Labels

14 Oct 2015

ITTIBA', TALFIQ DAN TAQLID



“ ITTIBA’, TALFIQ DAN TAQLID “


1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu usul fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melaui usul fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil dalil yang kelihatanya bertentangan dengan dalil lainyan.
Dalam usul fiqh juga dibahas masalah itiba’ ta lfiq dan taklid. Ketiganya memiliki arti yang berbeda dan maksud yang berbeda. Tetapi ketiga tiganya sangat jelas diatur dalam islam.
1.2 Rumusan masalah
Dalam makalah ini, penyusun akan membahas perihal yang berkaitan dengan:
1.      Apa yang di maksud dengan ittiba’,talfiq dan taklid?
2.      Bagaimanakah hukum-hukum dalam ber ittiba, talfiq dan bertaklid?
3.      Bagaimanakah pendapat ulama mengenai ittiba’ talfiq dan taklid ?












2. PEMBAHASAN

2.1 Ittiba’
2.1.1Pengertian itiba’
Ittiba’ dari segi bahasa berarti “menurut” atau “mengikuti, sedangkan orang yang di ikuti disebut muttabi.Kalangan usuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.
2.1.2 Pembagian Ittiba’
Ittiba’dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a.  Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
b.  Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul- Nya.
Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya wajib sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-A’raf [7]:3:
اتعوا ما انزل اليكم من ربكم ولاتتبعو امن دونه اولياء قليلا ماتذكرون
ikutilah apa yang diturunkan keopadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”.
Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujahid (selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat perbedaan Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’ kepada Rasul. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada ulama yang dikategorikan sebagai warotsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah Al-Nahl [16]: 43 yang artinya : maka bertanyalah kepada orang-orang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahun” (ahl al-Dzikri) dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Al-Quran dan hadist serta bukan pengetahuan berdasarkan pengalaman semata. Karena orang-orang seperti yang disebut terakhir dikhawatirkan akan banya melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dan hadis Rasul, bahkan yang terkandung dalam Al-Quran. Untuk itu, kepada orang-orang seperti ini tidak dibenarkan berittiba kepadanya.
Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi’ tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk berittiba’. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui Islam. Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum Muslimin sekalipun mereka awam dapat mengamalkan ajaran Islam dengan penuh keyakinan karena adanya pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian dan keyakinan akan menimbulkan kekhusukan dan keikhlasan.
Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seseorang mujtahid atau ulama diragukan kebenarnya, maka muttabi’  yang bersangkutan bole saja bertanya kepada mujtaid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan keyakinan dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba’  tidak harus dilakukan kepada beberapa orang mujtahid atau ulama. Mungkin dalam satu masalah mengikuti ulama A dan dalam masalah lain mengikuti ulama B.[1]
Apabila seseorang laki-laki mengikuti pendapat imam syafi’i yang mengatakan bahwa wudhu seseorang batal apabila bersentuhan kulit dengan wanita yang buaknn mahrom ia harus mengetahui dalil yang dipergunakan imam syafi’i dalam mendukung pendapatnya.
2.2 Talfiq
2.2.1  Pengertian Talfiq
Dalam perbendaharaan bahasa Arab talfiq  berarti menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda. Menurut peristilahan ulama ushul fiqih, talfiq dimaksudkan sebagai nama dari salah satu sikap beragama yang mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa berdasarkan kepada pendapat dari berbagai mazhab.[2]
Dalam literatur ushul fiqh sulit ditemukan pembahasan secara jelas tentang definisi talfiq. Namun hampir semua literatur menyinggung masalah ini dalam pembahasan tentang beralihnya orang yang minta fatwa kepada imam mujahid lain dalam masalah yang lain. Perpindahan mazhab inilah yang mereka namakan talfiq dalam arti: “beramal dalam urusan agama dengan berpedoman kepada petunjuk beberapa mazhab”.
Ada pula yang memahami talfiq itu dalam lingkup lebih sempit, yaitu dalam satu masalh tertentu. Umpamanya talfiq dalam masalh persyaratan sahnya nikah, yaitu dengan cara: mengenai persyaratan wali nikah mengikuti satu mazhab tertentu, sedangkan mengenai persyaratan penyebuatan mahar mengikuti mazhab lain.[3]

2.2.2 Hukum Talfiq
Para ulama memperbincangkan masalah hukum talfiq tersebut. Tentunya masalah ini tidak menjadi bahan perbincangan bagi kalangan ulama yang tidak mengharuskan seseorang untuk mengikatkan dirinya kepada suruh mazhab, atau kepada seorang mujtahid (mufti) tertentu. Demikian juga bagi kalangan ulama mengharuskan bermazhab dan tidak boleh berpindah mazhab. Mereka merasa tidak perlu memperbincangkan masalah ini karena talfiq itu tersendiri pada hakikatnya adalah pindah mazhab. Bagi kedua kalangan ulama tersebut, talfiq sudah jelas hukumnya. Karena itu, perbincangan tentang talfiq itu muncul di kalangan ulama yang membolehkan tentang talfiq itu muncul dikalangan ulama yang  membolekan berpindah mahzab dalam masalah tertentu sebagaimana tampak dalam pendapat ketiga pada uraian di atas tentang boleh tidaknya seseorang berpindah mazhab.[4]
Pada dasarnya, talfiq dibolehkan dalam Islam, selama tujuan melaksanakanya semata-mata mengikuti pendapat yang lebih kuat argumentasinya, yaitu setelah meneliti dalil-dalil dan analisis masing-masing pendapat tersebut. Namun, bila tallfiq dimaksudkan untuk mencari keringanan dan mengumpulkanya dalam suatu perbuatan tertentu, hal itu tidaklah dibenarkan menurut pandangan jumhur ulama. Dan perlu diingat talfiq dalam masalah ibadah seharusnya dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sikap pertentangan yang ditunaikan untuk mencari keridhaan Allah.[5]
Sebagian ulama menolak talfiq dengan tujuan untuk mencari kemudahan. Kemudian Ibnu Subki menukilkan pendapat Abu Ishaq al-Marwazi yang beda dengan itu (yaitu membolehkan) kemudian diluruskan pengertianya oleh al-Mahalli yang menyatakan fasik melakukanya; sedangkan Ibnu Abu Hurairah menyatakan tidak fasik.
Jika pendapat diatas dibandingkan dengan pandangn  al-Razi dalam kitab al-Mashul  dan syarahnya yang mengutip persyaratan yang dikemukakan al-Royani dan komentar Ibn ‘Abad al-Salam, dapat disimpulakn bahwa boleh tidaknya talfiq tergantung kepada motivasi dalam melakukan talfiq tersebut. Motivasi ini diukur dengan kemaslahatan yang bersifat umum. Kalau motivasinya adalah negatif, dengan arti mempermainkan agama atau mempermudah agama, maka hukukmnya tidak boleh. Umpamanya seorang laki-laki menikahi seorang perempuan tanpa wali, tanpa saksi, dan tanpa menyebutkan mahar, padahal untuk memenuhi ketiga syarat itu tidak susah; maka jelas bahwa orang tersebut menganggap enteng ajaran agama dan mempermainkan hukum syara’.
Bila talfiq dilakukan dengan motivasi mashalat, yaitu menghindarkan kesulitan dalam beragama talfiq dapat dilakukan. Inilah yang dimaksud al-Razi dengan ucapan, “Terbuka hatinya waktu mengikuti mazhab yang lain itu” dalam memahami arti “kemudahan” yang harus dihindarkan dalam bertalfiq.
Bila talfiq  dilakukan oleh suatu negara dalam pembentukan suatu peraturan yang akan dijalankan umat Islam, maka tidak ada alasanya untuk menolaknya karena suatu negara (Sultan) dalam berbuat untuk umatnya berdasarkan pada kemaslahatan umum. Umpamanya undang-undang perkawinan yang berlaku hampir di semua negara yang berpenduduk Muslim, dirumuskan atas dasar talfiq.[6]
2.2.3 Berhati-hati dalam melakukan talfiq
            Untuk tindakan berhati-hati dalam melakukan talfiq adalah relevan untuk mengikuti persyaratan yang dikemukakan al-Alai yang diikuti al-Tahrir serta sesuai dengan diriwayatkan Imam Ahmad dan al-Quduri yang diikuti Ibn Syureih dan Ibnu Hamdan. Persyaratan dalam talfiq tersebut adalah :
1.      Pendapat yang dikemukakan oleh mazhab lain itu dinilainya lebih bersikap hati-hati dalam menjalankan agama.
2.      Dalil dari pendapat yang dikemukakan mazhab itu dinilainya kuat dan rajih.[7]
2.3 Taqlid
2.3.1 Pengertian Taqlid
Taqlid berasal dari bahasa Arab yang berarti “mengulangi, meniru, dan mengikuti”. Para ulama ushul memberikan definisi taqlid dengan “mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut”. Sedangkan orang yang taqlid disebut mukallid.  Definisi yang lebih lengkap adalah diberikan Ibnu al-Humam:
Taqlid ialah beramal dengan pendapat seseorang yang tidak berkedudukan sebagai hujah, tanpa mengetahui hujahnya.”[8]
            Muhammad Rasyid Radha merumuskan definisi taqlid dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat Islam. Taqlid  menurut beliau adalah mengikuti pendapat orang yang dianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta memanfaatkan madharatnya pendapat tersebut.[9]
Adapun Taqlid yang diamaksud dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah :
قبول قول القاءل وانت لا تعلم من اين قاله
Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alasan perkataannya itu.[10]
Dari rumusan beberapa definisi dapat dirumuskan hakikat taklid itu dengan :
1.      Taklid itu adalah beramal berdasarkan ucapan atau pendapat orng lain.
2.      Ucapan atau pendapat orang lain itu bukan bernilai hujah syari’ah.
3.      Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui hujah atau dalil dari pendapat yang diikutinya itu.
Dari hakikat taklid tersebut, yang merupakan kriteria dari seseorang bertaqlid dan dihubungkan kepada mujtahid yang dijelaskan dia atas, maka umat Islam sehubungan dengan pelaksanaan hukum syara’ ada tiga lapis :
a.       Mujtahid, yaitu orang yang mempunyai pendapat tentang hukum syara’ yang ditemukanya melalui ijtihadnya sendiri dan beramal dalam agama dengan hasil ijtihadnya itu.
b.      Muttabi’ , yaitu orang yang tidak mampu mengahsilakn sendiri pendapatnya tentang hukum, dan oleh karena itu dalam beramal ia mengikuti pendapat imam mujtahid tertentu, namun ia mengetahui alasan dan dalil hukm dari pendapat orang lain yang diikutinya itu. Secara sederhana orang dalam tingkat ini disebut ‘alim.
c.       Muqallid, yaitu orang yang tidak mampu menghasilkan pendapat diri sendiri tentang hukum, oleh karena itu ia mengikuti saja pendapat orang lain itu tanpa mengetahui alasanya dan dalil dari pendapat tersebut.[11]


