradisional harus meningkatkan kualitas dan beralih ke traktor dan alat modern lainnya.
Oleh karena itu, layak untuk dipertimbangkan bahwa kualitas capaian keperluan dan perlindungan al-dharuriyyat seperti diuraikan diatas tidak memadai kalau hanya pada tingkat standar, maka kualitas tersebut perlu ditingkatkan sampai ketingkat yang paling tinggi. Maka pada kesimpulanya bahwa al-dharuriyyat al-khamsah perlu akan bergeser sedikit. Bukan lagi hanya sekedar pemenuhan dan perlindungan keperluan dasariah tapi akan ditambah dengan meningkatkan dan pengembangan keperluan dasariah sehingga mampu bertahan bahkan menjadi lebih unggul dari orang lain dalam persaingan hidup.[14][13]

Kesimpulan
1.      Kemaslahatan tidak lebih dati 3 macam yaitu kemaslahatan al-Dharuriyyat (Primer), kemaslahatan al-Hajiyyat (sekunder), kemaslahatan al-Tahsiniyyat (tersier).
2.      kemaslahatan al-Dharuriyyat adalah perlindungan dan kebutuhan yang paling penting dibandingkan kategori lainnya, Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia bahkan kepunahan.
3.      kemaslahatan al-Dharuriyyat terbagi kepada, dan kelimanya harus lengkap, Bila salah satunya tidak ada maka hidup manusia akan terancam, berada dalam kesulitan yang sangat besar dan berkepanjangan, yang akan membawanya kepada kepunahan
4.      Sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syatibi bahwa tujuan pokok disyariatkan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Lebih lanjut Abu Ishaq al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun akhirat kelak.
5.      kualitas capaian keperluan dan perlindungan al-dharuriyyat seperti diuraikan diatas tidak memadai kalau hanya pada tingkat standar, maka kualitas tersebut perlu ditingkatkan sampai ketingkat yang paling tinggi. Maka pada kesimpulanya bahwa al-dharuriyyat al-khamsah perlu akan bergeser sedikit. Bukan lagi hanya sekedar pemenuhan dan perlindungan keperluan dasariah tapi akan ditambah dengan meningkatkan dan pengembangan keperluan dasariah sehingga mampu bertahan bahkan menjadi lebih unggul dari orang lain dalam persaingan hidup

Daftar Pustaka
[1] Al Yasa’ Abubakar, Metode Istishlahiah Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan Dalam Ushul Fiqh, (Banda Aceh: CV Diandra Primamitra Media, 2012), Hal 39-40
[2] Satria Efendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2005) hal.233
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, cet. ke-4 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal 209
[4] Al Yasa’ Abubakar. Hal 85

[6] Amir syarifudin, ushul fiqih jilid II, (jakatra: kencana prenada media group,2008) hal.209
[7] Amir syarifudin, ushul fiqih jilid II, (jakatra: kencana prenada media group,2008) hal. 213
[8] Yusuf al-Qadharawi, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern (Kairo: Makabah Wabah, 1999), hlm.79
[9] Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat, Darul Ma’rifah,  Bairut, 1997, jilid 1-2, hal. 324
[10][9] Al Yasa’ Abubakar. Hal 83-84
[11][10] Sahal Mahfudh, Nuansa Fikih Sosial (Yogyakarta: LKIS, 1994), hlm.22.
[12][11] Alyasa’ Abubakar. Hal 91
[13][12] Wael b Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam (Jakarta: Grafindo, 2000), hlm.267
[14][13] Alyasa’ Abubakar. Hal 101

3 Jun 2016

SEBAB PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA


Dalam sejarah perkembangan hukum islam, perbedaan pendapat mengenai penetapan hukum telah terjadi di kalangan para sahabat Nabi SAW ketika beliau masih hidup. Tetapi berbedaan itu segera dapat diselesaikan dengan mengembalikannya kepada Rasululloh SAW. Setelah beliau wafat, maka sering timbul di kalangan sahabat perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum. Salah satu kenyataan dalam fiqh adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Meskipun demikian kebijaksanaan fiqh menetapkan bahwa keluar dari perbedaan pendapat itu disenangi, dan mendahulukan apa yang telah disepakati daripada hal-hal lain dimana terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama[1].
 Kita yakin bahwa para ulama tidak mugkin meyakini suatu hukum syari’at atau memberikan fatwa kecuali yang sesuai dengan tuntutan Al-Quran dan Sunnah, namun sebagai manusia biasa mungkin saja seseorang keliru dalam memahami kandungan yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunah. Dalam makalah ini akan dijelaskan sebab-sebab para ulama’ berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum 

