Labels

8 Oct 2015

Hukum Merried By Accident



Kenapa menggunakan judul Hukum merried by anccident? Kenapa tidak Nikah hamil? Sebab menurut saya, definisi nikah hamil dengan merried by anccident itu berbeda. Definisi nikah hamil adalah keadaan dimana seorang laki-laki dan perempuan melangsungkan pernikahan sedangkan si perempuan dalam keadaan hamil.

Sedangkan faktor si perempuan itu hamil banyak sebabnya. Bisa karena sebab bekas dari suaminya yang dulu yang menceraikan ia, sebab perkosaan atau sebab berzina. Menurut saya definisi dari Merried By Accident adalah keadaan dimana seorang laki-laki dan perempuan melangsungkan pernikahan sedangkan si perempuan itu sudah dalam keadaan hamil sebab berzina.

1.      Faktor terjadinya merried by accident

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya nikah hamil. Seperti di zaman sekarang ini pergaulan semakin bebas, manusia tidak lagi menghiraukan norma-norma agama. Fenomena pacaran sudah menjadi hal yang lumrah di masyarakat, justru laki-laki dan perempuan yang tidak pacaran itu dipandang aneh. Yang lebih memperhatinkan, para orang tua yang justru menjerumuskan anaknya sendiri kejurang kemaksiatan. Mereka justru merasa bangga jika mengetahui anak perempuannya di datangi tamu laki-laki, diajak keluar oleh laki-laki yang bukan mahromnya.




لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

Tidaklah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita, melainkan yang ketiganya adalah setan.” (HR. Tirmidzi, no.2165)

Setan yang menjadi pihak ke-3, merayu laki-laki dan perempuan dengan iming-iming nafsu agar mereka berbuat zina. Sehingga munculah banyak perempuan yang hamil diluar nikah. Karena perempuan-perempuan ini tidak bisa menjaga kehormatannya, sedikit saja dia dapat godaan dari laki-laki, dengan mudahnya ia menukarkan kehormatanya dengan nafsu sesaat.

2.      Hukum merried by accident

Dalam hukum prundang-undangan negara, Jika pria tersebut ingin menikahi perempuan yang dihamilinya, maka hal tersebut dapat dilakukan, karena tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang melarang mengenai hal tersebut.


 Menurut Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

 Selain itu jika kita melihat pada ketentuan mengenai perkawinan-perkawinan yang dilarang berdasarkan UU Perkawinan, dalam Pasal 8 UU Perkawinan, dikatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a.    berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;

b.    berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c.    berhubungan semenda, yaitu mertua,anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;

d.    berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;

e.    berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

f.     mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

 Selain itu, mengenai perkawinan yang dilarang, terdapat juga dalam Pasal 9 dan Pasal 10 UU Perkawinan, yaitu:

a.    Perkawinan juga dilarang perkawinan antara seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali telah memenuhi syarat dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan (Pasal 9 UU Perkawinan).

b.    Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 UU Perkawinan).

Jika dilihat dari hukum islam, Perempuan yang tidak bersuami hamil akibat perbuatan zina. Ulama berbeda pendapat antara bolehnya menikahi wanita dalam keadaan hamil di luar nikah atau menunggu hingga ia melahirkan.

Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam maklumat yang sama menyatakan seorang laki-laki boleh menikahi Perempuan yang hamil akibat perbuatan zina jika laki-laki tersebut adalah orang yang menghamilinya. 

Dasar dari pendapat ini adalah hadis Rasulullah SAW. "Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menyiramkan airnya ke ladang orang lain (HR Abu Dawud). Hadis ini menerangkan seorang wanita boleh melakukan akad nikah dengan laki-laki yang menyebabkan kehamilannya. Karena wanita ini ibaratnya telah menjadi kebun yang ditanami bibit laki-laki itu. Namun yang perlu digarisbawahi adalah keterangan ini bukan berarti zina dilegalkan. 

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 53 disebutkan seorang wanita hamil di luar nikah bisa dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan tersebut juga dijelaskan bisa dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya. Kemudian dalam perkawinan tersebut, juga tidak diperlukan akad nikah ulang jika sudah melahirkan.

Dasar hukum yang dipakai adalah kitab al-Bajuri yang menyebut seorang lelaki menikahi perempuan yang hamil karena zina sah hukumnya. Boleh mewathi sebelum melahirkannya.

Beberapa ulama mensyaratkan tobat sebagai syarat wajib yang dipenuhi. Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa menyebut menikahi perempuan pezina haram hukumnya hingga ia bertaubat. Baik yang menikahi itu lelaki yang menzinahinya atau bukan."

Ulama juga terbelah dalam syarat tobat ini. Ulama dari kalangan mazhab Hambali, Abu Qatadah termasuk Ibnu Taimiyah mensyaratkan wajibnya bertobat. Sementara ulama mazhab Maliki, Syafi'i dan Hanafi tidak mewajibkan tobat.

Selain itu juga ada perbedaan terkait bolehnya menikahi wanita hamil di luar nikah tanpa menunggu masa iddah. Imam Syafi;i dan Hanafi membolehkan akad nikah sebelum perempuan itu melahirkan. Namun keduanya berbeda pendapat tentang diperbolehkannya dipergauli setelah akad. Imam Syafi'i membolehkan Perempuan tersebut dipergauli setelah akad baik laki-laki yang menikahinya adalah yang menghamilinya atau bukan.

Sementara Imam Abu Hanifah hanya memperbolehkan wanita itu dipergauli jika yang menikahinya adalah yang menzinahinya. Jika bukan, lelaki tersebut boleh melangsungkan akad namun menunggu wanita tersebut melahirkan untuk mempergaulinya. Wallahu a’lam bish-showab.

Daftar ruju’an:

-KHI (kompilasi hukum islam)

-http://www.fatwatarjih.com/2011/09/menikahi-wanita-hamil.html

-http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt517613d8ebd0b/haruskah-nikah-2-kali-dalam-kasus-kawin-hamil

- http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/14/05/02/n4xogp-hukum-menikahi-wanita-hamil

 

 

 

No comments: