Labels

30 Nov 2016

Dharuriyyat, Hajiyyat Dan Tahsiniyyat

https://loronghki.blogspot.co.id/

Puncak perkembangan dan penggunaan maslahat sebagai prinsip bahkan metode penalaran dalam ushul Fiqh (Sejarah ushul fiqh) kelihatan terjadi ditangan Abu Ishaq al-Syathibi al-Gharnathi (w 790 H/1388 M), yang telah berusaha melakukan semacam penyempurnaan dan bahkan pembeharuan. Beliau menulis sebuah kitab tentang ushul Fiqh yang relatif tebal dan mendalam (Al-Muwaqat Fi Ushul Al-Syari’ah, empat jilid).[1][1] Dengan sistematika yang relatif baru. Dalam buku ini beliau berupaya mengaitkan uraian tentang maslahat dengan uraian tentang maqhasid al-syari’ah (tujuan syari’at) secara lebih erat dan sungguh-sungguh dan menjadikan sebagai salah satu syarat untuk kebolehan berijtihad. Pembahasan ini dia jadikan sebagai sebuah topik baru yang berdiri sendiri didalam usgul fiqh karena sebelumnya topik tentang maqashid al-Syari’at tidak menjadi perhatian besar, dan kalaupun diuraikan selalu dikaitkan atau dibahas sebagai bagian dari metode lain. Berikut ini akan diuraikan kategori maqhasid syari’ah dan perannya dalam menetapkan hukum menurut pandangan Imam Al-Syatibi.

A.    Pengertian Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat
Menurut al-Syatibi ada 3 (tiga) kategori tingkatan kebutuhan untuk mencapai kemashlahatan,[2] yaitu:
1.      Dharuriyyat adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia. Keperluan dan perlindungan al-dharuriyyat ini dalam buku ushul fiqh, termasuk as-Sythibi, membagi menjadi lima buah, yaitu pemenuhan keperluan serta serta perlindungan yang diperlukan untuk:
a.       keselamatan agama (ketaatan ibadah kepada Allah SWT)
b.      keselamatan nyawa (perindividu),
c.       keselamatan akal (termasuk hati nurani),
d.      keselamatan atau kelangsungan keturunan (eksistensi manusia) serta terjaga dan terlidunginya harga diri dan kehormatan seorang dan
e.        keselamatan serta perlindungan atas harta kekayaan yang dikuasai atau dimiliki seorang.
Kelima dharuriyyat tersebut adalah hal yang mutlak harus ada pada diri manusia. Karenanya Allah swt menyuruh manusia untuk melakukan segala upaya keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya Allah swt melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari lima dharuriyat yang lima itu. Segala perbuatan yang dapat mewujudkan atau mengekalkan lima unsur pokok itu adalah baik, dan karenanya harus dikerjakan. Sedangkan segala perbuatan yang merusak atau mengurangi nilai lima unsur pokok itu adalah tidak baik, dan karenanya harus ditinggalkan. Semua itu mengandung kemaslahatan bagi manusia.[3][3] Bila salah satunya tidak ada maka hidup manusia akan terancam, berada dalam kesulitan yang sangat besar dan berkepanjangan, yang akan membawanya kepada kepunahan.[4][4]
Mengenai masalah urutan ada ulama berpendapat bahwa urutan sesuai dengan yang disebutkan diatas, artinya perlindungan dan pemenuhan keperluan agama didahulukan atas empat yang dibawahnya dan perlindungan nyawa didahulukan atas tiga dibawahnya dan begitulah seterusnya secara berurutan. Dan ada juga ulama yang menganggap empat dari lima keperluan diatas yaitu selain agama setingkat, artinya seorang boleh memilih mana yang akan diutamakan dan mana yang akan ditinggalkan atau dikorbankan sesuai dengan pertimbangan dan keadaan nyata yang dia hadapi. Dan semua ulama sepakat bahwa perlindungan agama merupakan yang tertinggi.[5][5]
Untuk menegakkan agama, manusia disuruh beriman kepada allah, rasul, kitab suci, malaikat, hari akhir, mengucapkan dua kalimat syahadat, serta melakukan ibadah yang pokok lainnya. Untuk menjaga agama, allah menyuruh manusia untuk berjihad di jalan allah sebagaimana banyak di tegaskan dalam alquran yang diantaranya pada surat attaubah (9:41);
وجاهدوا باموالكم وانفسكم في سبيل الله
Artinya: “berjihadlah kamu dengan harta dan jiwamu di jalan allah.”[6]
2.    Kebutuhan hajiyyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder, dimana tidak terwujudkan keperluan ini tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan dan kesukaran bahkan mungkin berkepanjangan, tetapi tidak sampai ketingkat menyebabkan kepunahan atau sama sekali tidak berdaya. Jadi yang membedakan al-dharuriyyah dengn al-hajiyyah adalah pengaruhnya kepada keberadaan manusia. Namun demikian, keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan kemudahan serta menghilangkan kesukaran dan kesulitan dalam kehidupan mukallaf.
Tujuan hajiyyat dari segi penetapan hukumnya dikelompokkan pada tiga kelompok:
a.                hal yang disuruh syara’ melakukannya untuk dapat melaksanakan kewajiban syara’ secara baik. Hal ini disebut muqodimah wajib. Umpamanya mendirikan sekolah dalam hubungannya dengan menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas akal. Mendirikan sekolah memang perlu, namun seandainya sekolah tidak didirikan tidaklah berarti tidak akan tercapai upaya mendapatkan ilmu, karena menuntut ilmu itu dapat dilaksanakan di luar sekolah. Kebutuhan akan sekolah itu berada pada tingkat kajian.
b.               Hal yang dilarang syara’ melakukannya untuk menghindarkan secara tidak langsung pelanggaran pada salah satu unsur dhoruri. Perbuatan zina berada pada larangan tingkat dhoruri. Namun segala perbuatan yang menjurus kepada perbuatan zina itu juga dilarang untuk menutup pintu bagi terlaksananya larangan zina yang dhoruri itu. Melakukan holwat (berduaan dengan lawan jenis di tempat sepi) memang bukan zina dan tidak akan merusak keturunan. Juga tidak mesti holwat itu berakhir pada zina. Meskipun demikian, kholwat itu dilarang dalam rangkamenutup pintu terhadap pelaranggaran yang bersifat dhoruri. Kepentingan akan adanya tindakan ini berada pada tingat hajiyyat.
c.                Segala bentuk kemudahan yang ermasuk hukum ruksoh yang memberi kelapangan dalam krhidupan manusia. Sebenarnya tidak ada ruksohpun tidak akan hilang salah satu unsur yang dhoruri itu, tetapai manusia akan berada dalam kesempitan. Ruksoh ini, berlaku dalam hukum ”ibadah” seperti sholat bagi yang berada dalam perjalanan, dalam “muamalah” seperti bolehnya jual beli salam (inden), juga dalam “jinayah” seperti adanya maaf untuk membatalkan plaksanaan qisos bagi pembunuh, baik diganti dengan diyat atau tanpa diyat sama sekali.[7]
3.    Al-tahsiniyyat adalah (tersier) yaitu semua keperluan dan perlindungan yang diperlukan agar kehidupan menjadi nyaman dan lebih nyaman lagi, mudah dan lebih mudah lagi, lapang dan lebih lapang lagi, begitu seterusnya. Dengan istilah lain adalah keperluan yang dibutuhkan manusia agar kehidupan mereka berada dalam kemudahan, kenyamanan, kelapangan.[8]
Tahsiniyah berlaku pada bidang ibadah, seperti berhias dan berpakaian rapi pada waktu ke masjid, pada bidang muamalah seperti pada bidang jual beli syuf’ah, juga berlaku pada adat seperti hemat dalam berbelanja, serta berlaku pula pada bidang jinayah seperti tidak membunuh anak-anak dan perempuan dalam peperangan.
Pembagian tujuan syara’ pada tiga hal tersebut, sekaligus menunjukkan peringkat kepentingan. Tingkat dharury lebih tinggi dari tingkat hajjiyyat, dan tingkat hajiyyat lebih tinggi dari tngkat tahsiniyat. Kebutuhan dalam peringkat yang sesama dharury pun berurutan pula tingkat kepentingannya, yaitu: agama, jiwa, akal ,harta, keturunan (harga diri). Adanya peringkat dan urutan kepentingan  itu akan tampak di saat terjadi perbenturan antar masing masing kepentingan dan salah satu diantaranya harus di dahulukan.

B.  Alasan penetapan ketiga Kategori tersebut
Maqasid Syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syatibi bahwa tujuan pokok disyariatkan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Lebih lanjut Abu Ishaq al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun akhirat kelak.
Dengan memperhatikan ayat-ayat dan hadis-hadis secara teliti, baik yang bersifat khusus (spsesifik, nash khusus) yang menjadi dalil untuk suatu masalah dan juga yang bersifat umum  (nash umum) yang berisi prinsip-prinsip akan diketahui adanya kemaslahatannya yang ingin dicapai dan dilindungi oleh al-qur’an pada setiap perintah, larangan atau keizinan yang diberikan Allah, inilah yang disebut dengan mashalih yang ingin dijaga, dipenuhi dan dilindungi oleh al-Qur’an atau lebih tepatnya menjadi maqashid al-syari’ah.
Menurut al-Syathibi dan para ulama mendukung mashalih mursalah, pembagian maslahat kepada tiga tingkatan yaitu al-dharuriyyat, ah-hajiyyat, al-tahsiniyyat . dan dapat dianggap sudah bersifat qath’I.[9] 

C.  Hubungan Antara Dharuriyyat, Hajiyyat dan Tahsiniyyat
Mengenai hubungan antara ketiga kategori ini mempunyai hubungan yang berjenjang, mulai dari yang paling terpenting sampai kepada yang dianggap pelengkap, yaitu al-Dharuriyyat (keperluan dan perlindungan yang bersifat asasiah, dasariah, primer, elementer, fundamental), al-Hijiyyat adalah keperluan dan perlindungan yang bersifat sekunder, suplementer dan al-Tahsiniyyat adalah keperluan yang bersifat tersier, komplementer. Hubungan antara ketiga jenis dan tingkat keperluan dan perlindungan ini oleh as-Sythibi dijelaskan sebagai berikut:
1.      Al-Dharuriyyat adalah dasar bagi al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat
2.      Kerusakan al-Dharuriyyat akan menyebabkan kerusakan seluruh al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat
3.      Kerusakan al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat tidak akan menyebabkan kerusakan al-Dharuriyyat.
4.      Kerusakan seluruh al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat akan mengakibatkan kerusakan sebagian al-Daruriyyat
5.      Keperluan dan perlindungan al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat perlu dipelihara untuk kelestarian al-Dharuriyyat.
Dengan uraian diatas terlihat bahwa al-Dharuriyyat adalah pokok dan landasan bagi dua keperluan dan  perlindungan ditingkat bawahnya. tidak Keberadaan dua terakhir (al-Hajiyyat dan al-Tahsiniyyat) tergantung penuh kepada al-Dharuriyyat, dengan arti kalau pertama tidak ada maka yang dua dibawahnya menjadi tidak bermanfaat. Sedangkan keberadaan al-dharuriyyat tidak bergantung pada dua yang dibawahnya. Dengan arti kalaupun dua yang dibawahnya tidak ada sama sekali, al-dharuriyyat masih tetap ada walaupun dalam bentuktdk sempurna. Jadi keberadaannya tidak bergantung kepada dua dibawahnya. Tetapi perlu untuk sempurnanya al-dharuriyyat, maka al-hajiyyat dan al-tahsiniyyat harus dipelihara dan diusahakan penyempurnaanya.[10]

