Labels

10 Mar 2017

Pembagian Hak Asuh Anak Menurut Syariat Islam (Hadhonah)


Keluarga adalah kesatuan masyarakat yang terdiri dari suami, istri, dan anak yang berdiaman dalam satu tempat tinggal. Sebelum terbentuknyasatu anggota keluarga yang terdiri dari suami istri dan anak maka terdahulu terjadi sebuah ikatan baiak yaitu ikatan lahir maupun batin antar seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri yang biasanya disebut dengan tali pernikahan. Pernikahan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi ini adalah melegalkan laki-laki dengan seorang wanita. Pernikahan juga bertujuan membentuk keluarga yang bahagia baik lahir maupun batin. Bahagia artinya ada kerukunan dalam hubungan antara suami maupun istri  dan anak-anak dalam rumah tangga. Suatu keluarga dapat dikatakan bahagia apabialaterpenuhi duakebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmanai dan rohani.
Akan tetapi untuk mencapai sebuah tujuan pernikahan yang diinginkan itu tidaklah mudah namun dibutuhkan pengorbanan atau upaya-upayayang dapat menghantarkankepada tujuan itu..
Agama menginginkan pernikahan yang kekal  antara suami istri kecuali oleh suatu sebab yang tidak dapat dipertahankan. Apabila sudah terjadi perceraian maka masalah hak asuh anak pada masa ikatan perkawinan mendapat perhatian lebih dari agama lebih-lebih setelah perceraian dan termasuk dalam paket hukum keluarga. Para ahli fiqh  mendefinisi kan hadhonah sebagai melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, tanpa perintah darinya menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikanya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknyadan mendidik jasmani, rohanidan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. Akan tetapi para fuqoha mengedepankan salah satu diantara orang-orang yang berhakmengurus hadhonah anak berdasarkan kemaslahatan anak yang dipelihara. Dalam hal ini mereka lebih mengutamakan kaum wanita untuk mendapatkan hadhonah itu karena menurut para fuqoha seorang wanita mempunyai sifat yang lembut, kasih sayang dan sabar dalam mendidik.
Dalam kitab-kitab fiqh pemeliharaan anak (hadhonah) pada penafsiran hadhonah baik syarat, macam, maupun pengertian masih banyak simpang siur untuk lebih jelasnya akan kami jelaskan pada makalah ini

b.  a.       Pengertian dan dasar hukum hadhonah
Kata الحضا نة diambil dari kata الحضّ yang artinya pendamping karena seorang pengasuh akan senantiasa mendapingi anak yang ada dalam asuhannya. Sedangkan jika kita tinjau dari segi syara’  maka artinya menjaga dan mengasuh anak kecil atau yang senada dengannya dari segala hal yang membahayakan dan berusaha mendidiknya dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk kebutuhan jasmani dan rohani.Sedangkan para ahli fiqh  mendefinisi kan hadhonah sebagai melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, tanpa perintah darinya menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikanya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknyadan mendidik jasmani, rohanidan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. Pemeliharaan disini mencangkup urusan makanan, pakaian, urusan tidur, membersihkan, memandikan, mencuci pakaian, dan sejenisnya
Dasar hukum mengasuh anak-anak yang masih kecil adalah wajib, sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Sedangkan dalam syariat hukum islam telah ditetapkan mengenai hukum mengasuh mereka, menyayangi mereka, menjaga dan memenuhi kebutuhannya, serta berbuat baik kepadanya. Karena jika mereka ditinggalkan begitu saja tanpa ada mendapatkan bahaya. Padahal agama kita adalah agama yang mengajarkan kasih sayang , saling memikul beban, dan mengajarkan tentang sebuah kebersamaan. Islam adalah agama yang melarang kita untuk menyia-nyiakan mereka dan wajib menanggung kehidupan mereka dan kewajiban ini sudah menjadi hak asuh yang harus didapatkan dari keluarganya. Sedangkan seorang pengasuh memiliki kedudukan yang sama sebagaimana seorang wali yang bertanggung jawab. Hadhonah membutuhkan sikap yang arif, perhatian yang penuh dan kesabaran sehingga seseorang makruh memanggil anaknya ketika dalam hadhonah.
b.      Yang berhak melakukan hadonah
Pendidikanyang paling penting ialah pendidikan anak kecil  dalam pangkuan ibu bapaknya. Hal ini dikarenan pengawasan dan perlakuan mereka kepadanya secara baik akan menumbuhkan jasmani dan akalnya, membersihkan jiwanya, serata mempersiapkan diri anak yang mengahadapi kehidupannya di masa mendatang. Jika terjadi perpisahan antara ibu dan bapak  sedangkan mereka mempunyai anak, ibulah yang paling berhak terhadap anak itu dari pada ayahnya, selama tidak  ada suatu alasan yang mencegah ibu melakukan pekerjaan hadhonah tersebut dan selama anak belum mampu memilih apakah mau ikut ibu atau bapaknya.Ibu lebih diutamakan karena dialah yangbberhak untuk melakukan hadhonah dikarenakan seorang ibu lebih mengetahui dan mampu mendidik anaknya, dan juga dikarenakan ibu mempunyai rasa kesabaran untuk melakukan tugas yang tidak dimiliki oleh bapak. Ibu juga lebih mempunyai waktu untuk mengasuh anaknya dari pada seorang bapak. Karena semua ini dalam mengatur kemaslahatan  anak ibu di utamakan. Seperti sebuah hadits yang berbunyi :
عَنْ عَبْدِ الله بْنِ عَمْرٍو أَنَّ امْرَأةً قَا لَت : يَا رَسُوْلُ الله اِنَّ اِبْنِي  هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَثَدْيي لَهُ سِقَاءً  وَزَعَمَ أَبُوْهُ أَنَّهُ  يَنْتَزِعُهُ مِنِّي فَقَالَ لَهَا رَسُل الله صَلَ الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ : أَنْتِ أَحَقَّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي ( أخرجه أحمد وأبو داود والبيهقي والحاكم وصححه)
Abdullah bin Amr berkata bahwa seorang perempuan bertanya,”Ya Rasullah, sesungguhnya bagi anak laki-laki ku ini perutkulah yang menjadi bejananya, lambungku yang menjadi perlindungannya, dan susu ku menjadi minumannya, tetapi tiba-tiba ayahnya merasa berhak untuk mengambilnya dariku”. Beliau bersabda “Engkau lebih berhak terhadapnya selama kamu belum kawin dengan orang lain”. (HR Ahmad, Abu Dawud,  Baihaqi, dan Hakim dan dia mensahkannya)
Sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh malik dalam kitab al-muwatha yang berbunyi:
عَنْ يَحْي بْنُ سَعِيد أَنَّهُ قَالَ سَمِعْتُ القَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ يَقُوْلُ كَانَتْ عِنْدِ عُمَرَبْنُ الخَطَّابِ امْرَأة مِنَ الانْصَارفَولَدَتء لَهُ عَاصِمْ بْنُ عُمَرَ ثُمَّ أِنَّهُ فَا رَقَهَا فَجَاءً عُمَرَ قُبَاءً فَوَجَدَ ابْنَه عَاصِما يَلْعَبُ بِفِنَاءِالمَسْجِدِ فَأَ خَذَ بِعَضُدِهِ فَوَضَعَه بَيْنَ يَديْه عَلَى الدَّابَّةِ فَأَدْرَكته جَدَّةٌ الغُلاَّم فَنَا زَعَتْه اِيَّاهُ حَتَّى أتَيَاأَبَا بَكْرٍالصِّدِّيْقَ فَقَالَ عُمَرَ اِبْنِي وَقَالَتء المَرْأةُ اِبْنِي فَقَال أَبُوْبَكْرٍ خَلِّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ قَالَ فَمَا رَجَعَهُ عُمَرَ الكَلاَمَ (رواه مالك)
Yahya bin said berkata ,”Aku mendengar Qosim bin Muhammad berkata bahwa Umar bin Khaththab mempunyai seorang istri dari golongan anshar yang kemudian melahirkan seorang anak laki-lakibernama Ashim bin Umar. Umar lalu menceraikannya. Suatu hari Umar datang ke Quba, tiba-tiba ia dapatkan putranya itu, Ashim bermain di halaman masjid. Ia lalu merangkunya dan menaikan ke atas ontanya, duduk dihadapannya. Nenek anak mengetahui peristiwa tersebut, ia lau merebutnya dari umar sehingga keduanya datang mengadu kepada khalifah Abu Bakar. Umar berkata,” ini anak laki-laki ku” perempuan itu berkata,”ini nak laki-laki ku”. Kemudian Abu Bakar berkata:” janganlah dihalangi antara perempuan ini dan dia (anak laki-laki), umar tidak membatah keputusan dari khalifah Abu bakar.(HR Malik dalam kitab AL-Muatha)
Demikian yang dikatakan oleh Abu Bakar tentang sifat-sifat ibu yaitu lebih perasa lebih halus yang hal ini menyebabkan bagi ketetapan hukum bahwa ibu lebih berhak terhadap anaknya yang masih kecil.

c.       Urutan tingkatan hadwin
Urutan hak asuh bagi anakdalam ajaran islam adalah sebagai berikut:
1.       Yang paling berhak mengasuh seoranng anak adalah ibunya. Imam ibnu qudamah mengatakan ,”jika pasangan suami istri berpisah dan mereka memiliki seorang anak, atau keluarga yang ideot maka ibunyalah yang paling berhak mengasuhnya, jika telah terpenuhi syarat-syaratnya, baik anak tersebut laki-laki maupun perempuan. Pendapat ini sama dengan pendapat yang diungkapkan oleh imam malik dan yang lain. Dan tidak ada seorang pun yang berselisih
2.       Jika seorang ibu telah menikah dengan laki-lakimlain maka hak asuh terhadap anaknya dipindahkan kepada yang lain dan hak asuhnya telah gugur. Didahulukannya seorang ibu untuk mengasuh anaknya karena sang ibu biasanya lebih dekat dan lebih sayang terhadap bayi yang dilahirkannya. Tidak ada yang bisa menyamai kedekannya dengan sang anak kecuali seorang ayah tersebut. Seorang ayah pun tetap saja tidak bisa menyamai kasih sayang ibu. Karena itu ia tidak berhak mengasuh anaknya sendiri tanpa istri, akan tetapi harus diserahkan kepada istri. Dan seorang ibun lebih diutamakan di banding istri sang ayah. Ibnu Abbas berkata kepada seorang laki-laki,” bau ibumu tempat tidurnya dan asuhannya lebih baik untuk anak itu daripada kamu, kecuali jika ia tidak menyukainya dan menentukan pilihannya sendiri.syaikh islam Ibnu Taimiyyah berkata,”seorang ibu lebih maslahah dibanding dengan seorang ayah. Karena seorang ibu sangat hati-hati dan teliti dengan anak kecil. Dia juga lebih mengetahui hal-hal yang menyangkut makanan. Ia mengendongnya, menidurkannya dan menuntunnya dengan penuh kesabaran. Selain lebih mengetahui kondisi anaknya  ia juga lebih menyayanginya. Dalam hal ini seorang ibu lebih mengerti , lebih mampu, dan lebih sabar di bandingkan dengan ayah. Maka seorang ibu ditetapkan sebagai orang yang lebih berhak mengasuh anak keilnya yang belum baligh di dalam syrariat.
3.       Jika hak asuh seorang ibu telah gugur maka hak asuh seorang anak dipindahkan kepada ibunya atau nenek dari anak tersebut. Karena nenek adalah keluarga terdekat setelah ibu. Selain itu seorang nenek juga mempunyai status sama seperti ibunya. Ia akan lebih menjaga dan menyayangi anak yang diasuhnya dibanding orang lain.
4.       Setelah hak asuh ibu dan nenek ke atas telah tiada maka hak asuh tersebut bisa diambil alih oleh ayahnya dari anak tersebut, karena bagaimanapun dari dialah benih anak tersebut tertanam. Selain itu seorang ayah juga memiliki kedekatan kepada seorang anak dibandingkan yang lainnya setelah ibu dan nenek . dialah juga lebih bisa menyayangi di bandingkan dengan kerabat yang lainnya.
5.       Jika hak ibu, nenek, dan ayah untuk mengasuh anak tersebut telah tiada, maka hak tersebut diberikan kepada ibu ayahnya yaitu nenek dari pada pihak ayah atau keluarga terdekat darinya. Karena mereka memiliki hubungan kerabat dengan anak tersebut daripada kakek. Sebab bagaimanapun wanita ssatu sama lain memiliki kesamaan dalam hal ini. Karena itu seorang ibu lebih utama di banding seorang ayah dan wanita lebih utama dalam masalh pengasuh anak dibandingkan dengan seorang laki-laki.
6.       Setelah nenek dari ayah anak tersebut tidak dimiliki hak untuk mengasuh cucunya maka hak tersebut berpindah kepada kakek dari ayah atau yang terdekat dengannya. Karena seorang kakek memiliki hubungan yang sama seperti ayahnya bagi anak tersebut. Ia seperti ayahnya sendiri. Maka itu ia memiliki hak asuh yang sama dengan ayahnya dalam maslah ini.
7.       Setelah itu hak asuh berpindah 8 kepada ibunya kakek yang dianggap lebih dekat dengannya, karena ia pada hakikatnya sebagi ganti dari kakek itu sediri dan dia juga masih merupakan keturunan mereka. Artinya anak tersebut merupakan bagian dari darah daginggnya sendiri.
8.       Setelah ibu dari kakeknya maka seterusnya adalah saudara wanita dari anak tersebut, karena mereka adalah ganti dari orang tuanya atau ibunya. Disini diutamakan saudara wanita yang sekandung sebab  mereka memiliki hubungan yang sama yang lebih kuat dengannya dalam masalah warisan. Kemudian baru saudara wanita seibu yang dianggap lebih keibuan, ssebab ibu lebih utama dibandingkan dengan seorang ayah, kemudian baru saudara wanita yang seayah dengan anakn itu. Ada juga yang mengatakan saudara perempuan yang seayah dengan anak lebih  utama dari saudara perempuan yang seibu dengannya. Karena perwalian dari anak itu ada pada pihak ayah dan dia lebih kuat dalam hubungan ahli waris. Sementa itu saudara perempuan seayah kedudukanna sama dengan sudara kandung dalam pembagian harta wariasan jika saudara kandungbtersebut tiada dan ini sangat jelas.
9.       Setelah saudara wanita hak asuh anak pindah kepada bibi dari pihak ibu. Karena bibi dari ibu statusnya sama dengan ibu sendiri. Dalam kitab shahuhain disebutkan bahwa nabi SAW bersabda, “ bibi dari seorang ibu memiliki kedudukan yang sama seperti juga seorang ibu”. Dalam hal ini seorang bibi yang sekandung dengan ibu lebih utana dari bibi yang hanya seibu dengan ibu. Kemudian baru bibi yang seyah dengan iu, urutannya sama seperti dalam saudara wanita.
