Kenapa menggunakan judul Hukum
merried by anccident? Kenapa tidak Nikah hamil? Sebab menurut saya, definisi
nikah hamil dengan merried by anccident itu berbeda. Definisi nikah hamil
adalah keadaan dimana seorang laki-laki dan perempuan melangsungkan pernikahan
sedangkan si perempuan dalam keadaan hamil.
Sedangkan faktor si perempuan itu
hamil banyak sebabnya. Bisa karena sebab bekas dari suaminya yang dulu yang
menceraikan ia, sebab perkosaan atau sebab berzina. Menurut saya definisi dari Merried
By Accident adalah keadaan dimana seorang laki-laki dan perempuan melangsungkan
pernikahan sedangkan si perempuan itu sudah dalam keadaan hamil sebab berzina.
1.
Faktor
terjadinya merried by accident
Banyak faktor yang menyebabkan
terjadinya nikah hamil. Seperti di zaman sekarang ini pergaulan semakin bebas,
manusia tidak lagi menghiraukan norma-norma agama. Fenomena pacaran sudah
menjadi hal yang lumrah di masyarakat, justru laki-laki dan perempuan yang
tidak pacaran itu dipandang aneh. Yang lebih memperhatinkan, para orang tua
yang justru menjerumuskan anaknya sendiri kejurang kemaksiatan. Mereka justru
merasa bangga jika mengetahui anak perempuannya di datangi tamu laki-laki,
diajak keluar oleh laki-laki yang bukan mahromnya.
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidaklah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat dengan
seorang wanita, melainkan yang ketiganya adalah setan.” (HR. Tirmidzi, no.2165)
Setan yang menjadi pihak ke-3,
merayu laki-laki dan perempuan dengan iming-iming nafsu agar mereka berbuat
zina. Sehingga munculah banyak perempuan yang hamil diluar nikah. Karena perempuan-perempuan
ini tidak bisa menjaga kehormatannya, sedikit saja dia dapat godaan dari
laki-laki, dengan mudahnya ia menukarkan kehormatanya dengan nafsu sesaat.
2.
Hukum
merried by accident
Dalam hukum prundang-undangan
negara, Jika pria tersebut ingin menikahi perempuan yang dihamilinya, maka hal
tersebut dapat dilakukan, karena tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang melarang mengenai hal
tersebut.
Menurut Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain itu jika kita melihat pada ketentuan
mengenai perkawinan-perkawinan yang dilarang berdasarkan UU Perkawinan, dalam
Pasal 8 UU Perkawinan, dikatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang
yang:
a.
berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b.
berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya;
c.
berhubungan semenda, yaitu mertua,anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d.
berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan
dan bibi/paman susuan;
e.
berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Selain itu, mengenai perkawinan yang dilarang,
terdapat juga dalam Pasal 9 dan Pasal 10 UU Perkawinan, yaitu:
a.
Perkawinan juga dilarang perkawinan antara seseorang yang masih terikat
tali perkawinan dengan orang lain, kecuali telah memenuhi syarat dalam Pasal 3
ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan (Pasal 9 UU Perkawinan).
b.
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang
lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi,sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 UU
Perkawinan).
Jika dilihat
dari hukum islam, Perempuan yang tidak bersuami hamil akibat perbuatan zina.
Ulama berbeda pendapat antara bolehnya menikahi wanita dalam keadaan hamil di
luar nikah atau menunggu hingga ia melahirkan.
Majelis
Tarjih Muhammadiyah dalam maklumat yang sama menyatakan seorang laki-laki boleh
menikahi Perempuan yang hamil akibat perbuatan zina jika laki-laki tersebut
adalah orang yang menghamilinya.
Dasar
dari pendapat ini adalah hadis Rasulullah SAW. "Tidak halal bagi seorang
yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menyiramkan airnya ke ladang orang
lain (HR Abu Dawud). Hadis ini menerangkan seorang wanita boleh melakukan akad
nikah dengan laki-laki yang menyebabkan kehamilannya. Karena wanita ini
ibaratnya telah menjadi kebun yang ditanami bibit laki-laki itu. Namun yang
perlu digarisbawahi adalah keterangan ini bukan berarti zina dilegalkan.
Dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 53 disebutkan seorang wanita hamil di luar
nikah bisa dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan tersebut juga
dijelaskan bisa dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
Kemudian dalam perkawinan tersebut, juga tidak diperlukan akad nikah ulang jika
sudah melahirkan.
Dasar
hukum yang dipakai adalah kitab al-Bajuri yang menyebut seorang
lelaki menikahi perempuan yang hamil karena zina sah hukumnya. Boleh mewathi sebelum
melahirkannya.
Beberapa
ulama mensyaratkan tobat sebagai syarat wajib yang dipenuhi. Ibnu Taimiyah
dalam al-Fatawa menyebut
menikahi perempuan pezina haram hukumnya hingga ia bertaubat. Baik yang
menikahi itu lelaki yang menzinahinya atau bukan."
Ulama
juga terbelah dalam syarat tobat ini. Ulama dari kalangan mazhab Hambali, Abu
Qatadah termasuk Ibnu Taimiyah mensyaratkan wajibnya bertobat. Sementara ulama
mazhab Maliki, Syafi'i dan Hanafi tidak mewajibkan tobat.
Selain
itu juga ada perbedaan terkait bolehnya menikahi wanita hamil di luar nikah
tanpa menunggu masa iddah. Imam Syafi;i dan Hanafi membolehkan akad nikah
sebelum perempuan itu melahirkan. Namun keduanya berbeda pendapat tentang
diperbolehkannya dipergauli setelah akad. Imam Syafi'i membolehkan Perempuan
tersebut dipergauli setelah akad baik laki-laki yang menikahinya adalah yang
menghamilinya atau bukan.
Sementara
Imam Abu Hanifah hanya memperbolehkan wanita itu dipergauli jika yang
menikahinya adalah yang menzinahinya. Jika bukan, lelaki tersebut boleh
melangsungkan akad namun menunggu wanita tersebut melahirkan untuk
mempergaulinya. Wallahu a’lam bish-showab.
Daftar ruju’an:
-KHI
(kompilasi hukum islam)
No comments:
Post a Comment