1.   Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat Para Ulama
Dalam menghadapi segala permasalahan, para ulama terlebih dahulu memeriksa masalah tersebut dalam Al-Quran atau Hadis yang mereka hafal. Tetapi kadang-kadang masalah yang mereka hadapi itu tidak ditemukan nash nya dalam Al-Quran ataupun Hadis. Ketika itu mereka saling bertanya, mungkin yang lain mengetahui hadisnya sedangkan yang menghadapi peristiwa itu sendiri tidak mengetahuinya. Apabila di antara mereka ada yang mengetahui hadis mengenai peristiwa tersebut mereka menetapkan hukum peristiwa itu menurut nash yang jelas. Dalam hal seperti ini mereka berijtihad untuk mencari hukum dengan membandingkan dan meneliti ayat-ayat dan hadis yang umum, serta mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan peristiwa yang terjadi, diqiaskan dengan hukum yang sudah ada, yang berdekatan dengan peristiwa yang baru terjadi itu[2].  
Dalam menetapkan hukum tersebut para ulama berbeda pendapat antara satu dengan yang lainnya. Adapun sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama adalah:

1.1  Pemahaman Al-Quran dan As-Sunnah
Karena berbeda dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah baik dalam Al-Quran maupun Hadis. Seperti lafal musytarak (mempunyai arti lebih dari satu), makna haqiqat (sesungguhnya), atau majaz (kiasan).
Ayat-ayat Al-Quran dan teks-teks hadis menggunakan media bahasa arab untuk menyampaikan pesan-pesannya. Karena itu, untuk memahami pesan-pesan Al-Quran dan Hadis dengan benar haruslah berpedoman pada aturan-aturan bahasa arab yang ada[3]. Selain itu dalam ungkapannya terdapat kata am (umum) tetapi yang dimaksudkan adalah khusus.

1.2  Sebab-Sebab Khusus Mengenai Sunnah Rasulullah SAW
Karena berbeda tanggapannya terhadap Hadis. Ada Hadis yang sampai kepada sebagian ulama, tetapi tidak sampai kepada ulama yang lain. Ada kalanya sebagian ulama memandang periwayatan suatu hadis shahih.  Kalau Hadis tersebut diketahui oleh semua ulama.  Sedang yang lain menganggap dha’if, karena tidak memenuhi semua persyaratan yang telah mereka tentukan. Penilaian ini meliputi segi sanad maupun matannya.

1.3  Perbedaan Mengenai Qawa’id Ushuliyyah dan Qawa’id Fiqhiyyah
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul di antaranya adalah[4] mengenai istisna yaitu apakah istisna tersebut sudah beberapa jumlah yang di athafkan satu sama lainnya kembali kepada semua ataukah kepada jumlah terakhirnya saja. Jumhur ulama berpendapat bahwa istisna (pengecualian) itu kembali kepada keseluruhannya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, istisna itu hanya kembali kepada jumlah terakhirnya saja.
Adapun sebab-sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang berkaitan dengan kaidah-kaidah fiqhiyyah contohnya adalah kaidah mazhab Syafi’i yaitu “hukum yang terkuat dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya”. Sedangkan menurut kaidah mazhab Hanafi adalah “hukum yang terkuat dari segala sesuatu adalah haram, sehingga ada dalil yang menunjukkan kebolehannya”.
Jadi menurut mazhab Syafi’i asal hukum sesuatu adalah di bolehkan mengerjakannya, sehingga ada dalil yang mengharamkannya atas dasar firman Allah dalam QS. Al-Baqarah:29 yang artinya “Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. Dan sabda nabi SAW yang berarti “apa yang telah dihalalkan oleh Allah adalah halal, dan apa yang telah diharamkan oleh Allah adalah haram, serta apa yang didiamkan oleh Allah adalah dimaafkan maka terimalah kemaafan dari Allah itu, sesungguhnya Allah tidak akan lupa pada sesuatu”. Sedangkan mazhab Hanafi berpendapat bahwa asal hukum sesuatu adalah haram, sehingga ada dalil yang membolehkannya. Kebalikan dari mazhab Syafi’i bahwa asal sesuatu adalah boleh, sehingga ada dalil yang mengharamkannya. Hal seperti ini dapat menimbulkan perbedaan dalam menetapkan hukum.
       
1.4     Perbedaan Penggunaan Dalil di luar Al-Quran
Berbeda pendapat dalam menetapkan dalil yang sifatnya ijtihadi[5]. Ulama sepakat bahwa Al-Quran dan Al-Sunnah al-Shalihah adalah sumber hukum. Tetapi berbeda pendapatnya  tentang istihsan, al-maslahah al-mursalah, pendapat sahabat yang digunakan dalam era berijtihad. Sering pula terjadi, disepakati tentang dalilnya tetapi penerapannya berbeda-beda. Sehingga mengakibatkan hukumnya berbeda pula. Misalnya tentang Qiyas, jumhur ulama berpendapat bahwa Qiyas adalah dalil yang biasa digunakan. Tetapi dalam menetapkan illat hukum sering berbeda. Karena adanya perbedaan dalam menentukan illat hukumnya, maka berbeda pula dalam hukumnya. 

2.   Menyikapi Perbedaan Pendapat Dalam Islam
Sebagai hamba yang beriman kita diperintahkan untuk bisa menerima bahwa adanya berbagai macam perbedaan pendapat dan paham itu sudah merupakan ketetapan Allah dan sudah seharusnya juga kita menyikapi hal ini secara wajar. Dalam arti tetap menjalin interaksi dan toleransi terhadap berbagai macam golongan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai islam.
Banyak sekali ayat Al-Quran dan Hadis Nabi yang melarang perpecahan dan perselisihan, namun apabila kita mencermati akan tampak oleh kita bahwa yang dimaksud adalah berbeda pendapat dalam masalah-masalah prinsip atau Ushul yang berdampak kepada perpecahan. Adapun berbeda pendapat dalam masalah-masalah cabang agama atau Furu’, maka hal ini tidaklah tercela dan tidak boleh sampai berdampak atau berujung pada perpecahan, karena para sahabat juga berbeda pendapat akan tetapi mereka tetap bersaudara dan saling menghormati satu dengan yang lain tanpa saling menghujat atau melecehkan dan menjatuhkan[6].
Yang menarik dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama islam terutama yang diakui secara luas keilmuannya mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka dibawah Al-Quran dan Hadis, tidak memaksakan pendapat dan selalu siap menerima kebenaran dari siapapun datangnya. Dapat dikatakan bahwa mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia sebab, kebenaran mutlaq hanya milik Allah. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling abash sehingga wajib untuk diikuti dan menolak pendapat lain sehingga mengganggapnya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan agama. “Pendapatku benar, tetapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tetapi memiliki kemungkinan untuk benar”. Demikian pendapat imam Syafi’i.
  Dalam kerangka yang sama, imam Hambali pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara dikeraskan bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhab Hambali sendiri yang menyatakan bahwa dianjurkan bagi orang yang shalat adalah mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan imam Hambali demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah waktu itu yang memandang sebaliknya. Sebab menurut ulama-ulama Madinah itu orang yang shalat lebih utama bila ia mengeraskan bacaan basmalahnya. Di sini kita bisa mengetahui betapa imam Ahmad lebih mengutamakan sebuah esensi dari nilai ukhuwah. Ada ungkapan yang cukup indah dari Muhammad Rasyid Ridha, “Marilah kita tolong-menolong pada perkara yang kita sepakati, dan mari kita saling menghargai pada perkara yang kita perselisihkan”. Jadi kalau malaikat dan para nabi saja bisa berbeda pendapat, mengapa kita harus berpecah dan bermusuhan karena perbedaan?

3.   Hikmah Perbedaan Pendapat Para Ulama
Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika didasarkan pada beberapa hal berikut ini[7]:
a.       Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah satu dalil dari sekian banyak model dalil.
b.      Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala berpikir.
c.       Memberikan kesempatan berbicara kepada lawan bicara atau pihak lain
yang berbeda pendapat dan bermuamalah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar mereka.

Perbedaan pendapat tidak akan mengakibatkan pengaruh yang negatif. Bahkan perbedaan pendapat bisa memberikan hikmah yang besar. Dengan berpikir kritis dan bersikap terbuka terhadap perbedaan pendapat para ulama, maka perbedaan pendapat itu akan memberikan hikmah yang besar, berikut ini akan dikemukakan beberapa hikmah yang dapat ditarik dari perbedaan pendapat tersebut.
Kita memiliki sejumlah besar hasil ijtihad yang memungkinkan untuk memilih mana alternatif yang terbaik di antara pendapat para ulama yang bisa diterapkan untuk masa sekarang ini. Cara inilah yang sedang ditempuh para ahli hokum islam. Sekarang seperti terbukti dalam perkembangan hukum islam terakhir.
Di samping itu, dengan adanya perbedaan pendapat para ulama, kita akan tahu alasan masing-masing ulama tentang pendapatnya tersebut, sehingga memungkinkan kita untuk mentarjih atau cenderung kepada pendapat yang mempunyai alas an yang lebih kuat. Dengan demikian dari perbedaan pendapat ulama yag ada, dengan melihat dari cara beristinbat, akan tampak mana pendapat-pendapat yang lebih banyak meraih nilai-nilai Al-Quran dan Sunnah.
Kita melihat bahwa bagaimanapun juga selama diperkenankan ijtihad, maka berarti diperkenankan adanya perbedaan pendapat. Sebab ijtihad mengakibatkan adanya perbedaan pendapat para ulama. Ini berarti dituntut sikap toleranterhadap kenyataan adanya perbedaan pendapat[8]. 
Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan para imam Mazhab dan para ulama fiqh, sangat penting untuk membantu kita, agar keluar dari taqlid buta karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan serta jalan pemikiran mereka dalam menetapkan hukum suatu masalah. Sehingga dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam studi tentang hal yang diperselisihkan, meliputi system dan cara yang lebih baik serta tepat dalam mengistinbatkan hukum. Juga dapat mengembangkan kemampuan dalam kemampuan dalam hukum fiqh, bahkan akan terbuka kemungkinan untuk menjadi mujtahid[9].    
 Faedah dan manfaat dari ikhtilaf dapat diperoleh bila dalam berikhtilaf itu berpijak pada ketentuan-ketentuan dan adab yang terkandung didalamnya. Namun jika ketentuan dan batasan itu dilanggar, maka sudah pasti akan menimbulkan perpecahan. Hal ini akan melahirkan kesulitan dan kejahatan sehingga dapat mengganggu kehidupan umat. Jika begitu keadaannya maka ikhtilaf akan berubah menjadi ajang kehancuran.

1.   Kesimpulan
1.1 Perbedaan ulama mengenai sumber hukum yang utama (al-Quran) adalah dari segi pemahaman semata-mata terhadap nash-nash yang dzanni (tidak pasti) dalalahnya. Perbedaan ulama mengenai sumber hokum yang kedua yakni sunnah Rasul, yakni dari segi wurud (penilaian terhadap sanad dan sebagian matan hadis) di samping segi dalalahnya. Serta perbedaan mengenai kedudukan sunah rasul sesudah dikaitkan dengan syakhshiyyah rasul (sebagai rasul atau insaniyyahnya).

1.2 Semua mempunyai argumen masing-masing. Mengedepankan fikrah dan manhaj masing-masing. Pedoman hidup kita sama (al-Quran dan Hadis). Tujuanpun sama hanya saja, kita berada pada perahu yang berbeda. Nahkoda kapal mempunyai strategi masing-masing untuk melakukan navigasi dan mengarahkan awak kapal untuk berlayar pada tujuan yang sama.

1.3  Umat islam pada umumnya yang tidak mampu berijtihad akan mengikuti salah satu pendapat ulama, baik dengan cara ittiba’ maupun taqlid. Ini bisa dipahami karena umat islam yang awam mempunyai I’tikad baik untuk bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama.


Catatan Kaki
[1] As-Suyuti.Jallaluddin Abdurrahman, Al-Asyubah wa An-Nadhoir fi Qowa’idi wa Furu’I Fiqhi Asy-Syafe’I (tanpa tahun, Isa Al-Babi Al-Halabi), hal.151
[2] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2010), hal.5

[3] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta, Amzah, 2010), hal.244
[4] H.A Djazuli, Ilmu Fiqh (Jakarta, Predana Media Goup, 2005), hal.118
[5] Syaltut, Mahmud, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah (Darul Kalam, 1966), hal.6—7
[6] Sucipto, “Menyikapi Perbedaan Pendapat dalam Islam”, http://www.lampuislam.org/2013/08/menyikapi-perbedaan-pendapat-dalam-islam.html diakses tanggal 30 Oktober 2015
[7] Ilda Hayati, “Ikhtilaf (Perbedaan Pendapat Ulama) Dalam Hukum Isla”, http://syariah.staincurup.ac.id, diakses tanggal 30 oktober 2015
[8] H.A Djazuli, Ilmu Fiqh (Jakarta, Predana Media Goup, 2005), hal.122
[9] Ilda Hayati, “Ikhtilaf (Perbedaan Pendapat Ulama) Dalam Hukum Isla”, http://syariah.staincurup.ac.id, diakses tanggal 30 oktober 2015