10.   Setelah bibi dari pihak ibu hak asuh tersebut dipindahkan kepada bibi drai ayah. Sebab mereka mempunyai hubungan dekat dengan ayah dari anak tersebut yang memiliki hak asuh anak setelah keluarga ibu. Syekhull islam ibnu taimiyyah berkata ,”bibi dari ayah itu lebih utama  dari pihak ayah lebih utama dari wanita dari pihak ibu. Maka mereka lebih berhak mengasuh anak dibanding wanita dari pihak ibu. Karena hak perwalian ada pada pihak sang ayah demikian pula kerabatnya.diutamakan seorang ib dari ayah dikarenakan dalam masalah pengasuhan seorang ibu tidak bisa disamakan dengan yang lainya, walupun itu dengan ayahh kandungnya sendiri. Dalam syariat islam disebutkan bahwa bibinya Hnmzah didahulukan dari pada bibinya Shafiyyah, karena shafiyyah sendiri tidak memintanya, sedangkan ja’far telah meminta untuk menjadi wakil dari bibinya Hamzah. Maka dari itu dia tidak ada, tetap dihukumi seperti ini. Ia juga berkata semua dasar syariat menyebutkan bahwa kerabat ayah itu harus didahulukan dari pada kerabat ibunya. Barang siapa yang mendahulukan kerabat ibu dari kerabat ayahnya dalam hak asuh anak maka ia telah menyalahi ushul dan syariat.
11.   Setelah pindah ke pihak anak wanitanya dari pada saudara laki-lakinya kemudian anak wanita dari saudara wanitanya, kemudian anak wanita dari pihak paman, kemudian dari pihak ayah baru kemudian anak wanitanya bibi dari pihak sang ayah. Setelah itu baru diberikan kepada kerabat terdekat yang masih punya hak untuk mengasuhnya, misalnya saudara laki-laki dari anak tersebut atau anak laki-lakinya, kemudian pamannya terus anak pamannya. Apabila yang diasuh itu wanita maka disyaratkan orang yang mengasuhnya harus merupakan salah satu dari mahromnya anak tersebut. Jika tidak ada yang menjadi mahromnya maka dipilih orang yang paling dipercaya dalam masalhini, terutama yang dipilih anak itu sendiri.
d.      Syarat-syarat hadhonah
seorang hadhinah (ibu asuh) yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya harusllah memiliki kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan kecakapan ini memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak dipenuhi satu saja, gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhonah. Syarat-syarat itu ialah sebagai berikut:
1.       Berakal sehat
Jadi bagi seorang yang kurang akal dan gila, keduanya tidak boleh menangani hadhonah karena meeka ini tidak dapat mengurusi dirinya sendiri. Karena itu ia tidak boleh diserahi tugas mengurusi orang lain sebab orang yang tidak punya apa-apa tentu tidak dapat memberikan apa-apa kepadanya.
2.       Dewasa
Sekalipun anak kecil itu mumayyiz ia tetap membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya. Karena itu dia tidak boleh menagani urusan orang lain.
3.       Mampu mendidik
Karena itu orang yang buta dan rabun, sakit menular atau sakit yang mlemahkan jasmaninya tidak boleh menjadi pengasuh untuk mengurus kepentingan anak kecil dan tidak berusia lanjut yang bahkan ia sendiri perlu diurus, bukan orang yang mengabaikan urusan rumah sehingga merugikan anak kecil yang diurusnya atau bukan orang yang tinggal bersama orang yang sakit menular atau bersama orang yangsuka marah kepada anak-anak, sekalipun kerabat anak kecil itu sendiri, sehingga akibat dari kemarahannyaitu ia tidak bisa memperhatikan kepentingan si anak secara sempurna dan menciptakan suasana yang tidak baik.
4.       Amanah dan berbudi luhur
Orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan dia tidak dapt dipercya untuk bisa menunaikan kewajibannya dengan baik. Terlebih lagi nantinya si anak dapat meniru atau berkelakuan orang yang curanga ini. Ibnu Qayyim telh membahas dengan luas syarat yang keempat ini lalu ia berkata “sebenarnya hadhin (pengasuh ) itu tidaklah disyaratkan mesti adil akat tetapi murid-murid imam ahmad dan syafi’i dan lain-lainnya yang mensyaratkan.
5.       Islam
Anak kecil muslim idak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim. Hal ini dikarenakan hadhonah merupakan masalah perwalian, sedangkan allah tidak membolehkan orang mukmindibawah perwalian orang kafir. Allah berfirman dalam Q.s an-nisa ayat 141 yang artinya “.... dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir yang menguasai (memusnahkan) orang-orangn yang beriman”. Jadi hadhonah seperti perwalian dalam perkawinan atau harta benda. Dikhawatirkan juga bahwa anak kecil yang diasuhny Itu akan dibesarkan dengan agama pengasuhnya, dididik dengan tradisi  agamanya sehingga sukar bagi anak untuk meninggalkan agamanya ini. Hal ini merupakan bahaya paling besar bagi anak tersebut. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ ألاَّ أنَّ أبَوَيْه يُهَوِّدَا نِه أَوْ يُنَصِّرَانِه أَوْ يُمَجِّسَا نِه
setiap anak yang dilahirkan dalam fitrah hanya ibu bapaknya yang menjadikan mereka yahudi, nasrani dan majusi”
Golongan Hanafi, Ibnu Qoyyim dan bahkan Maliki serta Abu tsaur berpendapat bahwa hadhonah tetap dapat dilakukan oleh pengasuh (hadhinah) yang kafir sekalipun si anak kecil itu lebih darai menyusui dan melayani anak kecil. Kedua hal ini boleh dikerjakan oleh perempuan kafir.
6.       Ibunya belum nikah lagi
Apabila seorang ibu yang telah menikah lagi dengan laki-laki lain, hak hadhonahnya hilang. Akan tetapi kalau ia nikah dengan laki-laki yang masih dekat kekerabatannya dengan anak kecil tersebut seperti paman dari ayahnya, maka hak hadhonahnya tidak hilang. Hal ini dikarenakan paman itu masih berhak dalam masalah hadhonah karena hubungan dan kekerabatannya yang dekat dengan anak kecil tersebut, ia akan bisa bersifat mengasihi serta memperhatikan haknya. Dengan demikian akan terjadinya kerja sama yang sempurna di dalam menjaga si anak kecil itu, antara si ibu dan suami yang baru ini. Berbeda dengan halnya kalau suami barunya itu orang lain. Sesungguhnya apabila orang itu menikahi ibu dari anak kecil itu maka ia tidak bisa mengasihinya dan tidak dapat memperhatikan kepentingannya dengan baik. Karena ini nantiya dapat mengakibatkan suasana tanpa kasih sayang, udara yang mesra dan keadaan yang dapat menumbuhkannya bakat dan pembawaan anak yang baik. Akan tetapi Al-hasan dan ibnu hazm berpendapat bahwa ibu yang kawin dengan laki-laki manapun tidaklah kegilangan hak hadhonahnya.