D.  Contoh Konkrit dari kehidupan sehari-hari setiap Kategori
1.      Al-dharuriyyat
    Al-dharuriyyat adalah kebutuhan yang harus terpenuhi agar manusia dapat bertahan hidup diatas permukaan bumi secara manusia,kalau salah satunya tidak ada maka hidup manusia akan terancam, berada dalam kesulitan yang sangat besar dan berkepanjangan dan akan membawa kepada kepunahan. Contoh: kalau pembunuhan dibiarkan terjadi dan dan tidak ada perlindungan terhadap nyawa manusia, maka kehidupan manusia dipermukaan bumi akan terancam, karena tidak bisa hidup tentram, bahkan bisa membawa kepada kepunahan, karena bisa jadi akan saling membunuh dengan alasan yang sepele atau hanya dengan alasan untuk memuakan dendam. Contoh lain kalau pemeliharaan harta tidak ada perlindungan maka manusia tidak dapat hidup tentram dan tidak dapat dikembang keadaan lebih tinggi dari keadaan primitif,  dan apa bila hal seprti ini tidak ada perlindungan sangat mungkin suatu saat semua hartanya akan dicuri. Begitu juga dengan keselamtan akal/ hati nurani, keselamatan keturnan.
Para ulama berpendapat, kalau ada bertentangan antara dua keperluan dari jenis yang berbeda pada urutan yang lima tersebut, maka perlindunagan pada agama harus didahulukan. Dan para ulama sepakat bahwa pemenuhan keperluan dan perlindungan tidak boleh dengan cara merugikan atau mengorbankan perlindungan dan dan kepentingan orang lain. Contoh untuk menyelamatkan diri sendiri diri dari kematian atau tekanan, paksaan orang lai, seorang tidak boleh membunuh orang lain, merusak kehormatan orang lain atau menghancurkan harta orang lain.
2.      Al-hajiyyat
Keperluan dan kebutuhan ini ada untuk hidup tidak terlalu susah, dan kalaupun tidak ada maka sebagian manusia akan berada dalam kesulitan tapi tidak sampai kepada tingkat menyebabkan kepunahan atau sama sekali tidak berdaya[11][10]. Contoh: keperluan rumah yang bersifat al-dharuriyyat karena manusia memerlukan untuk berlindung dari cuaca, atau dari serangan binatang buas dan lain-lain, tempat yang masuk dalam kategori al-dhaririyyat untuk memenuhi kebutuhan dasariah diatas tidak musti rumah yang dibuat dari kayu, atau batu yang kokoh, gua atau cabang-cabang kayu, kemah atau pondok yang seadanya pun dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasariah, karena manusai dapat berlindung didalamnya walaupun tentunya dengan cara yang sederhana dan boleh jadi sama sekali tidak memberikan kemudahan dan kenyamanan. Jadi keperluan rumah yang dibuat secara khusus dengan dinding dan atap yang kuat serta lantai yang hangat yang dibagi kepada kamar-kamar dengan fungsin dan kegunaan yang berbeda masuk kedalam kategori al-hajiyyat.[12][11]
3.      Al-Tahsiniyyat
Keperluan dan perlindungan tingkat ketiga ini adalah semua keperluan dan perlindungan yang diperlukan agar kehidupan lebih nyaman, lebih mudah, dan seterusnya.[13][12] Kebutuhan ini kelihatannya tidak menyentuh kepada kegiatan atau suatu yang menjadi kebutuhan pokok atau subtansial bagi kehidupan, tetapi hanya berhubungan dengan suatu yang menjadi fasilitas, tata cara atau upaya menghasilkan barang-barang yang dapat mempermudah pemenuhan dan perlindunga al-dharuriyyat dan al-hajiyyat yang sudah disebutka diatas. Contoh: tidur diatas kasur, memasak makanan, menyediakan berbagai berbagai jenis bumbu, menciptakan dan menggunakan berbagai alat untuk transportasi ,dan sebagainya termasuk kedalam al-tahsiniyyat.
Namun bila dikaitkan dengan pada masa sekarang (modern) tentu sangat berbeda dengan masa lalu (masa imam mazhab dan masa sahabat), maka yang awalnya bersifat al-hajiyyat berubah menjadi al-dharuriyyat. Contoh: listrik, tentu kita berpikir tanpa listrikpun manusia tetap hidup dan tidak membawa kepada kepunahan, misalnya orang yang hidup masih primitif disebuah kota modern, ketergantungan pada listrik relative tinggi sekali, pengaturan lalu lintas, penyulingan air, dan penglirannya kegedung-gedung tinggi dan menjalankan berbagai aktivitas dirumah sakit, menjalankan pabrik, menjalankan berbagai alat rumah tangga , semua bergantung kepada listrik, bila listrik mati maka kota akan lumpuh total, dengan arti bawa kegiatan dan aktivitas tidak bisa dilaksanakan, maka listrik masuk dalam kategori al-dharuriyyat.
Contoh pada masa lalu petani merasa puas mengelola sawahnya dengan teknologi sederhana, seperti cangkul, parang, ditarik dengan lembu, kuda, kerbau, serta irigasi seadanya bahkan tadah hujan, dengan bibit biasa tanpa pupuk dan lain-lain, sedangkan pada sekarang petani yang hanya menggunakan alat-alat diatas kalah bersaing dengan dengan petani yang menggunakan traktor dan hasil ilmu pengetahuan modern lainnya. Jadi untuk dapat mempertahankan tingkat kesejahteraannya, agar tidak dikalahkan oleh petani yang sudah modern, maka petani tradisional harus meningkatkan kualitas dan beralih ke traktor dan alat modern lainnya.
Oleh karena itu, layak untuk dipertimbangkan bahwa kualitas capaian keperluan dan perlindungan al-dharuriyyat seperti diuraikan diatas tidak memadai kalau hanya pada tingkat standar, maka kualitas tersebut perlu ditingkatkan sampai ketingkat yang paling tinggi. Maka pada kesimpulanya bahwa al-dharuriyyat al-khamsah perlu akan bergeser sedikit. Bukan lagi hanya sekedar pemenuhan dan perlindungan keperluan dasariah tapi akan ditambah dengan meningkatkan dan pengembangan keperluan dasariah sehingga mampu bertahan bahkan menjadi lebih unggul dari orang lain dalam persaingan hidup.[14][13]

Kesimpulan
1.      Kemaslahatan tidak lebih dati 3 macam yaitu kemaslahatan al-Dharuriyyat (Primer), kemaslahatan al-Hajiyyat (sekunder), kemaslahatan al-Tahsiniyyat (tersier).
2.      kemaslahatan al-Dharuriyyat adalah perlindungan dan kebutuhan yang paling penting dibandingkan kategori lainnya, Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia bahkan kepunahan.
3.      kemaslahatan al-Dharuriyyat terbagi kepada, dan kelimanya harus lengkap, Bila salah satunya tidak ada maka hidup manusia akan terancam, berada dalam kesulitan yang sangat besar dan berkepanjangan, yang akan membawanya kepada kepunahan
4.      Sebagaimana dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syatibi bahwa tujuan pokok disyariatkan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Lebih lanjut Abu Ishaq al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun akhirat kelak.
5.      kualitas capaian keperluan dan perlindungan al-dharuriyyat seperti diuraikan diatas tidak memadai kalau hanya pada tingkat standar, maka kualitas tersebut perlu ditingkatkan sampai ketingkat yang paling tinggi. Maka pada kesimpulanya bahwa al-dharuriyyat al-khamsah perlu akan bergeser sedikit. Bukan lagi hanya sekedar pemenuhan dan perlindungan keperluan dasariah tapi akan ditambah dengan meningkatkan dan pengembangan keperluan dasariah sehingga mampu bertahan bahkan menjadi lebih unggul dari orang lain dalam persaingan hidup

Daftar Pustaka
[1] Al Yasa’ Abubakar, Metode Istishlahiah Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan Dalam Ushul Fiqh, (Banda Aceh: CV Diandra Primamitra Media, 2012), Hal 39-40
[2] Satria Efendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2005) hal.233
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, cet. ke-4 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal 209
[4] Al Yasa’ Abubakar. Hal 85

[6] Amir syarifudin, ushul fiqih jilid II, (jakatra: kencana prenada media group,2008) hal.209
[7] Amir syarifudin, ushul fiqih jilid II, (jakatra: kencana prenada media group,2008) hal. 213
[8] Yusuf al-Qadharawi, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern (Kairo: Makabah Wabah, 1999), hlm.79
[9] Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat, Darul Ma’rifah,  Bairut, 1997, jilid 1-2, hal. 324
[10][9] Al Yasa’ Abubakar. Hal 83-84
[11][10] Sahal Mahfudh, Nuansa Fikih Sosial (Yogyakarta: LKIS, 1994), hlm.22.
[12][11] Alyasa’ Abubakar. Hal 91
[13][12] Wael b Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam (Jakarta: Grafindo, 2000), hlm.267
[14][13] Alyasa’ Abubakar. Hal 101