2.3.2 Hukum Bertaklid
Dari hakikat taklid yang diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa seseorang yang tidak tahu hukum dan bertanya kepada orang yang tahu dan beramall mengikuti pendapat orang yang tau hukum itu dapat dimkasudkan dalam pengertia taqlid. Di antara mazhab fiqh ada yang melarangnya dengan mengemukakan alasan-alasan dari Al-Quran. Namun dalam Al-Quran ada pula perintah terhadap orang yang tidak tahu, sebagai mana terdapat dalam surat an-nahl (16) ayat 43 :
فاسالوا اهل الذكر ان كنتم لا تعلمون
maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” an-Nahl (16) ayat 43.
Oleh karena itu, untuk menentukan hukum bertaklid itu tidak dapat diambil secara hitam putih, tetapi harus melihatnya dari beberapa segi.
a)      Taklid yang dilakukan mujtahid kepada mujtahid lain. Dalam hal ini terdapat beragam pendapat sebagai berikut :
1.      Kebanyakan ulama sepakat mengatakan haram hukumnya seorang mujtahid melakukan taklid secara mutlak,karena ia mampu melakukan ijtihad dengan sendirinya.
2.      Sebagian ulama seperti Amad bin Hambal, Abu Ishak bin al-Rawaih, dan Sofyan al – Tsauri mengatakan boleh mujtahid melakukan taklid kepada mujtahid lain secara mutlak.
3.      Imam Syafi’i dalam qaul qadimnya ( waktu di Irak ) berpendapat boleh mujtahid bertaklid kepada mujtahid lain dalam level sahabat Nabi dan tidak boleh kepada mujtahid lainnya.
4.      Muhammad bin Hasanal – Syaibani berpendapat, boleh mujtahid bertaklid kepada mujtahid lain yang lebih alim daripadanya.
5.      Ulama lain berpendapat bolehnya mujtahid bertaklid kepada mujtahid lain, tetapi hanya untuk diamalkannya sendiri dan tidak untuk difatwakannya.
6.      Ibnu sureij berpendapat bolehnya mujtahid bertaklid kepada mujtahid lain bila ia menghadapi keterbatasan waktu untuk berijtihad sendiri.
7.      Ulama lain berpendapat bolehnya seseorang mujtahid bertaklid kepada mujtahid lain bila ia seorang yang bertugas sebagai qadhi.
b. Hukum taklid yang dilakukan oleh muttabi’ atau alim. Dalam hal ini ulama juga berbeda pendapat sebagai berikut:
1.      Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang alim bertaklid kepada mujtahid, karena ia mempunyai kemampuan untuk mendapatkan hukum dangan sendirinya walaupunia belum kemampuan mujtahid.
2.      Sebagian ulama berpendapat boleh seseorang alim bertaklid kepada mujtahid lain dengan syarat ia dapat mengetahui kekuatan dalil yang digunakan mujtahid yang diikutinya itu.
c. Hukum bertaklid yang dilakukan orang awam kepada seorang mujtahid. Hal ini juga menjadi tempat beda pendapat sebagai berikut :
1.      Menurut al – Baidhawiy dari kalangan Syafi’iyah dan kebanyakan ulama lainnya berpendapat bahwa bolehnya orang awam dan orang yang tidak mempunyai kemampuan berijtihad untuk bertaklid. Bahkan diantara golongan ini ada yang mewajibkan orang awam bertaklid kepada mujtahid, sesuai dengan kehendak Allah dalam ayat 43 surat an –Nahl ( 16 ) yang telah disebutkan.
2.      Segolongan ulama mu’tazilah Baghdad berpendapat tidak bolehnya orang awam betaklid, tetapi ia wajib mencapai hukum melalui ijtihadnya dan untuk itu ia arus belajar.
3.      Al – Jubba’iy dari kalangan mu’tazilah berpendapat bolehnya seorang awam bertaklid dalam bidang ijtihadiyah dan tidak boleh dalam hal – hal yang ada nashnya yang jelas.[12]
2.3.3 Ketentuan Bertaklid
Seseorang yang akan melakukan taklid kepada seorang imam mujtahid, disyaratkan bahwa ia mengetahui orang yang diikuti pendapatnya itu memang mempunyai kemampuan untuk berijtihad dan mempunyai sifat adalah, yaitu tidak cacat moralnya dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak sering melakukan dosa kecil, dan selalu menjadi muruah ( moral / harga diri ). Pengatahuannya tentang mujtahid itu dicukupkan dari berita yang masyhurditengah umat[13]
2.3.4 Pesan Para Ulama mengenai Taqlid.
·         Imam Abu Hanifah berkata : Jika perkataan saya menyalahi kitab Allah dan Hadits Rasol maka tinggalkanlah perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata.
·         Imam Malik berkata : Saya hanya manusia biasa yang kadang kadang salah dan kadang kadang benar. Selidiki pendapat saya, kalau sesuai dengan quran dan hadits maka ambillah. Yang menyalahi hendaknya tinggalkan.
·         Imam Syafi’i berkata : Perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah ( alasan ) seperti orng yang mencari kayu di waktu malam. Ia membawa kayu kayu sedang didalamnya ada ular yang mengantup, dan ia tidak tahu.
·         Imam Ahmad bin Hambal berkata : Jangan mengikuti Taqlid saya atau Malik, atau Tsauri atau Auza’ii tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.
·         Ibnu Mas’ud berkata : Kamu jangan mengaklidi orang kalau ia Iman maka kamu beriman, kalau kamu kafir maka kamu kafir, tidak ada tauladan dalam hal hal buruk.[14]


3. KESIMPULAN

Pada pembahsan kali ini menyimpulkan bahwasanya i’ttiba’ , talfiq, taqlid adalah beberapa qoidah ushul fiqih dimana dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa :
1.      Itiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang boleh Rasulullah.
2.      Talfiq adalah sikap mengikuti hukum dari suatu peristiwa berdasarkan pendapat para mahzab.
3.      Taqlid adalah mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tanpa mengetahui sumber atau kaidahnya masih samar.

















4. DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir, 2012. Garis Garis Besar Usul Fiqh, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.
Koto, Alaiddin, 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Syarifuddin, Amir, 2011. Ushul Fiqh Jilid 2, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
A. Hanafie, 1963. Ushul Fiqh, Widjaya cetakan ke – 3, Jakarta.
Djalil, A Basiq, 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Kencana, Jakarta.





[1]  Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, M. A, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, ( Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2004 ) hlm. 129 – 131.
[2] Ibid Hal 131
[3] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih 2, ( Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011 ), hlm. 453
[4] Ibid hlm. 454.
[5] Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, M. A, op. cit, hlm. 132
[6] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, op. cit, hlm. 454- 455.
[7] Ibid, hlm. 455.
[8] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Garis – Garis Besar Ushul Fiqh, ( Jakarta : Kencana Media Group, 2012) hlm. 163
[9] Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, M. A, op. cit, hlm. 132
[10] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih satu dan Dua ( Jakarta : Kencana, 2010 ) hlm. 195
[11] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih 2, ( Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011 ), hlm.  436
[12] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Garis – Garis Besar Ushul Fiqh, ( Jakarta : Kencana Media Group, 2012) hlm. 164- 167
[13] Ibid hlm. 168
[14] A. Hanafie, Usul Fiqh, ( Jakarta : Widjaya cetakan ke – 3, 1963 ) hlm. 159

No comments: