“ ITTIBA’, TALFIQ DAN TAQLID “
1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ilmu
usul fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat
berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’
secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melaui usul fiqh dapat
ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil dalil yang kelihatanya
bertentangan dengan dalil lainyan.
Dalam
usul fiqh juga dibahas masalah itiba’ ta lfiq dan taklid. Ketiganya memiliki
arti yang berbeda dan maksud yang berbeda. Tetapi ketiga tiganya sangat jelas
diatur dalam islam.
1.2
Rumusan masalah
Dalam
makalah ini, penyusun akan membahas perihal yang berkaitan dengan:
1.
Apa
yang di maksud dengan ittiba’,talfiq dan taklid?
2.
Bagaimanakah
hukum-hukum dalam ber ittiba, talfiq dan bertaklid?
3.
Bagaimanakah
pendapat ulama mengenai ittiba’ talfiq dan taklid ?
2. PEMBAHASAN
2.1 Ittiba’
2.1.1Pengertian
itiba’
Ittiba’
dari segi bahasa berarti “menurut” atau “mengikuti, sedangkan orang yang di
ikuti disebut muttabi.Kalangan usuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah
mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan
oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang
lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.
2.1.2 Pembagian
Ittiba’
Ittiba’dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Ittiba’ kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan
b. Ittiba’ kepada selain
Allah dan Rasul- Nya.
Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya wajib sesuai dengan firman Allah
dalam surat Al-A’raf [7]:3:
اتعوا ما انزل
اليكم من ربكم ولاتتبعو امن دونه اولياء قليلا ماتذكرون
“ikutilah
apa yang diturunkan keopadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selainya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(daripadanya)”.
Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujahid (selain Allah dan
Rasul-Nya) terdapat perbedaan Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’
kepada Rasul. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa boleh ittiba’
kepada ulama yang dikategorikan sebagai warotsatul anbiya’, dengan alasan
firman Allah Al-Nahl [16]: 43 yang artinya : maka bertanyalah kepada
orang-orang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahun” (ahl
al-Dzikri) dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Al-Quran
dan hadist serta bukan pengetahuan berdasarkan pengalaman semata. Karena
orang-orang seperti yang disebut terakhir dikhawatirkan akan banya melakukan
penyimpangan-penyimpangan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dan hadis Rasul,
bahkan yang terkandung dalam Al-Quran. Untuk itu, kepada orang-orang seperti
ini tidak dibenarkan berittiba kepadanya.
Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi’ tidak
memenuhi syarat-syarat tertentu untuk berittiba’. Bila seseorang tidak
sanggup memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya
kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui
Islam. Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum Muslimin sekalipun mereka
awam dapat mengamalkan ajaran Islam dengan penuh keyakinan karena adanya
pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian dan
keyakinan akan menimbulkan kekhusukan dan keikhlasan.
Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seseorang mujtahid
atau ulama diragukan kebenarnya, maka muttabi’ yang bersangkutan bole saja bertanya kepada
mujtaid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan keyakinan
dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba’ tidak harus dilakukan kepada beberapa orang
mujtahid atau ulama. Mungkin dalam satu masalah mengikuti ulama A dan dalam
masalah lain mengikuti ulama B.[1]
Apabila seseorang laki-laki mengikuti pendapat imam syafi’i yang
mengatakan bahwa wudhu seseorang batal apabila bersentuhan kulit dengan wanita
yang buaknn mahrom ia harus mengetahui dalil yang dipergunakan imam syafi’i
dalam mendukung pendapatnya.
2.2 Talfiq
2.2.1 Pengertian Talfiq
Dalam
perbendaharaan bahasa Arab talfiq berarti menyamakan atau merapatkan dua tepi
yang berbeda. Menurut peristilahan ulama ushul fiqih, talfiq dimaksudkan
sebagai nama dari salah satu sikap beragama yang mengambil atau mengikuti hukum
dari suatu peristiwa berdasarkan kepada pendapat dari berbagai mazhab.[2]
Dalam literatur ushul fiqh sulit ditemukan pembahasan secara jelas
tentang definisi talfiq. Namun hampir semua literatur menyinggung
masalah ini dalam pembahasan tentang beralihnya orang yang minta fatwa kepada
imam mujahid lain dalam masalah yang lain. Perpindahan mazhab inilah yang
mereka namakan talfiq dalam arti: “beramal dalam urusan agama dengan
berpedoman kepada petunjuk beberapa mazhab”.
Ada pula yang memahami talfiq itu dalam lingkup lebih
sempit, yaitu dalam satu masalh tertentu. Umpamanya talfiq dalam masalh
persyaratan sahnya nikah, yaitu dengan cara: mengenai persyaratan wali nikah
mengikuti satu mazhab tertentu, sedangkan mengenai persyaratan penyebuatan
mahar mengikuti mazhab lain.[3]
2.2.2 Hukum
Talfiq
Para
ulama memperbincangkan masalah hukum talfiq tersebut. Tentunya masalah
ini tidak menjadi bahan perbincangan bagi kalangan ulama yang tidak
mengharuskan seseorang untuk mengikatkan dirinya kepada suruh mazhab, atau
kepada seorang mujtahid (mufti) tertentu. Demikian juga bagi kalangan
ulama mengharuskan bermazhab dan tidak boleh berpindah mazhab. Mereka merasa
tidak perlu memperbincangkan masalah ini karena talfiq itu tersendiri
pada hakikatnya adalah pindah mazhab. Bagi kedua kalangan ulama tersebut, talfiq
sudah jelas hukumnya. Karena itu, perbincangan tentang talfiq itu
muncul di kalangan ulama yang membolehkan tentang talfiq itu muncul
dikalangan ulama yang membolekan
berpindah mahzab dalam masalah tertentu sebagaimana tampak dalam pendapat
ketiga pada uraian di atas tentang boleh tidaknya seseorang berpindah mazhab.[4]
Pada dasarnya, talfiq dibolehkan dalam Islam, selama tujuan
melaksanakanya semata-mata mengikuti pendapat yang lebih kuat argumentasinya,
yaitu setelah meneliti dalil-dalil dan analisis masing-masing pendapat
tersebut. Namun, bila tallfiq dimaksudkan untuk mencari keringanan dan
mengumpulkanya dalam suatu perbuatan tertentu, hal itu tidaklah dibenarkan
menurut pandangan jumhur ulama. Dan perlu diingat talfiq dalam masalah
ibadah seharusnya dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sikap
pertentangan yang ditunaikan untuk mencari keridhaan Allah.[5]
Sebagian ulama menolak talfiq dengan tujuan untuk mencari
kemudahan. Kemudian Ibnu Subki menukilkan pendapat Abu Ishaq al-Marwazi yang
beda dengan itu (yaitu membolehkan) kemudian diluruskan pengertianya oleh
al-Mahalli yang menyatakan fasik melakukanya; sedangkan Ibnu Abu Hurairah
menyatakan tidak fasik.
Jika pendapat diatas dibandingkan dengan pandangn al-Razi dalam kitab al-Mashul dan syarahnya yang mengutip persyaratan yang
dikemukakan al-Royani dan komentar Ibn ‘Abad al-Salam, dapat disimpulakn bahwa
boleh tidaknya talfiq tergantung kepada motivasi dalam melakukan talfiq
tersebut. Motivasi ini diukur dengan kemaslahatan yang bersifat umum. Kalau
motivasinya adalah negatif, dengan arti mempermainkan agama atau mempermudah
agama, maka hukukmnya tidak boleh. Umpamanya seorang laki-laki menikahi seorang
perempuan tanpa wali, tanpa saksi, dan tanpa menyebutkan mahar, padahal untuk
memenuhi ketiga syarat itu tidak susah; maka jelas bahwa orang tersebut
menganggap enteng ajaran agama dan mempermainkan hukum syara’.
Bila talfiq dilakukan dengan motivasi mashalat, yaitu
menghindarkan kesulitan dalam beragama talfiq dapat dilakukan. Inilah
yang dimaksud al-Razi dengan ucapan, “Terbuka hatinya waktu mengikuti mazhab
yang lain itu” dalam memahami arti “kemudahan” yang harus dihindarkan
dalam bertalfiq.
Bila talfiq dilakukan
oleh suatu negara dalam pembentukan suatu peraturan yang akan dijalankan umat
Islam, maka tidak ada alasanya untuk menolaknya karena suatu negara (Sultan)
dalam berbuat untuk umatnya berdasarkan pada kemaslahatan umum. Umpamanya
undang-undang perkawinan yang berlaku hampir di semua negara yang berpenduduk
Muslim, dirumuskan atas dasar talfiq.[6]
2.2.3
Berhati-hati dalam melakukan talfiq
Untuk
tindakan berhati-hati dalam melakukan talfiq adalah relevan untuk
mengikuti persyaratan yang dikemukakan al-Alai yang diikuti al-Tahrir serta
sesuai dengan diriwayatkan Imam Ahmad dan al-Quduri yang diikuti Ibn Syureih
dan Ibnu Hamdan. Persyaratan dalam talfiq tersebut adalah :
1.
Pendapat
yang dikemukakan oleh mazhab lain itu dinilainya lebih bersikap hati-hati dalam
menjalankan agama.
2.
Dalil
dari pendapat yang dikemukakan mazhab itu dinilainya kuat dan rajih.[7]
2.3 Taqlid
2.3.1 Pengertian Taqlid
Taqlid berasal dari
bahasa Arab yang berarti “mengulangi, meniru, dan mengikuti”. Para ulama ushul
memberikan definisi taqlid dengan “mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau
ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut”.
Sedangkan orang yang taqlid disebut mukallid. Definisi yang lebih lengkap adalah diberikan
Ibnu al-Humam:
“Taqlid ialah beramal dengan pendapat seseorang yang tidak
berkedudukan sebagai hujah, tanpa mengetahui hujahnya.”[8]
Muhammad Rasyid Radha merumuskan definisi taqlid dengan
kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat Islam. Taqlid menurut beliau adalah mengikuti pendapat orang
yang dianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum Islam tanpa
memperhatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta memanfaatkan
madharatnya pendapat tersebut.[9]
Adapun Taqlid yang diamaksud dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah
:
قبول قول القاءل وانت لا تعلم من اين قاله
Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak
mengetahui alasan perkataannya itu.[10]
Dari rumusan beberapa definisi dapat dirumuskan hakikat taklid itu
dengan :
1.
Taklid
itu adalah beramal berdasarkan ucapan atau pendapat orng lain.
2.
Ucapan
atau pendapat orang lain itu bukan bernilai hujah syari’ah.
3.
Orang
yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui hujah atau dalil dari
pendapat yang diikutinya itu.
Dari hakikat taklid tersebut, yang merupakan kriteria dari
seseorang bertaqlid dan dihubungkan kepada mujtahid yang dijelaskan dia atas,
maka umat Islam sehubungan dengan pelaksanaan hukum syara’ ada tiga lapis :
a.
Mujtahid,
yaitu orang yang mempunyai pendapat tentang hukum syara’ yang ditemukanya
melalui ijtihadnya sendiri dan beramal dalam agama dengan hasil ijtihadnya itu.
b.
Muttabi’
, yaitu orang yang tidak mampu mengahsilakn sendiri pendapatnya tentang hukum,
dan oleh karena itu dalam beramal ia mengikuti pendapat imam mujtahid tertentu,
namun ia mengetahui alasan dan dalil hukm dari pendapat orang lain yang
diikutinya itu. Secara sederhana orang dalam tingkat ini disebut ‘alim.
c.
Muqallid,
yaitu orang yang tidak mampu menghasilkan pendapat diri sendiri tentang hukum,
oleh karena itu ia mengikuti saja pendapat orang lain itu tanpa mengetahui
alasanya dan dalil dari pendapat tersebut.[11]
2.3.2 Hukum Bertaklid
Dari hakikat taklid yang diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa
seseorang yang tidak tahu hukum dan bertanya kepada orang yang tahu dan
beramall mengikuti pendapat orang yang tau hukum itu dapat dimkasudkan dalam
pengertia taqlid. Di antara mazhab fiqh ada yang melarangnya dengan
mengemukakan alasan-alasan dari Al-Quran. Namun dalam Al-Quran ada pula
perintah terhadap orang yang tidak tahu, sebagai mana terdapat dalam surat an-nahl
(16) ayat 43 :
فاسالوا اهل الذكر ان كنتم لا تعلمون
“maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui” an-Nahl (16) ayat 43.
Oleh karena itu, untuk menentukan hukum bertaklid itu tidak dapat
diambil secara hitam putih, tetapi harus melihatnya dari beberapa segi.
a)
Taklid
yang dilakukan mujtahid kepada mujtahid lain. Dalam hal ini terdapat beragam
pendapat sebagai berikut :
1.
Kebanyakan
ulama sepakat mengatakan haram hukumnya seorang mujtahid melakukan taklid
secara mutlak,karena ia mampu melakukan ijtihad dengan sendirinya.
2.
Sebagian
ulama seperti Amad bin Hambal, Abu Ishak bin al-Rawaih, dan Sofyan al – Tsauri
mengatakan boleh mujtahid melakukan taklid kepada mujtahid lain secara mutlak.
3.
Imam
Syafi’i dalam qaul qadimnya ( waktu di Irak ) berpendapat boleh mujtahid
bertaklid kepada mujtahid lain dalam level sahabat Nabi dan tidak boleh kepada
mujtahid lainnya.
4.
Muhammad
bin Hasanal – Syaibani berpendapat, boleh mujtahid bertaklid kepada mujtahid
lain yang lebih alim daripadanya.
5.
Ulama
lain berpendapat bolehnya mujtahid bertaklid kepada mujtahid lain, tetapi hanya
untuk diamalkannya sendiri dan tidak untuk difatwakannya.
6.
Ibnu
sureij berpendapat bolehnya mujtahid bertaklid kepada mujtahid lain bila ia
menghadapi keterbatasan waktu untuk berijtihad sendiri.
7.
Ulama
lain berpendapat bolehnya seseorang mujtahid bertaklid kepada mujtahid lain
bila ia seorang yang bertugas sebagai qadhi.
b. Hukum taklid yang dilakukan oleh muttabi’ atau alim. Dalam hal
ini ulama juga berbeda pendapat sebagai berikut:
1.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang alim bertaklid kepada mujtahid, karena
ia mempunyai kemampuan untuk mendapatkan hukum dangan sendirinya walaupunia
belum kemampuan mujtahid.
2.
Sebagian
ulama berpendapat boleh seseorang alim bertaklid kepada mujtahid lain dengan
syarat ia dapat mengetahui kekuatan dalil yang digunakan mujtahid yang
diikutinya itu.
c. Hukum bertaklid yang dilakukan orang awam kepada seorang
mujtahid. Hal ini juga menjadi tempat beda pendapat sebagai berikut :
1.
Menurut
al – Baidhawiy dari kalangan Syafi’iyah dan kebanyakan ulama lainnya
berpendapat bahwa bolehnya orang awam dan orang yang tidak mempunyai kemampuan
berijtihad untuk bertaklid. Bahkan diantara golongan ini ada yang mewajibkan
orang awam bertaklid kepada mujtahid, sesuai dengan kehendak Allah dalam ayat
43 surat an –Nahl ( 16 ) yang telah disebutkan.
2.
Segolongan
ulama mu’tazilah Baghdad berpendapat tidak bolehnya orang awam betaklid, tetapi
ia wajib mencapai hukum melalui ijtihadnya dan untuk itu ia arus belajar.
3.
Al –
Jubba’iy dari kalangan mu’tazilah berpendapat bolehnya seorang awam bertaklid
dalam bidang ijtihadiyah dan tidak boleh dalam hal – hal yang ada nashnya yang
jelas.[12]
2.3.3 Ketentuan Bertaklid
Seseorang yang akan melakukan taklid kepada seorang imam mujtahid,
disyaratkan bahwa ia mengetahui orang yang diikuti pendapatnya itu memang
mempunyai kemampuan untuk berijtihad dan mempunyai sifat adalah, yaitu tidak
cacat moralnya dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak sering
melakukan dosa kecil, dan selalu menjadi muruah ( moral / harga diri ).
Pengatahuannya tentang mujtahid itu dicukupkan dari berita yang masyhurditengah
umat[13]
2.3.4 Pesan Para Ulama mengenai Taqlid.
·
Imam
Abu Hanifah berkata : Jika perkataan saya menyalahi kitab Allah dan Hadits
Rasol maka tinggalkanlah perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh mengambil
perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata.
·
Imam
Malik berkata : Saya hanya manusia biasa yang kadang kadang salah dan kadang
kadang benar. Selidiki pendapat saya, kalau sesuai dengan quran dan hadits maka
ambillah. Yang menyalahi hendaknya tinggalkan.
·
Imam
Syafi’i berkata : Perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah ( alasan )
seperti orng yang mencari kayu di waktu malam. Ia membawa kayu kayu sedang
didalamnya ada ular yang mengantup, dan ia tidak tahu.
·
Imam
Ahmad bin Hambal berkata : Jangan mengikuti Taqlid saya atau Malik, atau Tsauri
atau Auza’ii tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.
·
Ibnu
Mas’ud berkata : Kamu jangan mengaklidi orang kalau ia Iman maka kamu beriman,
kalau kamu kafir maka kamu kafir, tidak ada tauladan dalam hal hal buruk.[14]
3. KESIMPULAN
Pada pembahsan kali ini menyimpulkan bahwasanya i’ttiba’ ,
talfiq, taqlid adalah beberapa qoidah ushul fiqih dimana dari pembahasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa :
1.
Itiba’
adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang
boleh Rasulullah.
2.
Talfiq
adalah sikap mengikuti hukum dari suatu peristiwa berdasarkan
pendapat para mahzab.
3.
Taqlid
adalah mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tanpa
mengetahui sumber atau kaidahnya masih samar.
4. DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin,
Amir, 2012. Garis Garis Besar Usul Fiqh, Kencana Prenada Media Grup,
Jakarta.
Koto,
Alaiddin, 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, PT Rajagrafindo Persada,
Jakarta.
Syarifuddin,
Amir, 2011. Ushul Fiqh Jilid 2, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
A.
Hanafie, 1963. Ushul Fiqh, Widjaya cetakan ke – 3, Jakarta.
Djalil,
A Basiq, 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Kencana, Jakarta.
[1] Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, M. A, Ilmu
Fiqih dan Ushul Fiqih, ( Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2004 ) hlm. 129
– 131.
[2] Ibid Hal
131
[3] Prof.
Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih 2, ( Jakarta : Kencana Prenada
Media Group, 2011 ), hlm. 453
[4] Ibid hlm.
454.
[5] Prof.
Dr. H. Alaiddin Koto, M. A, op. cit, hlm. 132
[6] Prof.
Dr. H. Amir Syarifuddin, op. cit, hlm. 454- 455.
[7] Ibid,
hlm. 455.
[8] Prof.
Dr. H. Amir Syarifuddin, Garis – Garis Besar Ushul Fiqh, ( Jakarta :
Kencana Media Group, 2012) hlm. 163
[9] Prof.
Dr. H. Alaiddin Koto, M. A, op. cit, hlm. 132
[10] A.
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih satu dan Dua ( Jakarta : Kencana, 2010 )
hlm. 195
[11] Prof.
Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih 2, ( Jakarta : Kencana Prenada
Media Group, 2011 ), hlm. 436
[12] Prof.
Dr. H. Amir Syarifuddin, Garis – Garis Besar Ushul Fiqh, ( Jakarta :
Kencana Media Group, 2012) hlm. 164- 167
[13] Ibid
hlm. 168
[14] A.
Hanafie, Usul Fiqh, ( Jakarta : Widjaya cetakan ke – 3, 1963 ) hlm. 159