7.       Merdeka
Seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan tauannya sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk mengasuh anak kecil. Ibnu Qoyyim berkata “ tentang syarat-syarat merdeka ini tidak ada dalilnya yang meyakinkan hati. Hanya saja murid-murid dari tiga imam madzhab sajalah yang menetapkannya. Imam malik berkata tentang seorang laki-laki yang merdeka yang mempunyai anaka dari budak perempuannay, sesungguhnya ibunya lebih berhak terhadap anaknya selama ibunya tidak dijual. Jika ia di jual maka hak hadhonahnya berpindah dan ayahnyalah yang lebih berhak atas anaknya.
e.      Upah hadhonah
Upah hadhonah seperti upah menyusui, ibu tidak berhak atas upah hadhonah selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil ini atau selama masih masa iddahnya. Hal ini karena ian dalam keadaan tersebut masih mempunyai hak nafkah sebagai istri atau nafkah masa iddahnya. Allah berfrman yang artinya:
para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf...”(Q.S al-baqoroh:223)
Adapun sesudah habis masa iddahnya ia berhak akan upah itu seperti haknya kepada upah menyusui karena Allah berfirman:
“.... maka berikanlah kepada mereka (istri-istri yang tertalak) nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) kamu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarakanlah diantara kamu (segala sesuatu) drngan baik dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”(Q.S at-thalaaq:6)
Perempuan selain ibunya boleh menerima upah hadhonah sejak saat menangani hadhonah nya seperti halnya perempuan penyusu yang bekerja menyusui anak kecil dengan bayaran atau upah. Seperti halnya ayah wajib membayar upah penyusuan danhadhonah, ia juga wajib membayar ongkos sewa rumah atau perlengkapannya jika si ibu tidak punya rumah sendiri sebagai tempat mengasuh anak kecilnya. Ayah juga wajib membayar gaji pembantu rumah tangga atau menyediakan pembantu tersebut jika si ibu membutuhkannya  dan ayah memiliki kemampuan.
Hal ini bukan termasuk kedalam bagian nafkah khusus bagi anak kecil, seperti makan, minum, tempat tidur, obat-obatan dan keperluan lain-lain yang pokok yang sangat dibutuhkannya. Gaji ini hanya wajib dikeluarkannya di saat hadhinah (ibu pengasuh) menangani asuhannya. Gaji (upah) ini menjadi utang yang di tanggung oleh ayah ia barubisa terlepas dari tanggungn ini kalau dilunasi atau dibebaskan.
f.        Masa hadhonah dan memberi pilihan kepada anak sesudah habis masa hadhonah
Hadhonah berhenti (habis) apabila anak kecil tersebut sudah tidak lagi memerlukan pelayanan perempuan, telah dewasa, dan dapat berdiri sendiri serta telah mampu untuk mengurus sendiri kebutuhan pokoknya, seperti makan sendiri, berpakaian sendiri, mandi sendiri dan dalam hal ini tak ada batasan tertentu. Hanya saja ukuran yang dipakai ialah tamyiz dan kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Seperti fatwa pada madzhab Hanafi dan lain-lainnya berkata “masa hadhonah berakhir (habis) bilamana anak telah berumur tujuh tahun kalau laki-laki sedangkan sembilan tahun untuk perempuan. Mereka menetapkan masa hadhonah perempuan lebih lama agar dia dapat menirukan kebiasan-kebiasaan kewanitaannya pada hadhinahnya (ibu asuhnya).
Sedangkan apabila masa hadhonah anak sudah berakhir maka  seorang
g.       Larangan mengasuh anak
Ada beberapa hambatan yang menyebabkan dilarangnya mengasuh anak diantaranya adalah:
1.       Perbudakan
Barang siapa yang memiliki status sebagai budak maka tidak punya hak mengasuh anak walau sedikit pun karena mengasuh anak termasuk hak dari seorang wali, sedangkan budak tidak memiliki hak sebagai wali, karena ia senantiasa disibukan untuk melayani majikannya dan manfaat yang dapat diperoleh darinya adalah hak dari majikan mutlak.
2.       Kefasikan
Sebab orang yang fasik tidak bisa diberi kepercayaan dalam mengasuh anak , ia sangat membahayakan anak asuh dikarenakan buruknya didikan dan perilakunya, maka hal ini dapat menjadikan seorang anak seperti pengasuhnya pula yang senantiasa mengikutinya.
3.       Kekafiran
Seorang yang kafir tidak berhak mengasuh seorang muslim karena kedudukan orang kafir dalam hal mengasuh anak lebih jauh daripada seorang yang fasik, maka ia lebih tidak berhak lagi dalam masalah ini. Bahaya yang dapat ditimbulkan lebih parah dibanding dengan orang yang fasik dan dia dapat merusak akidah anak asuh bahkan bisa jadi akan mengajaknya keluar dari islam dengan ajaran-ajaran kafir.
4.       Ibunya menikah lagi
Jika seorang ibu telah menikah  dengan seorang yang asing dari ank tersebut  maka hak asuhnya hilang sebagaimana sabda Nabi SAW  yang diperuntukan bagi seorang ibu .”kamu yang paling berhak terhadap anak itu selama kamu belum menikah dengan orang lain”. Sebab, jika belum menikah maka mantan suaminya masih berhak mendapatkann manfaat darinya dan berhak melarangnya untuk lari dari tanggung jawab mengasuh anak mereka dan yang dimaksut dengan orang asing adalah orang yang tidak memiliki hubungan kerabat dengan si anak maka ia masih tetap memiliki hak mengasuh anaknya.











8 Mar 2017

Makalah Sumpah, Pembahasan Dan Permasalah


A.    Definisi Sumpah
Sumpah (yamin) adalah penegasan dan peneguhan sesuatu hal dengan menyebut nama atau salah satu sifat Allah[1]. Sumpah juga dapat diartikan sebagai akad yang menguatkan tekad orang yang bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Half, ila’, dan qasam mempunyai arti yang sama yaitu sumpah.
Sumpah adalah memperkukuh hal yang mungkin disalahkan atau mempertegasnya dengan menyebut asma Allah atau sifatnya[2]. Sumpah tidak sah kecuali dengan menyebut lafadz Allah atau asma dari asma-asmaNya atau sifat dari sifat-sifatNya. Batasan orang yang sumpah adalah setiap mukallaf, kehendak sendiri, yang mengucap dengan niat sumpah. Barang siapa bersumpah akan menyedekahkan hartanya maka ia diperkenankan memilih antara merealisasikan sumpahnya dengan bersedekah atau tebusan sumpah (kafarat yamin).
لايؤاخذ كم الله با للغو فى أيمنكم و لكن يؤاحذ كم بما عقد تم الآيمان فكفر ته إطعام عشرة مسكين من أو سط ما تطعمون أهليكم أو كسو تهم أو تحرير ر قبة فمن لم يجد فصيام ثلثة أيام ذالك كفرة أيمنكم إذا خلفتم واحفظوا أيمنكم كذ لك يبين الله لكم أيته لعلكم تشكرون [89]
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud untuk bersumpah, tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka (kaffarat) melanggar sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu drai makanan yang biasa kamu berikan kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukumNya agar kamu bersyukur kepadaNya.” (QS. Al-Maidah:89)

B.     Syarat dan Rukun Sumpah
Syarat orang yang bersumpah adalah[3]:
a.       Berakal
b.      Baligh
c.       Islam
d.      Bisa ditunaikan
e.       Atas keinginan sendiri (tidak dipaksa)
Rukun sumpah adalah[4]:
a.       Half, yaitu orang yang bersumpah.
b.      Mahluf ‘Alaih, yaitu perkara yang disumpahkan seperti sedekah.
c.       Mahluf Bih, yaitu perkara yang digunakan untuk bersumpah seperti nama-nama Allah sawt.
C.    Macam-Macam dan Hukum Sumpah
1.      Sumpah yang boleh dan sumpah yang dilarang
Menurut jumhur ulama, sumpah itu ada yang diperbolehkan da nada yang dilarang. Menurut sebagian ulama, sumpah yang diperbolehkan oleh syarak adalah sumpah dengan ucapan, demi Allah. Sumpah yang selain itu maka dilarang. Menurut sebagian yang lain, sumpah itu boleh dengan nama-nama yang diagungkan syarak. Para ulama sepakat bahwa sumpah dengan ucapan “demi Allah” itu boleh, termasuk juga dengan asma-asma Allah yang lain.
Para ulama berbeda pendapat tentang sumpah dengan sifat-sifat Allah dan perbuatan-perbuatanNya. Perbedaan pendapat tentang sumpah dengan sesuatu yang diagungkan selain Allah timbul karena ayat tentang sumpah tampaknya bertentangan dengan hadis. Ayatnya ialah bahwa Allah bersumpah di dalam Al-quran dengan sesuatu yang bermacam-macam, seperti:
والسماء واطا ر ق [1]
“Demi langit dan bintang di malam hari.” (QS. At-Thariq:1)
والنجم إذا هوى [1]
“Demi bintang tatkala terbenam.” (QS. An-Najm:1)
إن الله ينها كم أن تحلفوا با بائكم, من كان حا لفا فليحلف با الله أو ليصمت
“Sesungguhnya Allah melarang kamu sekalian bersumpah dengan orang tua dan nenek moyang kalian. Barang siapa bersumpah, bersumpahlah dengan Allah dan diamlah.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
      Ulama yang memadukan ayat dan hadis tersebut berpendapat bahwa dalam ayat tersebut ada kata yang dibuang, yaitu kata “Tuhan”. Demi langit berarti demi Tuhan yang menguasai langit. Demi bintang artinya “Tuhan yang menguasai bintang”. Jadi, sumpah yang diperbolehkan hanyalah sumpah dengan Allah saja[5].
      Sedangkan ulama yang memadukan ayat dan hadis tersebut dengan maksut bahwa hadis tersebut melarang mengagungkan orang yang tidak diagungkan oleh syarak, dalam arti menyebutkan lafal khusus yang bermakna secara umum, memperbolehkan bersumpah dengan sesuatu atau sesuatu yang diagungkan oleh syarak. Maka, penyebab perbedaan tersebut adalah perbedaan pemahaman terhadap ayat dan hadis di atas.
      Ulama yang melarang bersumpah dengan sifat-sifat Allah dan perbuatan-perbuatanNya adalah pendapat yang lemah. Penyebab perbedaan diatas juga karena, apakah larangan tersebut hanya didasarkan pada hadis di atas dan terbatas pada larangan yang disebutkan dalam hadis itu saja, atau larangan tersebut termasuk bersumpah dengan sifat-sifat dan perbuatan Allah?. Apabila hadis tersebut hanya dipahami dengan nama Allah saja, berarti sama dengan mazhab Zhahiri, walaupun dalam mazhab yang lain al-Lakhami meriwayatkan seperti itu dari Muhammad bin al-Muwwaz.
     
2.      Sumpah main-main dan sumpah sungguhan
Para ulama sepakat bahwa sumpah itu ada yang main-main da nada yang sungguhan. Hal ini berdasarkan firman Allah:
لايؤاخذ كم الله با للغو فى أيمنكم و لكن يؤاحذ كم بما عقد تم الآيمان [89]
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud untuk bersumpah, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpah yang kamu maksudkan untuk bersumpah.” (QS. Al-Maidah:89)
Sumpah yang tidak dianggap sumpah itu yang bagaimana?. Menurut Syafi’I sumpah yang tidak disertai niat untyk bersumpah, seperti yang berlaku dalam pembicaraan sehari-hari “demi Allah”, namun hanya lisannya saja tanpa niat bersumpah di hatinya. Pendapat ini diriwayatkan oleh Malik dalam kitab Muwaththa’ dari Aisyah, sedangkan pendapat yang pertama diriwayatkan dari al-Hasan bin Abil Hasan, Qatadah, Mujahid, dan Ibrahim an-Nakha’i.
      Menurut Ismail al-Qadhi (pengikut Malik), sumpah yang tidak dianggap sumpah adalah sumpah dengan hal-hal yang tergolong maksiat. Menurut sebagian ulama, sumpah yang tidak dianggap sumpah adalah manakala seseorang bersumpah tidak akan memakan sesuatu yang dihalalkan oleh syarak[6]. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena lafal al-Laghwu bermakna lebih dari satu (musytarak). Suatu saat al-kalam al-batil bermakna ucapan yang tidak benar, seperti firman Allah:
وقال الذين كفروا لا تسمعوا لهذا القرأن والغوا فيه لعلكم تغلبون [26]
“Orang-orang kafir berkata, “Janganlah kalian mendengarkan al-Quran ini, buatlah hiruk pikuk (kalimat yang salah) terhadapnya (al-Quran) supaya kamu dapat mengalahkan mereka.” (QS. Fushshilat: 28)
      Suatu saat bermakna kalimat yang tidak diniatkan oleh pengucapnya, dan inilah yang dikehendaki oleh ayat tentang sumpah. Ulama yang berpendapat bahwa sumpah yang tidak dianggap sumpah adalah sumpah yang diucapkan dengan dipaksa atau sumpah yang menurut syarak tidak ada artinya, karena mereka mengartikan sumpah secara istilah syarak, seperti talak yang tidak sah apabila diucapkan karena dipaksa, seperti pernyataan hadis:
لا طلا ق قي إغلا ق
“Tidak sah talak karena dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Pendapat yang lebih tepat adalah dua pendapat pertama yaitu pendapat Malik dan Syafi’i.
3.      Sumpah yang berakibat kafarat dan yang tidak berakibat kafarat
a.       Sumpah palsu
Sumpah palsu adalah sumpah dengan ucapan “demi Allah”, namun isi sumpahnya menyangkut sesuatu yang dulunya ada yang kenyataannya sekarang tidak ada atau menyangkut sesuatu sekarang ada kemudian tidak ada, dengan sengaja berdusta[7].
            Sumpah yang demikian itu apakah wajib kafarat?. Menurut jumhur ulama tidak wajib kafarat, karena sumpah yang wajib kafarat adalah sumpah yang menyangkut hal yang akan dating yang benar-benar ada. Termasuk yang berpendapat seperti ini adalah Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad bin Hanbal. Menurut Syafi’I dan segolongan ulama, wajib kafarat, yakni kafarat dapat menghiloangkan dosa sumpah palsu tersebut sebagaimana kafarat dapat menghilangkan dosa sumpah sungguhan.
            Perbedaan pendapat tersebut timbul karena makna ayat tentang sumpah secara umum seolah bertentangan dengan hadis. Ayatnya adalah:
و لكن يؤا خذكم بما عقد تم الآيمان فكفا ر ته إطعا م عشرة مسكين [89]
“… tetapi Allah menghukum kamu karena sumpah yang benar-benar kau niatkan untuk bersumpah, maka kafaratnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin.” (QS. Al-Maidah: 89)
            Ayat ini menunjukkan bahwa sumpah palsu pun wajib kafarat karena walaupun palsu dia bersumpah sungguhan. Hadisnya adalah:
من اقتطع حق امرئ مسلم بيمينه حرم الله عليه الجنة وأوجب له النار
“Barangsiapa mengambil hak (meruhgikan) orang islam dengan sumpahnya, Allah mengharamkannya masuk surge dan mewajibkannya masuk neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
            Hadis ini menunjukkan bahwa sumpah palsu tidak wajib kafarat, namun Syafi’I menganggap sumpah palsu tidak termasuk kategori merugikan orang lain seperti yang tercantum dalam hadis di atas, atau mungkin Syafi’I berpendapat bahwa sumpah yang merugikan orang lain melanggar dua hal, yaitu menzalimi orang lain dan berdosa[8]. Maka tidak mungkin kafarat bisa menghapus dua pelanggaran tersebut atau kafarat tidak dapat menghapus dosa tanpa menghapus kezaliman itu, karena penghapusan dosa dengan kafarat termasuk bab tobat. Sedangkan tobat tidak dapat terpotong-potong untuk satu dosa. Maka apabila orang yang bersumpah palsu itu mau bertobat dan orang yng dizalimi mau memaafkan lalu tobatnya diterima maka terhapuslah dosa tersebut.

b.      Sumpah yang menyangkut hilangnya iman
Apabila seseorang mengatakan, “jika saya berbuat begini dan begitu, saya kafir kepada Allah, saya musryk kepada Allah, saya menjadi Yahudi, atau saya menjadi Nasrani” dan ternyata dikemudian hari orang tersebut berbuat seperti yang dimaksutkan itu, wajib dia membayar kafarat?.
Menurut Malik dan Syafi’I dia tidak wajib membayar kafarat karena yang demikian itu tidak termasuk sumpah. Menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal yang demikian itu termasuk sumpah pelanggarnya wajib kafarat. Apabila sumpah tersebut dilanggar dalam arti dia tidak mau menjadi kafir, musryk, yahudi atau nasrani.
Perbedaan pendapat tersebut berangkat dari pertanyaan apakah sumpah itu boleh dengan hal-hal yang dimuliakan atau tidak, ataukah hanya boleh bersumpah dengan Allah saja. Kemudian kalau sampai terjadi sumpah seperti itu, apakah dikategorikan sumpah atau tidak?.
Ulama yang berpendapat bahwa sumpah itu hanya dengan Allah saja berarti sumpah dengan selain Allah itu tidak wajib kafarat, karena tidak termasuk sumpah. Sedang ulama yang berpendapat sumpah itu boleh juga dengan nama-nama selain Allah yang dianggap mulia menurut syarak, berarti sumpah seperti itu wajib kafarat karena sumpah menggunakan nam-nama tertentu sama halnya dengan sumpah tidak menggunakan nama-nama tersebut.
c.       Sumpah yang mirip nadzar
Menurut jumhur ulama orang yang mengatakan, “Apabila saya melakukan begini, saya harus berjalan kaki ke Baitullah.”, atau “Apabila saya melakukan begini, budak saya menjadi merdeka, atau istri saya ceraikan.”, ia wajib melaksanakan yang dimaksud[9].
            Apakah wajib membayar kafarat kalu tidak terlaksana?. Menurut Malik tidak wajib kafarat namun berdosa apabila tidk melaksanakan. Menurut syafi’I, Ahmad, Abu Ubaid, dan ulama lain demikian itu termasuk sumpah maka wajib kafarat kecuali talak dan memerdekakan budak. Pendapat seperti ini diriwayatkan dari Aisyah.
            Menurut Abu Tsur orang yang bersumpah dengan memerdekakan budak, dosa sumpahnya terhapus dengan kemerdekaan budak itu.
d.      Ucapan-ucapan sumpah dan ucapan-ucapan yang bukan sumpah
Ucapan sumpah adalah:
“Saya bersumpah atau saya bersaksi kalau saya begini dan begini.” Apakah ucapan tersebut termasuk sumpah?. Menurut salah satu pendapat Syafi’I tidak termasuk sumpah. Menurut Abu Hanifah termasuk sumpah. Menurut Malik jika bermaksut bersumpah dengan Allah, maka termasuk sumpah. Jika bermaksud tidak bersumpah atau bersaksi dengan Allah maka tidak termasuk sumpah.
Sebab perbedaan berangkat dari pertanyaan apakah sumpah itu patokannya redaksi kalimat, pemahaman yang berlaku ataukah niat. Ulama yang memakai patokan redaksi kalimat berpendapat bahwa ucapan tersebut bukan sumpah karena tidak menyebutkan dengan apa sumpahnya. Sedangkan ulama yang memakai patokan pemahaman yang berlaku pada umamnya berpendapat bahwa ucapan tersebut termasuk sumpah karena dalam ungkapan seperti itu ada kata yang dibuang yaitu, “saya bersumpah”, maksutnya adalah saya bersumpah dengan Allah.
Dari ulama yang memakai patokan niat berpendapat bahwa ucapan tersebut bisa bermakna ganda. Karena itu, tergantung pada niatnya bersumpah dengan Allah ataukah tidak.
D.    Pengecualian Sumpah
1.      Syarat pengecualian sumpah dan batasnya
a.       Syarat pengecualian sumpah
Para ulama sepakat bahwa sumpah dengan menggunakan kata “kecuali” bisa membatalkan sumpah apabila memenuhi tiga syarat[10]:
1.      Kata “kecuali” tersebut diucapkan dengan lisan.
2.      Diucapkan bersambung.
3.      Dimaksutkan bukan untuk sumpah yang sebenarnya.
Para ulama berbeda pendapat apabila pengecualian dalam sumpah tersebut tidak dilisankan atau niatnya baru muncul setelah sumpah terucapkan walaupun bersambung dengan sumpahnya.
Syarat bersambungnya ucapan “kecuali” dengan sumpah
Apakah ucapan sumpah “kecuali” itu diisyaratkan bersambung tanpa henti?. Menurut Syafi’I boleh berhenti sejenak seperti diamnya seseorang untuk mengingat, bernafas, atau untuk memutus suara. Menurut sebagian tabi’in boleh berhentin selama bekum menyingkir dari majlis itu. Menurut Abu Abbas kata “kecuali” tersebut boleh diucapkan terputus tanpa batas. Para ulama sepakat bahwa sumpah yang menggunakan kata “kecuali kalau Allah menghendaki” bisa menghapus status sumpah.

b.      Batasan-batasan sumpah dengan pengecualian
Yang dimaksud dengan sumpah pengecualian dalam masalah ini adalah pengecualian dalam masalah ini adalah pengecualian yang menggunakan kalimat “insya Allah”. Apakah sumpah seperti ini sah sebagai sumpah sungguhan atau tidak[11]?
Menurut Malik, tidak sah kecuali sumpah yang menyangkut kafarat, yaitu sumpah dengan ucapan “demi Allah”, atau menyangkut nadzar mutlak seperti yang akan dibahas dalam bab nadzar. Menurut ulama mazhab, jika seseorang berkata, “dia saya talak insya Allah” atau “dia saya merdekakan insya Allah”, maka yang demikian itu kata insya Allah tidak ada fungsinya. Jika seseorang berkata, “dia saya talak jika dia begini-begini”, maka dalam hal ini ada dua pendapat yang terkenal. Namun yang lebih tepat adalah bahwa syarat yang dikaitkan itu terpenuhi, maka talak ya sah. Demikian itu jika dikaitkan dengan syarat diluar talak bukan karena talak itu sendiri.
Menurut Abu Hanifahdan Syafi’I secara mutlak pengetahuan seperti itu termasuk syarat atau penghalang. Kalau dianggap sebagai penghalang maka jatuhlak talak tersebut, yakni jika seorang suami berkata kepada istrinya, “dia saya talak insya Allah”. Jelas kata insya Allah tidak berfungsi sebagai penghalang karena sebenarnya talak tersebut tidak terjadi. Sedangkan kalau dianggap sebagai syarat maka talak tersebut belum terjadi sebelum syarat itu terpenuhi.
2.      Dosa, kafarat, dan waktu serta ukuran kafarat
a.       Dosa akibat sumpah
Para ulama sepakat bahwa yang menyebabkan dosa dalam bersumpah adalah tidak ditepatinya isi sumpah. Mungkin karena melakukan hal yang seharusnya tidak dilaksanakan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Karena tak mungkin dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan. Padahal dia tahu bahwa sebenarnya ia tak mampu melaksanakan sumpah yang dia ucapkan itu. Inilah yang disebut menelantarkan sumpah secara mutlak.
            Dosa karena bersumpah itu misalnya seseorang bersumpah bahwa dia pasti akan memakan roti ini, tepi ternyata dia memakan roti yang lain, atau sampai melewati batas waktu yang telah ditentukan. Misalnya seseorang berkata, “demi Allah pada hari ini saya akan melakukan begini dan begini.” Tapi ternyata hari tersebut sudag lewat. Namun orang tersebut belum melaksanakan isi sumpahnya, maka orang yang bersumpah seperti itu berdosa.
            Ada empat persoalan yang diperselisihkan hukumnya oleh para ulama, yaitu[12]:
1.      Sumpah yang tak terlaksana karena lupa atau terpaksa.
2.      Sumpah yang terlaksana tidak seutuhnya.
3.      Ungkapan kalimat sumpah.
4.      Niat sumpah dalam dakwaan.
b.      Kafarat sumpah
Para ulama sepakat bahwa orang yang berdosa karena melanggar sumpah harus memilih tiga macam kafarat: memberi makan sepuluh orang miskin, memberi mereka pakaian, atau memerdekakan seorang budak. Dia tidak boleh memilih berpuasa selama tiga hari kecuali apabila tidak mampu memilih tiga pertama di atas, berdasarkan firman Allah: “Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kafartnya adalah berpuasa tiga hari.”
            Namun diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa orang yang melanggar sumpah, kafaratnya memerdekakan budak atau memberi pakaian sepuluh orang miskin. Kalau tidak mampu maka kafaratnya memberi makan sepuluh orang miskin.
            Tentang kafarat sumpah, ada tujuh masalah yang diperselisihkan oleh para ulama[13]:
1.      Berapa ukuran/takaran makanan untuk setiap orang miskin.
2.      Apa jenis pakaian dan berapa jumlahnya.
3.      Puasa tiga hari tersebut wajib berturut-turut atau tidak.
4.      Orang-orang miskin yang diberi kafarat tersebut harus berjumlah sepuluh orang atau boleh kurang namun jatahnya sebanayk sepuluh orang.
5.      Orang-orang miskin tersebut disyaratkan islam dan merdeka atau tidak.
6.      Budak yang dimerdekakan tersebut harus tanpa cacat atau tidak.
7.      Haruskah budak tersebut beriman.
c.       Kafarat yang bisa menghapus dosa pelanggaran sumpah
Menurut Syafi’I apabila seseorang membayar kafarat setelah atau sebelum melanggar sumpah maka terhapuslah dosanya. Menurut Abu Hanifah kafarat yang baik menghapus sumpah adalah yang dibayarkan sesudah pelanggaran, bukan yang dibayarkan sebelum pelanggaran. Menurut Malik suatu saat sama dengan pendapat Syafi’I dan suatu saat sama dengan pendapat Abu Hanifah.
Pelanggaran sumpah yang berkali-kali
Menurut kesepakatan ulama, sepanjang yang saya ketahui, orang yang bersumpah dengan sekali sumpah namun menyangkut beberapa hal, kafaratnya cukup sekali. Orang yang bersumpah dengan berkali-kali sumpah namun hanya menyangkut satu hal, kafaratnya berkali-kali sesuai jumlah ia bersumpah, sama seperti orang yang bersumpah untyk beberapa hal[14].
Bagaimana kalau yang di ulang isi sumpahnya?. Menurut sebagian ulama cukup sekali kafarat. Menurut Malik tiap pengulangan mengakibatkan kafarat, kecuali apabila hanya berniat untuk mengukuhkan sumpah. Menurut sebagian lagi, kafaratnya sekali kecuali apabila bertujuan memperkuat sumpah. Perbedaan tersebut bersumber pada pertanyaan, apakah yang menyebabkan kafarat itu karena perbedaan sumpah yang diulang-ulang atau karena pengulangan sumpah itu sendiri.
Kalau karena perbedaan sumpah yang diulang-ulang, kafaratnya hanya sekali. Tapi kalau karena pengulangan sumpah itu sendiri kafaratnya berkali-kali sesuai jumlah pengulangan sumpah.
Sekali sumpah dengan tiga sifat Allah atau lebih
Orang yang mengucapkan sumpah sekali dengan menyebut tiga kali sifat Allah atau lebih, apakah sumpahnyadihitung berkali-kali atau sekali?. Menurut Malik, sumpahnya sejumlah sifat Allah yang disebut. Jadi, orang yang mengucapkan “demi yang maha mendengar, yang maha tahu, yang maha bijaksana,” menurut Malik terhitung tiga sumpah dengan tiga kafarat[15].
Menurut ulama yang lain, sumpah seperti itu hanya dihitung sekali sempah, maka kafaratnya juga sekali. Sebab perbedaan pendapat seperti itu adalah apakah standar dalam menentukan jumlah sumpah itu berdasarkan ungkapan kalimat yang dipergunakan atau isi sumpah. Jika berdasarkan ungkapan kalimat, kafaratnya sejumlah sifat Allah yang disebut jamlah sumpah tersebut. Namun jika berdasarkan isi, kafaratnya hanya sekali selama isi simpah hanya menyangkut satu hal.











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

B.     Saran
Masih diperlukan banyak referensi dalam pembuatan makalah ini. Sumber yang di gunakan sebaiknya banyak dari buku yang berbahasa arab karena lebih detil pembahasannya.


















DAFTAR PUSTAKA

Ghazali Said, Imam. 2007.     Bidayatul Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid). Jakarta: Pustaka Amani.
Al-Faifi, Sulaiman. 2014. Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq. Jakarta: Beirut Publishing.
Tim Pembukuan ANFA’ 2015. 2015. Menyingkap Sejuta Permasalahan FATH AL-QARIB. Jakarta: Anfa’ Press.
Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, al-Allamah. 2012. Fiqih Empat Madzhab. Bandung: Hasyimi.
Al-Jaza’iri, Abu Bakar. 2014. Minhajul Muslim. Madinah: Mu’tabatul Ulum wal Hikam.






[1]Tim Pembukuan ANFA’ 2015. Menyingkap Sejuta Permasalahan FATH AL-QARIB(Jakarta, Anfa’ Press, 2015), hal. 692
[2]SulaimanAl-Faifi. Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq(Jakarta, Beirut Publishing, 2014), hal. 748

[3]Sulaiman Al-Faifi. Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq(Jakarta, Beirut Publishing, 2014), hal. 751
[4]Tim Pembukuan ANFA’ 2015. Menyingkap Sejuta Permasalahan FATH AL-QARIB(Jakarta, Anfa’ Press, 2015), hal. 693
[5]Imam Ghazali Said..Bidayatul Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid)(Jakarta, Pustaka Amani, 2007), hal. 242
[6]al-AllamahMuhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Madzhab(Bandung, Hasyimi, 2012), hal. 366
[7]Tim Pembukuan ANFA’ 2015. Menyingkap Sejuta Permasalahan FATH AL-QARIB(Jakarta, Anfa’ Press, 2015), hal. 694
[8]al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Madzhab(Bandung, Hasyimi, 2012), hal. 369
[9]al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Madzhab(Bandung, Hasyimi, 2012), hal. 370
[10]Sulaiman Al-Faifi. Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq(Jakarta, Beirut Publishing, 2014), hal. 756
[11]Imam Ghazali Said..Bidayatul Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid)(Jakarta, Pustaka Amani, 2007), hal. 235
[12]al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Madzhab(Bandung, Hasyimi, 2012), hal 375
[13]Imam Ghazali Said..Bidayatul Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid)(Jakarta, Pustaka Amani, 2007), hal. 245

[14]al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. Fiqih Empat Madzhab(Bandung, Hasyimi, 2012), hal 379
[15]Abu BakarAl-Jaza’iri. Minhajul Muslim(Madinah, Mu’tabatul Ulum wal Hikam, 2014), hal. 208